web analytics
Connect with us

Ekspresi

Perempuan dan Haknya Sebagai Pekerja Migran

Published

on

Sumber: iStock

Oleh Dhiannisa Ismoyo Putri Media Karsa Banaran, Kulon Progo

Bekerja merupakan hak asasi manusia yang wajib dijunjung tinggi, dihormati, dan dijamin penegakannya sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “Bahwa Negara menjamin hak, kesempatan, dan memberikan perlindungan bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan.”

Jika melihat acuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, maka definisi pekerja migran Indonesia adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat sebagai pencari kerja yang akan bekerja di luar negeri dan terdaftar di instansi pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Termasuk juga setiap warga negara Indonesia yang akan, sedang, atau telah melakukan pekerjaan dengan menerima upah di luar wilayah Republik Indonesia.

Tertulis juga dalam Undang-Undang tersebut bahwa, “Perlindungan pekerja migran Indonesia adalah segala upaya untuk melindungi kepentingan calon pekerja migran dan/atau pekerja migran Indonesia dan keluarganya dalam mewujudkan terjaminnya pemenuhan haknya  dalam keseluruhan kegiatan sebelum bekerja, selama bekerja, dan setelah bekerja dalam  aspek hukum ekonomi dan sosial.

Lalu, Bagaimana realitanya di lapangan?

Pada tanggal 10 April 2021 telah dilakukan wawancara terhadap mantan pekerja migran Indonesia Ibu Sulatmi (45 th) di Galur, Kulonprogo. Beliau menceritakan pengalamannya saat bekerja di Singapura sebagai ART, yang mana berdasarkan pengalamannya beliau mendapatkan perlakukan yang tidak manusiawi. “Saya sering mendapatkan perlakuan yang tidak pantas dari majikan saya saat saya bekerja, saya sering dipukul, disuruh tidur di luar, makan makanan sisa, dan tidak mendapatkan gaji sesuai dengan kontrak kerja.” Ungkap ibu Sulatmi saat ditanya. mengenai situasi beliau saat bekerja sebagai pekerja migran.

Terkait hal ini jika dikaitkan dengan Undang-Undang tentang perlindungan pekerja migran, apakah memang betul adanya keterjaminan melalui Undang-Undang tersebut?

Dari penjelasan narasumber didapati bahwa tidak adanya sosialisasi terhadap perlindungan pekerja migran Indonesia, bahkan mitra yang menyediakan jasapun acuh mengenai kondisi mental dan fisik dari pekerja.

Lalu jika memang pengaturan perloindungan buruh migran sudah tertulis mengenai berbagai macam perlindungannya baik administratif maupun teknisny. Mengapa masih ada pekerja migran yang tidak mendapatkan haknya?

Jika dilihat dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 adalah kurangnya Pasal atau ayat yang menekankan bentuk perlindungan kepada pekerja migran Indonesia yang maa dalam konsep perlindungan jika dilihat pada hukum islam berlaku menyeluruh untuk kemaslahatan umat manusia di dunia. Dan juga alasan perempuan sebagai objek paling rentan terhadap kekerasan dibanding dengan pekerja laki-laki. Jika merujuk pada sisi Islam, bahwa perlindungan terhadap perempuan agar tetap bisa melakukan kerja tanpa gangguan. Karena hukum islam memberikan apresiasi tinggi terhadap kesetaraan manusia di muka bumi ini.

Bagaimana hukum internasional memandang hak pekerja migran?

Nyatanya pada tanggal 24 Juli 1984 Indonesia telah meratifikasi Convention on Elimination Against All Form of Discrimination Againt Women (CEDAW) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap  Perempuan. Yang mana secara khusus terhadap perempuan pekerja migran diatur pokok perlindungannya pada pasal 11 huruf f yang menyatakan bahwa, “Negara-Negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan di lapangan pekerjaan guna menjamin hak yang sama atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan khususnya… hak atas perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja termasuk usaha perlindungan terhadap fungsi melanjutkan keturunan”

Banyak acuan yang dipakai untuk melindungi pekerja migran khususnya perempuan. Bahkan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mencatat di dalam laporan Catahu tahun 2022 terjadi peningkatan kasus dibanding dengan tahun 2019. Pekerja migran perempuan mengalami kekerasan fisik, penganiayaan, pelanggaran kontrak kerja, eksploitasi ekonomi, dll.

