web analytics
Connect with us

Berita

Mewaspadai Radikalisme Digital: Mencegah Intoleransi, Radikalisme, dan Ekstremisme di Era Media Sosial

Published

on

Jumat, 9 Mei 2025, Mitra Wacana berkolaborasi dengan Mahasiswa Magang mengadakan diskusi bersama. Diskusi ini menghadirkan teman-teman dari berbagai latar belakang keberagaman. Tema yang diangkat terasa sangat relevan dengan kondisi saat ini: Pencegahan Intoleransi, Radikalisme, dan Ekstremisme, khususnya dalam konteks digital yang kian kompleks.

Di tengah derasnya arus informasi yang membanjiri lini masa kita setiap hari, bentuk penyebaran paham radikal dan intoleran pun telah berubah wajah. Jika dahulu radikalisme menyebar lewat mimbar, buku, atau ceramah, kini ia menjelma lewat algoritma media sosial. Platform seperti TikTok, Telegram, YouTube, dan sejenisnya telah menjadi ladang subur penyebaran kebencian, prasangka, dan ide-ide ekstrem. Ironisnya, konten-konten ini sering kali dikemas dengan sangat menarik—visual yang apik, narasi yang meyakinkan, dan dibungkus dalam bahasa anak muda yang akrab—sehingga sulit dikenali sebagai ancaman sejak awal.

Kita sering kali lupa bahwa intoleransi tidak muncul begitu saja. Ia tumbuh pelan-pelan dari kegagalan kita menghargai perbedaan. Dalam kehidupan sehari-hari, bentuknya bisa beragam: penolakan pembangunan rumah ibadah, larangan atribut keagamaan di ruang publik, atau bahkan kos-kosan yang secara terang-terangan hanya menerima penghuni dari agama tertentu. Sekilas tampak sepele, tapi di baliknya tersembunyi cara pandang eksklusif yang tak memberi ruang pada keragaman.

Lebih jauh lagi, radikalisme dan ekstremisme berkembang dalam tiga tahap yaitu cara pandang, sikap, dan tindakan. Ketika seseorang merasa paling benar, mulai mudah melabeli orang lain sebagai “kafir”, dan menolak hidup berdampingan, itu adalah tanda-tanda awal dari bahaya yang lebih besar. Dalam konteks sosial, hal ini kerap diperparah oleh ketimpangan ekonomi, rasa terpinggirkan, dan sentimen bahwa identitas kelompoknya sedang diserang. Perasaan-perasaan inilah yang kerap menjadi bahan bakar bagi radikalisme, terutama ketika disulut oleh informasi yang tidak benar.

Media sosial memperburuk situasi ini. Algoritma hanya menunjukkan apa yang ingin kita lihat, memperkuat bias, mempersempit pandangan, dan menutup ruang dialog. Akibatnya, pengguna terjebak dalam echo chamber yang memperkuat keyakinan sendiri tanpa pernah mendapat perspektif lain. Ditambah lagi dengan maraknya hoaks dan ujaran kebencian, polanya menjadi semakin mengkhawatirkan.

Yang membuat situasi semakin rumit adalah jenis-jenis hoaks yang kini semakin canggih. Ada hoaks yang menyamar sebagai humor atau satire, ada pula yang mencampur informasi palsu dengan fakta, bahkan ada yang memanipulasi video agar terlihat benar. Hoaks semacam ini bukan sekadar kebohongan biasa—ia bisa menjadi pemicu konflik sosial yang besar. Kita pernah melihat dampaknya, seperti pada konflik Ambon atau insiden Tolikara. Satu informasi menyesatkan bisa berubah menjadi bara api dalam hitungan jam.

Melawan semua ini jelas tidak cukup hanya dengan seruan toleransi. Diperlukan langkah yang lebih konkret, seperti memperkuat literasi digital masyarakat, mengajarkan cara memilah informasi, serta membongkar cara berpikir eksklusif yang sering menjadi akar masalah. Kita juga perlu lebih kritis terhadap narasi-narasi publik—termasuk kebijakan pemerintah—yang mengandung bias atau diskriminasi terhadap kelompok tertentu.

Yang kita butuhkan adalah ruang-ruang inklusif yang tidak sekadar menerima keberagaman, tetapi juga merayakannya. Ruang di mana setiap orang, dari latar belakang apa pun, merasa aman dan dihargai. Ini bukan hal utopis. Ini bisa dimulai dari kebiasaan sederhana: memilih informasi yang kita baca, membagikan konten yang memperluas wawasan, dan berhenti menyebarkan kabar yang belum jelas kebenarannya.

