Opini
Press conference
Published
8 years agoon
By
Mitra Wacana
Preventing radicalism, extremism and terrorism for village communities, as well as optimising the role of women.
Radicalism, extremism and terrorism (RET) has become a discourse that is sucking up the energy of Indonesia. Discussions about radicalism, extremism and terrorism are not new in Indonesia. Since the beginning of independence, until reformasi, terrorist actions have appeared in various forms, movements as well as counter-terrorism policies. During the period of the old order, the government approached security in a way that subverted the law. The new order period wasn’t much different, with the government just to emphasise security and strengthening intelligence operations. Meanwhile in the reformasi period, there are significant differences, people are able to freely express their opinion, the government has become a democracy, and a human rights perspective is used in influencing policy, and law enforcement. This was symbolised with the creation of Law 15, 2003, about Eradicating Terrorists Acts, after the 2002 Bali Bomb tragedy.
The National Agency of Counter Terrorism notes that having a radical attitude and understanding alone does not necessarily make a person fall into the ideology and acts of terrorism. There are other factors that cause a person to join in with terrorism networks. First, domestic, that is situation and conditions in the country, such as poverty, injustice or feeling dissatisfied with the government. Second, international influence, namely the influence of the foreign environment that provides the impetus for the growth of religious sentiments such as global injustices, arrogant foreign policy, and modern imperialism in other countries. Third, cultural factors that are linked with not having a comprehensive understanding of religion, and textual scripture interpretation. Radical attitudes are often motivated by the above factors, and are often the reasons people will choose to join in a terrorism network as well as commit terrorist actions.
Sharing knowledge to audiences about the dangers of RET, its roots, impacts and the scope of it is one of the methods to prevent the spread of networks, and the dangers of RET. Besides this thing, preventing RET through various methods is done through including all of the elements, either instituational or village communities, as well as optimising womens groups, especially those that are in the village. Remember, at this moment the village is suspected to become a new recruiting groud for groups or people that want to spread radical ideas.
Mitra Wacana WRC notes that there are two important issues that need to be addressed in the prevention of radicalism, extremism and terrorism, starting from the village, as well as encouraging the optimisation of the role of womens groups in the village. First, Mitra Wacana WRC encourages village governments to start including RET prevention programs to be discussed in village development planning meetings, so that the community is increasingly alert and aware of the importance of preventing the spread of radicalism. Second, to encourage all elements of society to not ignore the role of women’s groups. Women have shown that they have the ability to strongly consolidate either in organisations, groups or activities that include their communities. For example, at this moment there are 9 villages that have an organisation known as Children and Women’s Learning Center (P3A) that is supported by Mitra Wacana WRC. Through these P3A we have seen that there is the potential to include them as conveyors of the message about preventing RET.
There are several goals from carrying out this seminar, such as; First, describing the results of Mitra Wacana WRC’s research, which was carrried out in 3 District of Kulonprogo Regency about the potential for village resilience to tackle RET and discuss a prevention model through community organizing. Second, to share information about the importance of preventing RET. Third, describe the RET prevetion strategy in Kulonprogo regency. Fourth, optimise the role of women in preventing RET.
In this, Mitra Wacana WRC feels we need a role in carrying out RET prevention measures, through activities that are aimed to create awareness, caring and increase the capacity of society in the village through seminars, public campaigns, cadre training as well as distributing RET prevention material. Mitra Wacana WRC views it as necessary that there are cadres in the village, especially women’s groups that have been supported so that they consider, and understand the message, and we also aim to build their resilience so that they are not impacted by unfriendly religious discourse, and the presence of violent actions.
You may like
Opini
Nasib Manuskrip Pasca Banjir: Upaya Penyelamatan dan Restorasi Budaya
Published
1 week agoon
8 December 2025By
Mitra Wacana

Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas2
Ungkapan “Sakali aia gadang, sakali tapian barubah.” bukan hanya sekedar pepatah Minangkabau, melainkan juga memori ekologis masyarakat terhadap alam. Banjir bukan hanya sekedar peristiwa alam, melainkan bagian dari sejarah yang terus berulang dan meninggalkan bekas pada masyarakat. Namun, perubahan yang ditinggalkannya bukan hanya pada bentang alam dan kehidupan sosial, tetapi juga pada jejak intelektual masa lalu masyarakat, salah satunya terekam dalam manuskrip.
Manuskrip merupakan tulisan yang ditulis menggunakan tangan pada lembaran-lembaran kertas, yang didalamnya berisi pemikiran orang-orang pada masa lampau. Sejalan dengan Baried (1985:54) manuskrip adalah medium teks berbentuk konkret dan nyata. Di dalam Manuskrip ditemukan tulisan-tulisan yang merupakan sebuah simbol bahasa untuk menyampaikan sesuatu hal tertentu. Manuskrip dapat dikatakan sebagai salah satu warisan nenek moyang pada masa lampau, berbentuk tulisan tangan yang mengandung berbagai pemikiran dan perasaan tercatat sebagai perwujudan budaya masa lampau. Sehingga akan sayang sekali jika pemikiran nenek moyang kita hilang akibat penanganan yang kurang tepat.
Manuskrip-manuskrip yang tersimpan di surau, rumah gadang, perpustakaan nagari, maupun kediaman para ninik mamak sering kali menjadi korban dari bencana alam, salah satunya banjir. Karena setelah banjir tersebut mulai surut, nasib manuskrip itu dipertaruhkan. Ketika banjir menyapu perkampungan, kertas-kertas manuskrip itu basah oleh air, menyebabkan tulisan pada teks-nya bisa saja pudar. Pada titik inilah penanganan awal menjadi penentu apakah sebuah naskah masih mungkin diselamatkan atau justru rusak.
Sayangnya, banyak masyarakat yang tidak mengetahui cara penanganan darurat manuskrip basah. Di beberapa tempat, manuskrip yang terendam justru dijemur langsung di bawah terik matahari yang bisa menyebabkan lembarannya menempel. Ada pula yang mengeringkannya di dekat api untuk mempercepat proses pengeringan, padahal suhu panas justru membuat tinta luntur dan kertas mengerut. Bahkan dalam situasi panik, sebagian manuskrip dibersihkan dengan kain kasar atau disikat karena dianggap kotor, yang pada akhirnya merobek halaman-halaman yang sebenarnya masih mungkin diselamatkan. Kecerobohan kecil seperti itu sering kali menjadi perbedaan antara manuskrip yang dapat bertahan dan punah.
Untuk itu, perlunya peran dan dukungan pemerintah dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya penanganan dan perawatan manuskrip yang benar, karena manuskrip seringkali berada di tengah-tengah masyarakat. Sehingga, detik-detik pertama setelah air surut sepenuhnya bergantung pada pengetahuan masyarakat setempat. Pemerintah dapat melibatkan masyarakat baik individu maupun lembaga dalam merawat dan melestarikan manuskrip.
Sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan edukasi tentang perawatan manuskrip yang baik dan benar sehingga manuskrip yang ada seringkali rusak sebelum sempat di digitalisasi. Padahal langkah-langkah sederhana seperti memisahkan halaman yang menempel, mengeringkan naskah di tempat teduh dan berangin, atau menyerap air dengan tisu tanpa tekanan berlebihan, bisa menjadi penyelamat sebelum tim konservator datang. Edukasi inilah yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah daerah, perpustakaan, dan lembaga kebudayaan.
Bencana banjir sudah berulang kali terjadi, bahkan dari dahulu kala. Hal tersebut seharusnya menjadi pengingat bahwa pengetahuan mengenai perawatan naskah manuskrip sangat penting, tidak hanya bagi satu pihak saja tetapi diperlukan kerjasama dari berbagai pihak. Kerja sama antara pemerintah, akademisi, komunitas budaya, dan masyarakat adalah kunci dalam menjaga keberlangsungan manuskrip. Pemerintah dapat mengambil peran sebagai penyedia edukasi, tentang bagaimana penanganan darurat terhadap manuskrip, serta menyediakan peralatan yang menunjang penyelamatan manuskrip. Sementara masyarakat, sebagai pihak terdekat dengan naskah, menjadi penentu apakah pengetahuan teoretis itu dapat dijalankan dengan benar di lapangan.
Jika manuskrip adalah kunci yang menyimpan ingatan suatu peradaban, maka penyelamatannya adalah urusan berbagai pihak, baik pemerintah, lembaga, masyarakat adat, dll. Banjir boleh mengubah bentuk geografis daerah, tetapi bukan berarti ia bisa menghapus jejak pemikiran para leluhur yang sudah diwariskan begitu lama. Karena pada akhirnya, yang membuat suatu masyarakat bertahan bukan hanya rumah dan infrastruktur yang diperbaiki, ataupun peradaban yang dibangun ulang, tetapi juga tentang cerita, gagasan, ilmu dan identitas yang mereka wariskan melalui lembaran-lembaran kertas tua.

Mitra Wacana Hadiri Rapat Koordinasi Organisasi Kemasyarakatan Kabupaten Bantul

Mitra Wacana Ikuti Orasi Budaya Hari HAM FISB UII