Dari pemaparan tersebut dapat dikatakan bahwa kurang tingkat kesadaran hukum calon pekerja  migran/pekerja  migran  Indonesia.  Hal  ini  terjadi  karena  pekerja  migran   kurang menyadari bahwa ada hak-hak tertulis untuk mereka sebagai pekerja migran yang akan melindungi mereka. Lalu penegak hukum yang lemah (law enforcement), seperti kelemahan diplomasi Indonesia, lemahnya hukum yang menjamin pekerja migran Indonesia yang bermasalah di Negara tujuan, pemerintah tidak mampu menciptakan lapangan kerja di Indonesia, dan lemahnya sistem pengawasan pekerja migran Indonesia di luar Negeri.

Meskipun secara yuridis normatif telah tertulis hak pekerja perempuan, tetapi implementasi dari berbagai aturan perlu mendapatkan perhatian lebih banyak lagi. Perlu dilakukan sosialisasi besar-besaran mengenai hak-hak pekerja perempuan, baik oleh pemerintahan maupun pihak mitra/perusahaan.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Ekspresi

Mahasiswa asal Norway Penelitian Isu Kesetaraan Gender di Mitra Wacana

Published

on

Yogyakarta — Mitra Wacana, organisasi yang konsen pada isu kesetaraan gender, menerima kunjungan akademis dari Anja Bulic, mahasiswa S1 Global Development asal University of Agder, Norwegia, pada Senin (3/1/2025). Kunjungan pukul 11.00–12.00 WIB ini merupakan bagian dari penelitian Anja tentang ketidakadilan dan kekerasan berbasis gender di Indonesia yang dilakukan dalam rangka kerja sama antara University of Agder Norwegia dengan Universitas Gadjah Mada (UGM). Anja diterima langsung oleh Wahyu Tanoto (Dewan Pengurus) dan Alfi Ramadhani (Koordinator Divisi Pendidikan dan Pengorganisasian Mitra Wacana).

Sebelum kunjungan, Anja telah mengirim surat permohonan penelitian dilengkapi panduan pertanyaan dan kebutuhan data. Penelitian ini tidak hanya menjadi bahan skripsinya, tetapi juga bagian dari program kolaborasi antar universitas yang memfasilitasi mahasiswa Norwegia untuk melakukan studi lapangan di Indonesia. Fokus Anja adalah menganalisis korelasi konstruksi / peran gender dengan kekerasan berbasis gender, serta dampak sosial-budaya terhadap kesetaraan.

Dalam diskusi, Anja menyoroti tiga aspek utama: gambaran peran gender di ranah domestik dan publik, hubungannya dengan kasus kekerasan berbasis gender, serta pengaruh sosial-budaya dan keberagaman masyarakat terhadap kesetaraan gender.

Wahyu Tanoto menjelaskan, ketimpangan gender di Indonesia masih dipengaruhi kuat oleh struktur patriarki. “Di ranah domestik, perempuan sering dianggap sebagai pengurus rumah tangga, sementara laki-laki diharapkan menjadi pencari nafkah. Ini memicu ketimpangan akses pendidikan dan partisipasi politik,” jelasnya. Sementara Alfi Ramadhani menambahkan, mitos-mitos dan stigma yang berkembang di masyarakat yang justru memperparah kerentanan kelompok marginal.

Anja juga menggali program Mitra Wacana dalam mendorong kesetaraan gender, seperti pelatihan kesadaran gender bagi masyarakat, pendampingan korban kekerasan, dan advokasi kebijakan inklusif. “Kami menggunakan pendekatan multisektor, mulai dari edukasi di tingkat akar rumput hingga kolaborasi dengan pemerintah,” papar Alfi.

Kunjungan ini dinilai strategis untuk memperluas perspektif global terkait isu gender. “Kerja sama dengan akademisi internasional seperti Anja membantu kami mendokumentasikan praktik terbaik dan memperkuat jejaring advokasi,” tutup Wahyu.

Penelitian Anja diharapkan tidak hanya menyelesaikan tugas akademik, tetapi juga memberikan rekomendasi berbasis data untuk mengurangi kesenjangan gender di Indonesia. (ruly)

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending