Opini
P3A Tirto Kemuning Bahas Gender dan Politik

Published
9 years agoon
By
Mitra Wacana
Oleh : Astriani (Divisi Pendidikan Mitra Wacana)
Kesetaraan gender masih terus diperjuangkan baik di tingkat eksekutif maupun legislatif. Oleh karenanya, gerakan gender kemudian menjadi arus utama di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia. Dalam proses demokratisasi, persoalan partisipasi politik perempuan yang lebih besar, reperesentasi dan persoalan akuntabilitas menjadi persyaratan mutlak bagi terwujudnya demokrasi yang lebih bermakna di Indonesia.
Bertempat di rumah Salmiyah desa Tirto Rahayu, kecamatan Galur, kabupaten Kulonprogo sekelompok perempuan yang tergabung dalam organisasi Pusat Pembelajaran Perempuan dan Anak (P3A) Tirto Kemuning mengadakan pertemuan rutin setiap bulan guna mendiskusikan keterlibatan perempuan dalam politik pada Kamis (15/12/2016).
Menurut Umiasih, pendamping P3A Tirto Kemuning dari Mitra Wacana WRC menyatakan bahwa jaman sekarang antara laki-laki dan perempuan tidak perlu dibeda bedakan, apalagi untuk dunia politik. Sekarang, posisi perempuan sudah setara dengan laki-laki, ungkapnya. Perempuan juga bisa menjadi pemimpin di desa, harus terlibat dalam musywarah di desa. Umiasih menambahkan.
Pertemuan ini dihadiri sebanyak 15 peserta dari berbagai dusun di desa Tirto Rahayu. Selain membahas gender dan keterlibatan perempuan dalam politik para peserta jua mendapatkan informasi mengenai jadwal pelaksanaan sekolah bagi perempuan di desa atau Omah Perempuan Sinau Desa (OPSD) yang akan diselenggarakan pada 17 hingga 18 Desember 2016. (As3/Tnt)
You may like
Membangun Sinergi Media: Mitra Wacana Adakan Briefing Informal Pencegahan Intoleransi dan Radikalisme Bersama Jurnalis
IMPLEMENTASI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN MELALUI PUSAT PEMBELAJARAN PEREMPUAN DAN ANAK (P3A) OLEH LSM MITRA WACANA DI KULON PROGO
Mahasiswa asal Norway Penelitian Isu Kesetaraan Gender di Mitra Wacana
Opini
Puisi ‘Dendam’ Karya Chairil Anwar: Estetika dan Semiosis Peirce Cinta Aulia Margaretha Habeahan

Published
14 hours agoon
20 June 2025By
Mitra Wacana

Cinta Aulia Margaretha Habeahan
Mahasiswa Sastra Indonesia, Universitas Andalas
Estetika adalah cabang filsafat yang mempelajari keindahan. Estetika merupakan bagian dari seni, seni yang berhubungan dengan keindahan. Menurut Aristoteles (1993:28) keindahan menyangkut pada keseimbangan dan keteraturan ukuran, yakni ukuran material, dan pandangannya dengan ini berlaku untuk benda-benda alam maupun untuk karya seni buatan manusia. Bagi karya sastra, estetika sebagai aspek-aspek keindahan sastra yang didominasi oleh gaya bahasa. Keindahan bahasa tidak terkandung dalam bentuk huruf melainkan dalam isi suatu karya. Maka dari itu, estetika dan sastra memiliki hubungan yang begitu erat, di mana estetika berperan sebagai landasan dalam memahami dan menciptakan keindahan suatu karya sastra.
Karya sastra begitu banyak memiliki keindahan gaya bahasa terutama yaitu puisi. Puisi merupakan ungkapan atau curahan hati penyair dan kumpulan bahasa yang setiap baitnya memiliki makna. Salah satu puisi yang memiliki keindahan bahasa yaitu puisi ‘Dendam’ karya Chairil Anwar, yang ditulis pada 13 Juli 1943, dalam buku kumpulan puisi yang berjudul Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949).
Dalam puisi ‘Dendam’ karya Chairil Anwar ini bukan hanya sebuah lontaran emosi saja, melainkan suatu luapan kata-kata kelam, kegelisahan batin, dan pencarian makna dalam kehidupan. Melalui larik-larik yang pendek dan iteratif, Chairil menggambarkan dendam batin manusia yang tidak dapat diluapkan secara langsung.
Namun, melihat lebih jauh, puisi ini dapat dibedah melalui elemen estetika – dari segi pendekatan estetika dan semiosis (tanda dan makna). Berikut puisi ‘Dendam’ karya Chairil Anwar:
Dendam
Berdiri tersentak
Dari mimpi aku bengis dielak
Aku tegak
Bulan bersinar sedikit tak nampak
Tangan meraba ke bawah bantalku
Keris berkarat kugenggam di hulu
Bulan bersinar sedikit tak nampak
Aku mencari
Mendadak mati kuhendak berbekas di jari
Aku mencari
Diri tercerai dari hati
Bulan bersinar sedikit tak nampak
13 Juli 1943
Sumber: Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949)
Semiosis yang digunakan Charles Sanders Peirce sebagai tindak pertandaan, proses pertandaan, atau proses semiotis. Sehingga, dapat menelusuri bagaimana makna-makna tersembunyi dalam puisi yang dibentuk melalui system tanda.
- Dari mimpi aku bengis dielak
Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) kata bengis yaitu kejam, penderitaan, tajam dan pedas; sedangkan kata dielak ialah imbuhan yang membentuk kata kerja pasif dari kata elak yaitu menghindar. Maka, dari bait ini dapat disimpulkan ia terbangun dari mimpinya dengan perasaan yang kejam dan ada keinginan untuk membalas dendam.
- Bulan bersinar sedikit tak nampak
Dalam bait ini bulan melambangkan perasaan, kemampuan, bahkan harapan, dan puisi ini ditandai dengan kegelapan, cahaya bulan yang tak terlihat lagi. Maka, dimaknai sebagai harapan yang nyaris hilang.
- Keris berkarat kugenggam di hulu
Kata keris sebagai simbol warisan, kekuatan, dan sekaligus kekerasan. Karat di keris menyiratkan bahwa dendam itu lama tersimpan, bukan sekadar amarah sesaat. Maka, kata keris dan berkarat membawa konotasi kekerasan, dan warisan dendam lama.
- Diri tercerai dari hati
Bait ini menandakan ia tak hanya marah, tapi juga mendapatkan kehampaan dari hati, sekaligus kehilangan hubungan dengan jiwanya sendiri.
Maka, melalui pendekatan estetika dapat ditemukan bahwa keindahan dalam puisi ‘Dendam’ ini adanya kegelapan, dendam, dan kekosongan. Chairil Anwar tidak menunjukkan kedamaian, tapi memperlihatkan luka dan menghadirkan perasaan dan penderitaan dalam puisinya. Melalui semiosis Peirce, dapat dipahami bahwa puisi ini dapat system tanda yang kompleks. Dari kata-kata seperti keris, bulan, dan diri tercerai menjadi tanda-tanda yang menciptakan makna begitu terikat dengan trauma, kegelisahan batin, dan kekosongan hidup.

Puisi ‘Dendam’ Karya Chairil Anwar: Estetika dan Semiosis Peirce Cinta Aulia Margaretha Habeahan

Nilai Metafora Pada Puisi “ Hujan Deras di Waktu Senja”
