web analytics
Connect with us

Opini

Perempuan dalam Wacana Media

Published

on

Indah Hikmatul Faizah Mahasiswa Magang KPI UIN Sunan Kali Jaga

Isu perempuan dalam wacana media masih menjadi pembicaraan yang menarik untuk dibahas. Mitra Wacana tak ketinggalan untuk mengangkat topik seputar perempuan dalam podcastnya dengan melibatkan Ester Pandiangan, seorang penulis buku “ Sebab Kita Semua Gila Seks” sebagai narasumber. Podcast bertajuk “Perempuan dalam Wacana Media” ini dilaksanakan melalui video meeting di aplikasi Zoom Meeting pada tanggal 6 Oktober 2021 dengan bahasannya yang kurang lebih sebagai berikut:

Perempuan seringkali dikonstruksikan untuk menjadi objek dalam berbagai media massa, baik media cetak maupun elektronik dalam wacananya kerap mendiskreditkan peran perempuan. Konstruksi ini sudah terjadi sejak lampau yang kemudian berlaku hingga kini dan menempatkan perempuan menjadi ‘jenis kelamin kedua’ pada pemberitaan media massa. Bahkan beberapa media cetak pun acapkali meminta para jurnalisnya untuk menampilkan tulisan dengan objek ‘perempuan yang cantik’ sesuai dengan standar kecantikan yang diterapkan oleh masyarakat. Akibatnya, kesalahan media yang menampilkan visualisasi ‘perempuan sempurna’ dalam produk tulisannya, menyeret masyarakat untuk mengakui keberadaan perempuan apabila perempuan tersebut memiliki visualisasi sempurna seperti apa yang disajikan oleh media massa. 

Selain itu, dalam berita pelecehan dan kekerasan pun, perempuan yang berstatus sebagai korban selalu ditempatkan sebagai objek dalam pemberitaannya. Konstruksi sosial terhadap perempuan sebagai objek merupakan kesalahan dari media yang terus berulang dan tidak ada pembenahan di dalamnya. Namun, kesalahan media yang menuliskan perempuan sebagai objek dalam kasus pelecehan dan kekerasan ini tidak serta merta dilakukan oleh jurnalis. Terkadang, beberapa media memiliki SOP atau standar penulisan yang mesti dimuat untuk memenuhi target pasar yang memang menyukai tulisan dengan perempuan sebagai objek (dalam kasus ini, biasanya konsumen memiliki hasrat liar dan merepresentasikannya dalam tulisan yang ia baca). Yang sangat disayangkan adalah media massa terutama cetak yang pada awalnya berperan sebagai gate keeper untuk menyaring beberapa informasi yang akan diberitakan sekarang sudah berganti haluan sejalan dengan tujuan media yang ingin memenuhi target pasar. 

Untuk melawan berbagai pemberitaan yang menjadikan perempuan sebagai objek dalam wacana, terdapat beberapa media alternatif yang menyuarakan keresahannya terhadap konstruksi sosial pada perempuan yang terus berlanjut. Meski belum mampu sepenuhnya mengubah arah pandang tulisan pada media mainstream, dengan lahirnya beberapa media alternatif ini dapat mengedukasi masyarakat/massa untuk mengubah cara pandang mereka akan konstruksi sosial pada perempuan yang dituliskan oleh media. Media sosial dapat dijadikan salah satu opsi untuk melawan pemberitaan media mainstream yang saat ini masih bias gender, yang salah satunya adalah mengkonstruksikan perempuan dalam wacananya. Banyak platform media sosial yang digunakan oleh masyarakat awam untuk mengkritisi tulisan yang dirasa tak pantas untuk dimuat oleh media mainstream, oleh karenanya perlawanan tersebut bisa saja berpotensi untuk menyebar dengan cepat dan dibaca oleh masyarakat luas. 

Produk media massa hingga saaat ini dapat dikategorikan masih bias gender, dan justru konsep bias gender ini sering dijadikan Headline dalam wacana media. Perempuan yang berprestasi kerap diiringi dengan ungkapan seksis yang menjadikan berita tersebut tak lagi memuat prestasi yang diraih, melainkan objektifikasi terhadap tubuh maupun visualisasi si perempuan. Untuk menindaklanjuti objektifikasi terhadap tubuh perempuan, dapat diajukan perlawanan dan protes kepada media-media yang memuat berita dengan menjadikan perempuan sebagai objek. 

Sangat penting untuk dilakukan training jurnalistik pada jurnalisme sekarang agar lebih ramah gender supaya tak hanya memikat pembaca dari segi judul namun juga untuk mengedukasi para pembacanya agar tak meluaskan budaya konstruksi sosial pada perempuan yang sering dielu-elukan media. Selain itu, untuk para jurnalis juga diharapkan agar menuliskan berita yang berimbang agar tak lagi mengobjektifikasi tubuh perempuan dalam wacana penulisannya di media, dengan begitu media mainstream dapat lagi kembali ke fungsi awalnya sebagai media yang tak hanya menghibur namun juga mengedukasi. 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opini

25 Juta Jiwa Jadi Korban Perdagangan manusia

Published

on

Pegiat Mitra Wacana

   Wahyu Tanoto

Oleh Wahyu Tanoto

Perdagangan manusia adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang maha serius dan bersifat global. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), perdagangan manusia adalah “perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang dengan cara seperti ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk lainnya. Pemaksaan, penculikan, penipuan atau penipuan untuk tujuan eksploitasi.” Eksploitasi tersebut dapat berupa kerja paksa, perbudakan, pelacuran, atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya.