Pada akhirnya, dunia digital memang tidak bisa kita hindari. Tapi kita masih punya kendali atas cara kita bersikap di dalamnya. Kita bisa memilih untuk curiga satu sama lain, atau memilih untuk saling belajar dan memahami. Di era ini, pilihan itu hadir dalam bentuk yang sangat sederhana—apa yang kita klik, siapa yang kita ikuti, dan konten seperti apa yang kita bagikan.

Maka, mari kita bijak dalam menyaring informasi. Karena dari situlah inklusivitas bisa tumbuh, diskriminasi bisa dicegah, dan keberagaman bisa menjadi kekuatan, bukan ancaman. Ini bukan hanya soal dunia maya—ini soal bagaimana kita membentuk masyarakat yang adil dan damai di dunia nyata.

Penulis : Oksafira

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Berita

Perempuan Indonesia Merajut Solidaritas: Suara dari Akar Rumput untuk Keadilan dan Kemanusiaan

Published

on

Oleh Nurmalia Ika Widiasari, S.H., MKn (Dewan Pengurus Mitra Wacana)

Jakarta, 24 Mei 2025 — Di tengah tantangan kesetaraan gender dan ketidakadilan sosial yang masih mengemuka di Indonesia, para perempuan dari berbagai penjuru tanah air berkumpul di lantai 4 Grha Pemuda Katedral Jakarta dalam forum diskusi bertajuk “Perempuan Indonesia Merajut Solidaritas Bersama.” Acara ini merupakan serial ketiga dari Bonum Commune Forum (BCF) yang diselenggarakan oleh Keuskupan Agung Jakarta dan 5P Global Movement. Mitra Wacana hadir sebagai tamu istimewa dan duduk di barisan depan forum tersebut.

Mengusung semangat Hari Perempuan Internasional bertema “For All Women and Girls: Rights. Equality. Empowerment,” forum ini menegaskan bahwa perjuangan perempuan bukan sekadar selebrasi simbolik, melainkan panggilan untuk aksi nyata. Acara dibuka dengan sambutan hangat dan selingan humor oleh Inaya Wahid, aktivis dan seniman, yang menghidupkan suasana diskusi sejak menit pertama.

Tiga narasumber utama hadir dengan cerita dan perjuangan yang menyentuh. Sumini, pengelola hutan adat dari Aceh, membagikan kisah perjuangannya menjaga hutan dengan pendekatan damai. “Kami tidak melawan para pembakar hutan dengan kekerasan, kami ajak makan, lalu berdialog,” ungkapnya, sambil menegaskan bahwa keberlanjutan lingkungan bisa dimulai dari tindakan kecil dan konsisten.

Suster Laurentina, yang dikenal sebagai “Suster Cargo,” membagikan realitas pahit para Buruh Migran (BM) asal NTT. Ia menyinggung banyaknya BM yang meninggal di luar negeri tanpa perlindungan hukum yang memadai. “Kadang saya disebut perempuan kurang kerjaan karena urus jenazah. Tapi ini panggilan hati,” tegasnya, yang disambut tawa haru peserta ketika ia menjawab guyonan Inaya dengan spontan dan jenaka.

Sementara itu, Octavia Wuri dari Sekolah Tanpa Batas menuturkan perjuangannya mendirikan sekolah inklusif bagi anak-anak difabel dan marjinal. Ia nyaris menyerah, hingga seorang siswanya mengaku ingin bunuh diri. “Saat itu saya tahu, saya tidak bisa berhenti,” katanya, lirih namun penuh daya.

Diskusi semakin kuat ketika penanggap seperti Karlina Supeli dan Andar Nubowo menekankan pentingnya memperluas solidaritas lintas isu dan gender. Karlina menyoroti bahwa perubahan sosial bisa memakan waktu hingga 2000 tahun jika tidak ada intervensi nyata. Sedangkan Andar menyebut tiga perempuan pembicara sebagai “Power Rangers perubahan.”

Isu-isu penting seperti larangan pendirian rumah ibadah, diskriminasi Ahmadiyah, hingga pembongkaran makam juga mengemuka dalam sesi tanya jawab. Inaya Wahid merespons dengan tegas bahwa perjuangan Gusdurian adalah membela yang minoritas dan terpinggirkan, karena “mereka yang kerap dilupakan negara.”

Forum ditutup dengan pernyataan solidaritas dari peserta lintas iman, termasuk Pak Kusbini yang menyampaikan duka atas wafatnya Paus dan harapan atas pemilihan Paus Leo. “Kita mungkin tidak seiman, tapi kita sejalan dalam perjuangan kemanusiaan,” ujarnya mantap.

Kegiatan ini menjadi bukti bahwa suara perempuan dari akar rumput adalah kunci untuk membangun Indonesia yang inklusif, adil, dan berkelanjutan.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending