Opini
Menjaga Anak-anak dari Pelecehan Seksual

Published
3 years agoon
By
Mitra Wacana
Oleh: Wahyu Tanoto
Hampir setiap hari masyarakat membaca berita pelecehan seksual di media sosial. Isu ini perlu menjadi perhatian setiap orang karena korban pelecehan seksual akan mengalami trauma berkepanjangan jika ditangani secara serampangan dan tidak komprehensif. Korban sungguh membutuhkan dukungan, empati dan perlu dibela. Bukan caci maki dan perundungan sebagaimana yang kerap dijumpai.
Ternyata anak-anak di lingkungan terdekat kita juga rentan menjadi korban pelecehan seksual. Hal ini diperburuk oleh adanya anggapan jika korban memakai pakaian terbuka dan ‘seksi’ acap kali disebut bukan pelecehan seksual atau dinormalkan. Bahkan korban sering kali disalahkan atas bajunya. Sudah jadi korban, dibuli, dicaci maki lagi. Lengkap sudah penderitaannya. Sungguh tragis bukan?
Pada Juni 2022 yang lalu media-media online secara beruntun memberitakan anak-anak yang menjadi korban pelecehan seksual oleh orang terdekatnya. Misalnya yang menimpa seorang anak berusia 16 tahun di Kabupaten Subang, Jawa Barat oleh gurunya sendiri di sebuah pondok pesantren. Atau yang terjadi di Ambon, seorang ayah memperkosa lima anak dan dua cucunya yang masih berusia di bawah umur.
Yang paling gres, di bulan Juli 2022 dikabarkan bahwa seorang anak dilecehkan oleh empat orang laki-laki paruh baya di Desa Cicapar, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis. Makin seringnya kejadian pelecehan seksual yang dialami oleh anak-anak, menandakan tidak ada ruang dan tempat yang benar-benar aman.
Ini sungguh pekerjaan rumah yang tidak ringan bagi pemerintah yang mendapat mandat dari undang-undang agar melindungi anak-anak dari segala bentuk mara bahaya dan tindak pelecehan seksual. Apalagi di zaman sekarang, tontonan dan akses internet sangat mudah dijangkau. Jika lepas dari pengawasan, maka anak rentan melihat adegan-adegan yang memuat konten pornografi. Sungguh bahaya bukan? Kemudahan arus teknologi hendaknya membuat setiap orang tetap waspada dari segala kemungkinan.
Tingginya angka pelecehan seksual di negara kita, Indonesia, sudah sepatutnya membuat setiap orang waspada. Berdasarkan data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPPA) Kementerian PPPA, pelecehan seksual tidak hanya dialami oleh perempuan. Selama periode Januari sampai Juli 2022 terdapat 10.569 korban perempuan dan 1.769 korban laki-laki dari total 11.400 kasus. Dan korban terhadap anak sebesar 56,2 persen dari total kasus. Oleh karenanya, setiap anak perlu dibekali sejak dini tentang informasi jenis-jenis sentuhan tidak aman. Kenapa? Karena sebagai orang tua kita tidak setiap detik, menit bahkan jam bisa menemani anak-anak. Acap kali, sentuhan-sentuhan kepada anak dianggap wajar. Misalnya menyentuh bibir, menyentuh dada, menyentuh kemaluan dan menyentuh pantat. Padahal, ini sentuhan berbahaya.
Ada banyak faktor yang menyebabkan anak-anak khususnya ‘batuta’ (bawah tujuh tahun) rentan menjadi korban pelecehan. Misalnya yaitu; 1) anak relatif masih bergantung pada yang lebih dewasa, 2) cenderung menurut jika diminta melakukan sesuatu, 3) belum memahami hak-haknya secara utuh meskipun melekat pada dirinya dan 4) belum memiliki pemahaman pelecehan seksual yang lengkap. Di samping itu ada juga faktor penegakan hukum yang terkadang berbelit-belit dan terkesan lamban penanganannya.
Semua orang mengetahui kalau dampak pelecehan seksual sangat besar bagi korban. Tidak hanya dampak secara fisik tetapi juga psikis, seksual dan lingkungan sosial. Biasanya, para korban pelecehan seksual perlu waktu atau bahkan enggan bercerita kepada orangtuanya atau anggota keluarga lain. Apalagi jika pelaku pelecehan justru orang terdekat korban, semakin menyulitkan bagi korban mencari bantuan pertolongan. Ancaman dan intimidasi biasanya dialami korban. Sebagai individu, setiap orang bisa terlibat aktif mencegah terjadinya pelecehan seksual. Caranya bagaimana?
Pertama, jangan menjadi pelaku pelecehan seksual. Kedua, aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang di dalamnya mempromosikan pencegahan atau penanganan pelecehan seksual. Misalnya dengan membagikan informasi atau membuat quote yang berisi ajakan menghargai tubuh orang lain. Ketiga, menjadi relawan yang mendukung segala bentuk kampanye pencegahan pelecehan seksual. Keempat, perlu juga membangun kesadaran dan memberikan atensi kepada anak-anak, baik di tempat umum maupun di lingkungan privat. Artinya, jangan biarkan anak-anak sendiri tanpa pengawasan. Kelima, menggalang dukungan sumber daya dan merawat jaringan sebagai referensi penanganan kasus.
Saat ini juga sudah terbentuk Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang sudah tersebar hampir di seluruh kabupaten/kota se Indonesia. Jika menjumpai kasus pelecehan seksual bisa melaporkan pada lembaga ini. Menurut kementrian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, P2TP2A merupakan pusat pelayanan yang terintegrasi dalam upaya pemberdayaan perempuan di berbagai bidang pembangunan, serta perlindungan perempuan dan anak dari berbagai jenis diskriminasi dan tindak kekerasan, termasuk perdagangan orang.
Hadirnya program desa layak anak dan sekolah ramah anak, yang didalamnya memuat anti kekerasan, mestinya menjadi langkah awal yang perlu diwujudkan oleh pemerintah agar setiap anak merasa aman dan nyaman ketika beraktifikas di ruang publik. Namun, hal ini butuh keseriusan, dukungan sumber daya dan jejaring yang kuat untuk mewujudkan anak terbebas dari pelecehan seksual. Semoga.
Sumber: https://pusdeka.com/2022/10/09/menjaga-anak-anak-dari-pelecehan-seksual/
You may like
Opini
Perempuan 24 Jam, Kisah Seorang Istri dalam The Great Indian Kitchen

Published
6 days agoon
14 April 2025By
Mitra Wacana
Pesta telah usai. Musik berhenti. Tawa dan ucapan selamat menguap bersama bunga-bunga yang mulai layu di atas meja. Akan tetapi ada cerita lain di tengah kemeriahan resepsi pernikahan, hidup seorang perempuan justru baru saja dimulai. Bukan dari kamar tidur atau ruang keluarga, tetapi dari dapur.
Dapur, Awal Penjara Domestik?
Dalam film The Great Indian Kitchen, pagi pertama setelah menjadi istri bukan tentang bahagianya bulan madu atau merencanakan masa depan, melainkan dihadapkan dengan rutinitas tanpa henti. Dimulai bangun tidur dilanjutkan memasak, menyuguhkan teh, mencuci piring, menyapu, mengepel, menjemur, menyiapkan peralatan ibadah, bahkan mengulurkan sikat gigi untuk mertuanya. Semua itu berulang setiap hari, tanpa jeda.
Oiya, film ini dirilis di platform Neestream pada 15 Januari 2021. Film tersebut mendapatkan pujian dan meraih sejumlah penghargaan dalam Kerala State Film Award, termasuk Film Terbaik, Skenario Terbaik untuk Jeo Baby, dan Penata Suara Terbaik untuk Tony Babu.
Sang sutradara, Jeo Baby, tidak menambahkan bumbu musik dramatis atau dialog untuk menggugah emosi penonton. Justru melalui keheningan dan repetisi itulah kita bisa merasakan. “Wah tentu hal ini bukan pekerjaan rumah. Suatu rutinitas yang menjelma menjadi penjara bagi perempuan.”
Repetisi dan Tubuh Perempuan yang Kelelahan
Saya menonton sambil gemas campur jengkel. Bukan karena ada adegan kekerasan. Tapi karena tidak ada ruang bernapas, tidak ada jeda sama sekali. Bahkan saat malam hari, ketika kondisi fisik si istri sudah sempoyongan nyaris roboh, ia tetap harus “melayani” suaminya. Tidak ada ruang untuk berkata, “Aku capek.” Bahkan tidak ada kesempatan untuk berkeluh kesah pada suami.
Lebih miris lagi ketika ada adegan istri sedang menjalani siklus biologis menstruasi, yang semestinya bisa menjadi ruang untuk sekedar menghela napas dan istirahat, justru diasingkan. Dianggap kotor dan najis. Tidak layak menyentuh dapur, tidak layak menyentuh siapa pun.
Hemat saya, setiap adegan dalam film ini terasa menyakitkan karena terlalu nyata. Terlalu akrab, terlalu dekat dengan kehidupan banyak perempuan yang saya jumpai setiap hari. Boleh jadi termasuk perempuan di rumahmu, yang kau panggil ibu atau bahkan istri.
Saya bertanya-tanya, seberapa sering kita, para laki-laki, benar-benar memahami beban domestik? Maksud saya bahwa “mengurus rumah” itu sungguh melelahkan. Karena, melipat baju bukan sekedar menumpuk kain jadi rapi. Tapi tentang mengulang-ulang rutinitas yang orang anggap remeh. Karena dapur bukan cuma tentang memproses dan menghidangkan makanan, tapi bisa jadi ruang terkecil yang mengurung “tubuh dan waktu” seorang perempuan.
Dan, ketika perempuan mulai bicara tentang ingin istirahat, ingin waktu untuk diri sendiri, atau tidak ingin hanya jadi “pelayan keluarga”, kenapa ada sebagian dari kita tersinggung? Atau merasa diserang? Padahal, mungkin saja kita belum pernah bertanya kepada istri, “Apa kamu lelah? Kamu bahagia? Atau apa kamu pengen dibantu…,?”
Guyonan “waktu 24 jam itu kurang” yang sering kita dengar dari para perempuan ternyata bukan lelucon belaka. Agaknya lebih pas jika disebut sebagai jeritan yang dibungkus tawa agar tidak dianggap mengeluh. Karena sejak kecil, perempuan diminta (didoktrin) untuk melayani. Harus tahan banting, dipaksa tetap diam meskipun remuk.
Maka ketika tiba waktunya menikah, banyak dari mereka langsung “aktif mode otomatisnya”. Bersikap lembut, menyambut suami sepulang aktivitas, nyiapin kopi, memasak, mengurus anak, menyetrika baju, menemani suami, bahkan mematikan lampu sebelum tidur. Semuanya dikerjakan seolah-olah sebagai kewajiban kodrati. Bagaimana jika nggak bisa? Rasa bersalah langsung datang tanpa diundang.
Mulai dari Berbagi Beban
Ironisnya, saat perempuan mulai memiliki kesempatan di ruang publik seperti sekolah, bekerja, aktif di komunitas, pekerjaan rumah tidak otomatis berubah menjadi tanggung jawab bersama. Mereka harus menjalani dua shift; pagi-siang di luar rumah, malam di dalam rumah. Tanpa gaji, tanpa tunjangan, bahkan tanpa ucapan terima kasih.
Bagaimana dengan laki-laki? Saat ada yang mulai terjun ke dapur untuk memasak, atau menyapu, menjemur pakaian, dan mencuci terkadang malah dianggap “kurang jantan”. Seolah pekerjaan rumah tangga seperti sebagai ancaman buat maskulinitas.
Padahal, sejujurnya kita sama-sama terjebak. Perempuan sedang memendam kelelahan sedangkan laki-laki juga dikurung oleh stereotip dominasi. Tapi anehnya, hanya perempuan yang terus diminta untuk kuat, sabar, dan tidak mengeluh.
Saya menulis ini bukan untuk menyalahkan siapa pun. Tapi mengajak setiap orang untuk bertanya pada diri sendiri, pada teman-teman laki-laki, atau siapa pun yang ingin (atau sedang) membangun rumah tangga. “Apakah kamu sudah siap untuk berbagi beban?”
Hemat penulis, cinta bukan hanya tentang kata-kata manis dan janji hidup bahagia. Namun, tentang keberanian mengambil peran kepada orang yang dicintai, dan dengan ringan mengucapkan, “Sini aku yang mengerjakan, supaya kamu bisa istirahat.”
Kesadaran Baru Bisa Dimulai dari Dapur
Perubahan tidak harus menunggu revolusi. Kadang cukup dari satu piring yang dicuci bersama. Satu sapu yang dipegang tanpa disuruh. Satu kalimat kecil yang keluar dari mulut laki-laki secara sadar, “Sudah sana kamu istirahat, biar aku yang beresin.”
Sebab mungkin, kemerdekaan pertama yang bisa dirasakan perempuan dalam rumah tangga adalah saat tubuhnya tidak lagi dianggap mesin. Saat secara sadar mendapatkan ruang untuk jadi manusia biasa, yang bisa lelah, bisa istirahat, dan boleh berkata, “Hari ini aku ingin diam saja.”
Dan buat para laki-laki, mari jujur. Mungkin yang bikin kamu ngerasa “terancam” itu bukan karena pekerjaan rumahnya, tapi karena kamu belum pernah benar-benar ikut hidup bareng, cuma numpang dilayani. Jadi, sudahkah kamu hari ini bantu cuci piring? Kalau belum, ya… Semoga kamu bukan bagian dari masalah.
Wahyu Tanoto
Pengurus Perkumpulan Mitra Wacana