Rumit dan Multidimensi

Perdagangan manusia adalah masalah yang terbilang rumit dan multidimensi. Pelakunya boleh jadi berasal dari berbagai latar belakang, termasuk individu, kelompok, atau bahkan organisasi. Korban perdagangan manusia juga berasal dari berbagai latar belakang, termasuk laki-laki, perempuan, dan anak-anak.

Merujuk United Office on Drugs and Crime (UNODC) dan International Labour Office (ILO), terdapat hampir 25 juta korban; perempuan, laki-laki dan anak-anak di seluruh dunia untuk tujuan eksploitasi seksual dan kerja paksa. Karenanya, perdagangan manusia merupakan pelanggaran berat terhadap martabat manusia dan menargetkan kelompok rentan seperti migran, serta pengungsi pada khususnya. Salah satu tren yang paling memprihatinkan adalah meningkatnya jumlah anak-anak yang menjadi korban, meningkat tiga kali lipat dalam 15 tahun. Kejahatan ini dilaporkan menghasilkan lebih dari $150 miliar per tahun di seluruh dunia. Hal ini semakin dianggap sebagai masalah keamanan global karena memicu korupsi, migrasi tidak teratur, dan terorisme.

Pada 2023, Indonesia masih dihadapkan dengan tantangan besar dalam mengatasi kasus Tindak Pidana Perdagangan manusia (TPPO). Menurut data yang dihimpun oleh Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), mencatat dari tahun 2020 sampai dengan tahun 2022, terdapat 1.418 kasus dan 1.581 korban TPPO yang dilaporkan. Dari data tersebut  menunjukkan sebanyak 96% korban perdagangan orang adalah perempuan dan anak

Bahkan, yang paling gres sebanyak 1.047 mahasiswa dari 33 universitas di Indonesia diduga menjadi korban eksploitasi kerja dengan modus magang di Jerman (ferienjob) pada Oktober sampai Desember 2023. Diadaptasi dari Tempo.co, perihal kronologi kejadiannya, para mahasiswa mendapat sosialisasi dari CVGEN dan PT. SHB. Mereka dibebankan biaya pendaftaran sebesar Rp 150.000, dan membayar 150 Euro untuk membuat LOA (Letter of Acceptance).

Dampak yang mengerikan

Perdagangan manusia memiliki dampak yang menghancurkan bagi korban. Mereka, para korban perdagangan manusia kerapkali mengalami kekerasan fisik, psikologis, seksual (termasuk di ranah luring). Mereka juga mengalami kerugian ekonomi dan sosial.

Meskipun perdagangan manusia merupakan masalah yang bersifat global, namun, hal ini sering kali terlupakan dan luput dari perhatian. Ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap ketidaktahuan masyarakat tentang perdagangan manusia, termasuk: (1) Perdagangan manusia sering terjadi di belakang layar dan sulit dideteksi; (2) Korban perdagangan manusia kerap takut untuk bersuara dan melapor; (3) Masyarakat sering tidak menyadari bahwa perdagangan manusia sebagai masalah serius yang bisa menimpa siapa saja; (4) Peraturan perundangan-undangan dan kebijakan belum sepenuhnya dipahami oleh semua lapisan masyarakat, dan (5) Bentuk dan upaya pencegahan biasanya  dianggap seremonial.

Upaya Negara

Untuk mengatasi masalah perdagangan manusia, diperlukan upaya dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga internasional, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat umum. Upaya-upaya tersebut diantaranya mencakup: 1) Peningkatan kesadaran masyarakat tentang perdagangan manusia, 2) Peningkatan dukungan bagi korban perdagangan manusia.  3) Peningkatan upaya penegakan hukum untuk memerangi perdagangan manusia.

Sebagaimana diketahui, pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah untuk menangani masalah perdagangan manusia. Indonesia menetapkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan manusia. Undang-undang tersebut didukung oleh pembentukan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan manusia melalui ditetapkannya Peraturan Presiden No. 69 Tahun 2008.

Meskipun begitu, masih banyak hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah perdagangan manusia di Indonesia. Pemerintah memiliki kewajiban mengoptimalkan pencegahan, pemantauan berkala, mengimplementasikan penegakan hukum, dan berkolaborasi dengan warga masyarakat demi meningkatnya kesadaran tentang kerentanan, bahaya dan dampak perdagangan manusia. Hadirnya organisasi masyarakat sipil yang konsen terhadap isu perdagangan manusia memang relatif belum massif, namun, pemerintah perlu memberikan apresiasi terhadap mereka yang telah berkontribusi-memiliki kepedulian-untuk memerangi perdagangan orang. ***

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending