web analytics
Connect with us

Berita

Mitra Wacana akan Adakan Semiloka bersama 83 Stakeholder di 3 Kecamatan (Jetis, Mergangsan, & Tegalrejo)

Published

on

   Kerangka Acuan

Semiloka UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan

Untuk Multi Stakeholder 3 Kecamatan; Jetis, Tegalrejo dan Mergangsan

Yogyakarta, 26 Juni 2019

 

Latar Belakang

Mitra Wacana adalah Lembaga sosial yang bergerak untuk penguatan informasi dan pendidikan bagi perempuan dan anak. Wilayah kerja Mitra Wacana berada di kota Yogyakarta dan Kulon Progo. Saat ini Mitra Wacana bekerjasama dengan Yayasan Inisiatif  Perubahan Akses Menuju Sehat (IPAS) Indonesia  sedang menjalankan program di wilayah Kota Yogyakarta dalam Program Peningkatan Kesehatan Reproduksi Perempuan Terintegrasi  (PEKERTi).

Penerima manfaat langsung  program ini adalah perempuan dan perempuan muda di 3 Kecamatan (Jetis, Tegalrejo dan Mergangsan) Kota Yogyakarta dengan wilayah sebagai berikut; Kecamatan Jetis (Kelurahan Bumijo, Cokrodiningratan dan Gowongan), Kecamatan Tegalrejo (Kelurahan Karangwaru, Kricak, Tegalrejo dan Bener), dan Kecamatan Mergangsan ( Kelurahan Brotokusuman, Keparakan, dan Wirogunan).

Tujuan dari program ini untuk penurunan kematian dan kesakitan ibu melalui pemberian informasi Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) komprehensif, termasuk tentang perencanaan kehamilan dan kontrasepsi, pencegahan dan penanganan Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD), termasuk diantaranya tentang Asuhan Paska Keguguran (APK) komprehensif dalam kerangka mencapai kesetaraan dalam aspek kesehatan reproduksi.

Kesehatan Reproduksi telah dimasukkan di dalam UU no 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, khususnya di dalam bagian keenam, Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada laki-laki dan perempuan (pasal 71 ayat 1). Kesehatan reproduksi adalah hak bagi setiap orang tanpa terkecuali.  Dalam   UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ini telah diatur tentang hak masyarakat dan juga kewajiban Pemerintah dalam pelayanan Kesehatan Reproduksi. Pemerintah juga telah mengeluarkan aturan pelaksanaan tentang Kesehatan Reproduksi ini melalui Peraturan Pemerintah No.61 tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi,

Walaupun telah 10 tahun diundangkan, namun banyak aparat pemerintah / pemerintah daerah maupun masyarakat yang belum mengetahui tentang UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan maupun PP No. 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi tadi, Sebagai akibatnya, dapat menimbulkan pelayanan yang bleum maskimal dalam hal Kespro, juga tidak maksimalnya partisipasi masyarakat ataupun penggunaan pelayanan kespro oleh masyarakat.

Melihat kondisi tersebut diatas Mitra Wacana bermaksud membangun sinergitas multi stakeholder dari 3 Kecamatan (Mergangsan, Jetis dan Tegalrejo) untuk bersama-sama mempelajari Undang-Undang No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan maupun PP 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.

 

Tujuan

Semiloka ini bertujuan untuk sosialisasi UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan khususnya tentang Kesehatan Reproduksi dan PP No.61 tentang Kesehatan Reproduksi bagi stakeholder di 3 Kecamatan (Mergangsan, Jetis, dan Tegalrejo).

 

Tujuan Khusus:

  1. Meningkatkan pengetahuan peserta tentang UU N0 36 Tahun 2019 tentang Kesehatan dan PP No 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi
  2. Meningkatkan kepedulian peserta tentang program Kespro di wilayah kerja peserta

 

Output

  1. Peserta mendapatkan informasi tentang UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan PP No. 61 tentang Kesehatan Reproduksi
  2. Peserta dapat mengidentifikasi program Kespro yang perlu diselenggarakan atau ditingkatkan sesuai dengan UU No 36 Tahun 2009 maupun PP No 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.

 

Peserta

Peserta semiloka  ini akan diikuti oleh 83 peserta terdiri dari 68 Stakeholder dari 3 Kecamatan (Mergangsan, Jetis, dan Tegalrejo),  4 narasumber, 1 moderator, 7 Mitra Wacana.

 

Narasumber

  1. Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta
  2. Kepala Puskesmas Jetis
  3. Kepala Puskesmas Mergangsan
  4. Kepala Puskesmas Tegalrejo

Panduan Pertanyaan untuk Dinkes Kota Yogya :

  1. Sosialisasi UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan terutama bagian keenam tentang kesehatan reproduksi
  2. Sosialisasi PP. No 61 Tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi
  3. Program kespro yang sudah ada di kota Yogyakarta
  4. Pengalaman dan tantangan implementasi UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan dan PP. No 61 Tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi

 

Panduan pertanyaan untuk Kepala Puskesmas Jetis, Mergangsan dan Tegalrejo:

  1. Data Kespro di Kecamatan
  2. Program kespro di kecamatan
  3. Pengalaman dan tantangan dalam pelaksanaan dan sosialisasi program kespro di kecamatan

 

 

  1. Waktu dan Tempat

Waktu

Pelatihan ini akan diselenggarakan Hari Rabu, 26 Juni 2019.

Jam 08.30 – 14.00 WIB

Tempat :

Hotel Arjuna

Jl. P Mangkubumi No. 44 Yogyakarta

Telp. (0274)4469444

 

Konfirmasi Kehadiran :

Ning : 085786813009

 

 

 

 

Daftar Peserta

  1. Camat Mergangsan
  2. Kepala KUA Mergangsan
  3. Kepala Puskesmas Mergangsan
  4. Kepala Polsek Mergangsan
  5. Danramil Mergangsan
  6. Lurah Wirogunan
  7. Lurah Keparakan
  8. Lurah Brontokusuman
  9. Ketua Karangtaruna Wirogunan
  10. Ketua Karangtaruna Brontokusuman
  11. Ketua Karangtaruna Keparakan
  12. Ketua PKK Kecamatan Mergangsan
  13. Ketua PKK Kelurahan Wirogunan
  14. Ketua PKK Kelurahan Keparakan
  15. Ketua PKK Kelurahan Brontokusuman
  16. Tokoh Agama Kelurahan Wirogunan
  17. Tokoh Agama Kelurahan Brontokusuman
  18. Tokoh Agama Kelurahan Keparakan
  19. Tokoh Masyarakat Kelurahan Wirogunan
  20. Tokoh Masyarakat Kelurahan Keparakan
  21. Tokoh Masyarakat Kelurahan Brontokusuman
  22. Camat Jetis
  23. Kepala KUA Jetis
  24. Kepala Puskesmas Jetis
  25. Kepala Polsek Mergangsan
  26. Danramil Jetis
  27. Lurah Bumijo
  28. Lurah Gowongan
  29. Lurah Cokrodiningratan
  30. Ketua Karangtaruna Bumijo
  31. Ketua Karangtaruna Gowongan
  32. Ketua Karangtaruna Cokrodiningratan
  33. Ketua PKK Kecamatan Jetis
  34. Ketua PKK Kelurahan Bumijo
  35. Ketua PKK Kelurahan Gowongan
  36. Ketua PKK Kelurahan Cokrodiningratan
  37. Tokoh Agama Kelurahan Bumijo
  38. Tokoh Agama Kelurahan Cokrodiningratan
  39. Tokoh Agama Kelurahan Gowongan
  40. Tokoh Masyarakat Kelurahan Bumijo
  41. Tokoh Masyarakat Kelurahan Cokrodiningratan
  42. Tokoh Masyarakat Kelurahan Gowongan
  43. Camat Tegalrejo
  44. Kepala KUA Tegalrejo
  45. Kepala Puskesmas Tegalrejo
  46. Kepala Polsek Tegalrejo
  47. Danramil Tegalrejo
  48. Lurah Tegalrejo
  49. Lurah Bener
  50. Lurah Kricak
  51. Lurah Karangwaru
  52. Ketua Karangtaruna Tegalrejo
  53. Ketua Karangtaruna Bener
  54. Ketua Karangtaruna Kricak
  55. Ketua Karangtaruna Karangwaru
  56. Ketua PKK Kecamatan Tegalrejo
  57. Ketua PKK Kelurahan Tegalrejo
  58. Ketua PKK Kelurahan Bener
  59. Ketua PKK Kelurahan Kricak
  60. Ketua PKK Kelurahan Karangwaru
  61. Tokoh Agama Kelurahan Tegalrejo
  62. Tokoh Agama Kelurahan Bener
  63. Tokoh Agama Kelurahan Kricak
  64. Tokoh agama Kelurahan Karangwaru
  65. Tokoh Masyarakat Kelurahan Tegalrejo
  66. Tokoh Masyarakat Kelurahan Karangwaru
  67. Tokoh Masyarakat Kelurahan Kricak
  68. Tokoh Masyarakat Kelurahan Bener
  69. 7 Mitra Wacana
  70. 1 Moderator
  71. 4 Narasumber

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Berita

Dari Diam ke Perlawanan: Saatnya Menghancurkan Kekerasan Seksual

Published

on

Sumber foto: Freepik

Oleh : T.H. Hari Sucahyo*

 

T.H. Hari Sucahyo,
alumnus Psikologi, peminat sosial humaniora

Kejahatan seksual bukan hanya melukai tubuh, tetapi juga merusak martabat dan kemanusiaan. Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah bagaimana budaya diam dan permisif terhadap tindakan ini masih mengakar di masyarakat. Korban sering kali dibungkam oleh stigma, dihakimi oleh lingkungan, bahkan diabaikan oleh sistem hukum. Saatnya kita beralih dari sikap diam menuju perlawanan yang nyata dan terorganisir.

Di banyak kasus, tindak kejahatan ini dibiarkan terjadi karena korban takut berbicara. Masyarakat kerap menyalahkan korban dengan pertanyaan yang seharusnya tidak relevan, seperti “Mengapa berpakaian seperti itu?” atau “Mengapa keluar malam?”. Perspektif ini menciptakan rasa bersalah pada korban dan memberi celah bagi pelaku untuk terus beraksi tanpa konsekuensi.

Selain itu, hukum yang seharusnya melindungi korban sering kali tidak berpihak pada mereka.

             Proses hukum yang berbelit, kurangnya perlindungan bagi korban, serta minimnya edukasi tentang masalah ini menjadi hambatan dalam menegakkan keadilan. Akibatnya, banyak kasus yang tidak dilaporkan atau akhirnya menguap tanpa penyelesaian. Keadaan ini diperburuk oleh kurangnya sumber daya bagi aparat hukum dalam menangani kasus-kasus terkait serta bias gender yang sering kali menguntungkan pelaku.

Budaya patriarki yang masih kuat juga berkontribusi pada maraknya kasus ini. Perempuan, terutama, masih sering dianggap sebagai objek dan berada dalam posisi subordinat dibanding laki-laki. Hal ini melanggengkan dominasi dan pelecehan, baik di ranah publik maupun domestik. Sementara itu, korban laki-laki juga menghadapi stigma bahwa mereka harus “kuat” dan tidak boleh mengakui diri sebagai korban, yang semakin memperparah sikap diam terhadap permasalahan ini.

Perlawanan terhadap tindak kekerasan ini harus dimulai dari perubahan pola pikir. Kita harus berhenti menyalahkan korban dan mulai menempatkan tanggung jawab sepenuhnya pada pelaku. Kesadaran ini harus diperkuat dengan edukasi yang masif di berbagai lini, mulai dari keluarga, sekolah, hingga tempat kerja. Edukasi tentang persetujuan (consent) dan kesetaraan gender harus menjadi bagian dari kurikulum di sekolah untuk membangun generasi yang lebih sadar dan peduli terhadap isu ini.

Di samping itu sistem hukum harus diperbaiki agar lebih responsif terhadap korban. Undang-undang yang lebih tegas, perlindungan bagi korban, serta proses hukum yang tidak berbelit adalah hal mendesak yang harus diwujudkan. Perlu pula ada mekanisme dukungan psikologis yang mudah diakses oleh para penyintas. Negara harus menjamin adanya layanan darurat, tempat perlindungan, serta pendampingan hukum yang bebas biaya bagi korban. Di banyak negara, sistem peradilan berbasis gender telah diterapkan untuk memastikan keadilan bagi korban, dan Indonesia harus mengambil langkah serupa.

Dalam hal ini media dan tokoh publik memiliki peran penting dalam membentuk opini masyarakat. Dengan semakin banyaknya figur yang berbicara tentang pentingnya menghapus tindak pelecehan dan kekerasan, akan semakin banyak pula kesadaran yang terbangun. Kampanye daring maupun luring harus diperkuat untuk menciptakan tekanan sosial terhadap para pelaku dan sistem yang masih abai terhadap isu ini. Media harus lebih banyak memberitakan kasus-kasus terkait dengan perspektif yang berpihak pada korban dan tidak menyajikan narasi yang membenarkan perilaku pelaku.

Perusahaan dan institusi juga harus mengambil peran dalam menghapus pelecehan di lingkungan kerja. Lingkungan kerja yang bebas dari intimidasi dan kekerasan harus menjadi prioritas, dengan kebijakan nol toleransi terhadap segala bentuk pelecehan. Program pelatihan bagi karyawan serta kanal pengaduan yang aman dan terpercaya harus dibangun untuk melindungi pekerja dari ancaman serupa.

Menghapus kejahatan seksual bukan sekadar wacana, tetapi perjuangan yang harus dilakukan secara kolektif. Kita tidak boleh lagi diam dan membiarkan korban bertarung sendirian. Saatnya bergerak, berbicara, dan melawan agar dunia menjadi tempat yang lebih aman bagi semua orang. Dari diam ke perlawanan, itulah jalan yang harus kita tempuh demi keadilan dan kemanusiaan.

Perubahan tidak bisa terjadi dalam semalam, tetapi langkah kecil yang diambil secara konsisten dapat menciptakan dampak besar. Setiap orang, tanpa terkecuali, memiliki peran dalam menciptakan dunia yang bebas dari kekerasan dan pelecehan. Mari kita mulai dari diri sendiri, dari lingkungan terdekat kita, dan bersama-sama membangun masa depan yang lebih adil dan manusiawi.

 

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending