Opini
RUU PKS dan Upaya Perlindungan Terhadap Penyintas
Published
7 years agoon
By
Mitra Wacana
Oleh Imelda Zuhaida (Direktur Mitra Wacana WRC)
Upaya penyelesaian kasus pelecehan seksual yang dialami salah seorang mahasiswi ketika tengah melakukan KKN, menuai banyak pendapat dari berbagai kalangan karena dinilai tidak adil bagi penyintas. Selain menyayangkan respon universitas ketika pertama kali mengetahui persoalan tersebut juga dianggap miris karena mengabaikan tuntutan penyintas, yaitu agar HS dikeluarkan dari universitas. Penandatanganan kesepakatan ini dilakukan pada Senin, 4 Februari 2019, oleh tiga pihak: Agni, HS, dan Panut, yang disaksikan Dekan Fisipol UGM Erwan Agus Purwanto dan Dekan Teknik UGM Nizam, ayah HS, serta pengacara korban, Sukiratnasari. Akhirnya, pertemuan oleh beberapa pihak ini dianggap sebagai tanda kasus pemerkosaan terhadap Agni dianggap “selesai”.
Sebagai penulis, tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi psikis Agni ketika mengetahui adanya pertemuan tersebut. Perasaan marah, kecewa, benci dan kesal, bisa jadi menyelimuti perasaan Agni. Sebagai penyelenggara pendidikan, Universitas semestinya lebih mengedepankan perspektif terhadap penyintas sebagai bentuk perlindungan terhadap anak didiknya atau pertanggungjawaban terhadap intitusi pendidikan. Maka, tidaklah heran jika ada sebagian dari masyarakat dan penggiat sosial menyebut jika upaya dan proses penyelesaian kasus ini boleh dikatakan belum perperspektif keadilan bagi penyintas. Jika hal ini yang terjadi, maka rantai kekerasan ini akan terus berulang karena ketiadaan sangsi bagi pelaku dengan dalih perlindungan penyelamatan nama besar sebuah Universitas.
Apakah kasusnya selesai?
Upaya penyelesaian kasus Agni ini cenderung mengabaikan hak-hak Agni sebagai penyintas dan mengedepankan nama baik universitas. Ketika memperjuangkan hak, dianggap mencemarkan nama baik Universitas. Dari konteks ini jelas ada relasi kuasa antara Universitas dan penyintas, dimana kemungkinan ketika Universitas yang memiliki otoritas melakukan upaya-upaya intimidatif terhadap penyintas. Dalam konteks ini persoalan relasi kuasa patut menjadi faktor yang perlu di analisis dan mendapatkan perhatian ketika mencoba mengkritisi kasus tersebut di atas. Adanya kecenderungan birokrasi yang berbelit-belit namun tidak jelas menjadi salah satu bagi penyintas memilih bungkam karena khawatir “disalahkan”, mengingat masih kentalnya budaya victim blaming di tengah masyarakat, termasuk Universitas yang belum bisa steril seratus persen.
Demikian juga hubungan pelaku dan penyintas. Dalam analisis kekerasan berbasis jender, relasi kuasa dan patriarki biasanya selalu dominan ketika ada kasus kekerasan seksual; apapun bentuknya. Dalam patriarkhi; laki laki menganggap bahwa dirinya memiliki kedudukan lebih tinggi dari perempuan dan merasa lebih kuat serta berkuasa terhadap perempuan. Sebaliknya, perempuan dianggap lemah, dipandang sebagai obyek seksual dan kelompok inferior. Dengan anggapan tersebut, maka laki-laki seolah merasa paling berhak melakukan apa saja yang dikehendaki tanpa memperdulikan hak-hak perempuan.
Entah sadar atau tidak, budaya patriarkhi ini memberikan dampak negatif luar biasa dalam tatanan masyarakat, salah satunya yaitu konstruksi dan pola pikir bahwa peran laki-laki berkaitan erat dengan ego maskulinitas yang menyebutkan jika kekuasaan berada di tangan laki-laki maka perempuan dianggap subordinat, boleh dipandang remeh. Laki-laki merasa lebih kuat dan cenderung memiliki keleluasaan untuk melakukan apapun terhadap perempuan, termasuk melakukan pelecehan seksual. Bukankah hal ini mengerikan?
Upaya perlindungan penyintas
Kasus pelecehan seksual yang dialami oleh Agni, adalah salah satu kasus kekerasan seksual yang sekarang banyak terjadi. Perilaku pelecehan seksual merupakan pemaksaan kehendak yang sifatnya merendahkan, menghina, meremehkan perempuan. Kejahatan pelecehan seksual menimbulkan penderitaan yang sangat berat bagi perempuan sebagai penyintas. Penyintas mengalami penderitaan secara fisik dan psikologis yang sangat mendalam.
Maraknya kasus kekerasan seksual baik di Universitas maupun di luar Universitas menunjukkan angka yang cukup tinggi. Pada tahun 2017, Badan Pusat Statistik (BPS) mempublikasikan, sekitar 28 juta perempuan Indonesia mengalami kekerasan dan sebagian besar adalah kekerasan seksual (Kompas, 31/10/2017). Alasan inilah yang mendorong para aktivis perempuan dan Komisi Nasional Perlindungan Perempuan dan Anak (Komnas Perempuan) telah lama berjuang keras untuk memutus mata rantai kekerasan seksual derngan berbagai cara; meningkatkan kapasitas perempuan melalui pendidikan keadilan gender, worshop, seminar, FGD, sarasehan dan diskusi-diskusi yang berkaitan dengan pencegahan pelecehan seksual.
Salah satu strategi yang diambil adalah mendorong terbitnya regulasi khusus tentang pelecehan seksual. Regulasi yang ada selama ini hanya mencakup tindakan pencabulan. Oleh karenanya, Komnas Perempuan mendorong percepatan pembahasan Rancangan Undang -Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS). RUU PKS ini telah lima tahun digagas dan diperjuangkan. Telah melewati beberapa proses, antara lain : pembacaan naskah akademis, berbagai workshop, forum-forum diskusi, hingga aksi damai namun belum juga disahkan.
Dari berbagai informasi yang bisa kita saksikan, selama ini penyintas kekerasan seksual lebih banyak dialami oleh perempuan, anak dan kelompok rentan lainnya. Oleh karena itu perlu menjadi prioritas mendapatkan perlindungan dari negara agar tidak terjadi keberulangan dan terbebas dari setiap bentuk kekerasan seksual. Dengan adanya RUU PKS diharapkan menguatkan kesadaran dan keberanian perempuan untuk melawan segala bentuk kekerasan. Karena, jika ada perempuan yang mengalami kekerasan seksual, sejatinya sedang mengalami kekerasan yang berlapis; kekerasan verbal, fisik dan kekerasan psikologis bahkan kekerasan sosial.
Salah satu alasan mengapa RUU PKS diterbitkan karena bentuk dan kuantitas kasus kekerasan seksual semakin meningkat, bahkan berkembang. Namun, hukum Indonesia belum secara sistematis dan menyeluruh mampu mencegah, melindungi, memberdayakan dan memulihkan penyintas kekerasan seksual. Dalam upaya pemenuhan hak penyintas meliputi hak atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan bertujuan mencegah keberulangan kekerasan seksual dan dampak yang berkelanjutan terhadap penyintas.
Disamping itu, juga menumbuhkan pemahaman dan kesadaran masyarakat untuk menghapuskan kekerasan seksual. Ini adalah bentuk perjuangan anti kekerasan sekaligus perlindungan terhadap penyintas. Bagi penulis, berkeyakinan bahwa RUU PKS akan memberikan rujukan hukum yang jelas. Lebih dari itu akan memberikan manfaat bagi penyintas kekerasan seksual, misalnya adanya aturan tentang pemenuhan hak penyintas atas penanganan, perlindungan dan pemulihan fisik dan psikis penyintas setelah kejadian, termasuk juga proses hukumnya.
Saat ini RUU PKS masih dalam pembahasan di DPR. Ada beberapa catatan menurut DPR, khususnya komisi VIII, yang menganggap bahwa RUU PKS mengganggu tatanan dalam hubungan perkawinan, berisiko dimanfaatkan oleh LGBT dan dikhawatirkan menjadi pembenaran untuk melakukan kriminalisasi. Bagimanapun proses di DPR, harapannya ini jika sudah layak maka harus segera disahkan, sehingga perempuan Indonesia mempunyai legalitas untuk melindungi harkat, martabat, hak dan eksistensinya. Dan pada akhirnya, bisa menjadi rujukan yang jelas dalam penegakkan hukum kasus kekerasan seksual yang pada akhirnya kekerasan seksual bisa ditangani. Semoga….
Penyelaras : Ruly
Editor : Wahyu Tanoto
Opini
Peran Sastra Populer dalam Meningkatkan Literasi di Kalangan Remaja
Published
1 week agoon
7 November 2025By
Mitra Wacana

Penulis : Fatin Fashahah, Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas
Sastra populer sering dipandang rendah, dianggap hanya untuk hiburan, dangkal, atau terlalu komersial. Sikap seperti ini muncul dari pendapat bahwa karya populer tak setara dengan karya-karya yang biasanya dipelajari di bangku perkuliahan. Padahal, bagi banyak remaja, sastra populer justru menjadi pintu pertama untuk mulai suka membaca. Mengabaikan atau mengecilkan peran sastra populer berarti menutup kesempatan bagi generasi muda untuk jatuh cinta pada dunia tulisan.
UNESCO menyebut Indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya diangka 0,001% atau dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo) dalam laman resminya juga pernah merilis hasil Riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Fakta ini menunjukkan bahwa masih rendahnya minat membaca rekreasi di banyak kelompok usia.
Namun, ketika pembaca terutama remaja diberi kebebasan memilih bacaan yang sesuai selera dan pengalaman mereka, minat membaca bisa saja meningkat. Dengan kata lain, relevansi isi buku terhadap kehidupan pembaca muda sangat menentukan apakah mereka akan terus membaca atau tidak. Sastra populer seperti buku young adult, novel roman remaja, dan cerita fantasi ringan sering kali menawarkan tema dan tokoh yang mudah dipahami remaja karena ceritanya seringkali dihubungkan dengan kehidupan remaja, sehingga mereka lebih tertarik untuk membaca.
Selain itu, sastra populer lebih mudah diakses lewat platform digital, cerita-cerita di aplikasi dan situs bacaan daring seperti Ipusnas, google play book, wattpad, karyakarsa dll. membuat remaja menemukan teks yang mereka suka kapan saja dengan mudah. Bentuk online juga mendorong interaksi pembaca bisa memberi komentar, berdiskusi, atau bahkan menulis kembali cerita mereka sendiri. Pengalaman berinteraksi seperti ini memberi dorongan kuat untuk terus membaca dan menulis. Beberapa karya yang awalnya populer di dunia maya kemudian diterbitkan secara cetak atau diadaptasi menjadi film dan serial menunjukkan bahwa bacaan populer punya peran penting dalam membangun ekosistem budaya yang lebih luas.
Penolakan terhadap sastra populer sering kali datang dari dua alasan utama. Pertama, alasan estetika, anggapan bahwa karya populer kurang bermutu secara sastra. Kedua, alasan moral atau konten bahwa beberapa cerita mengandung nilai yang dipertanyakan. Kritik seperti ini tidak salah jika tujuannya untuk memperbaiki kualitas karya. Namun, cara menanggapinya yang kurang tepat bisa membuat minat membaca remaja menjadi surut, seharusnya kita bukan melarang atau merendahkan bacaan tersebut. Akan lebih baik jika pembaca pemula diajarkan bagaimana cara membaca yang kritis. Dengan membimbing remaja membaca secara kritis, kita membantu mereka mengenali kekuatan dan kelemahan sebuah teks, sehingga pengalaman membaca menjadi lebih bermakna.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan minat membaca remaja diantaranya. Pertama, perpustakaan sekolah dan umum perlu menata koleksi yang seimbang baik karya klasik dan akademik berdampingan dengan bacaan populer. Pendekatan ini mengakui bahwa pembaca punya selera berbeda, dan memberi ruang bagi remaja yang sedang mencari gaya baca dan minat mereka. Kedua, guru dan pustakawan harus dilatih untuk memfasilitasi diskusi yang mengaitkan tema populer dengan konsep sastra dasar. Misalnya, dari sebuah novel populer, kita bisa mengajak pembaca membahas tokoh, alur, sudut pandang, atau pesan yang tersirat yanga terdapat di dalam novel tersebut. Langkah sederhana ini bisa mengubah bacaan ringan menjadi bahan belajar yang efektif.
Ketiga, adanya kegiatan klub baca dan lomba menulis berbasis minat yang bisa menghubungkan pembaca muda dengan mentor dan teman sebaya. Suasana komunitas yang saling mendukung membuat kegiatan membaca terasa lebih menyenangkan. Selain itu, adanya lomba menulis membuat remaja merasa diberi ruang kreatif untuk mengekspresikan dirinya. Keempat, harus ada kerja sama antara sekolah dengan platform digital. Hal ini penting untuk menyediakan akses yang aman dan terkurasi. Akses digital tanpa bimbingan bisa berisiko negatif dengan memperkenalkan konten yang kurang sesuai untuk pembaca dibawah umur. Oleh karena itu, peran pendidik dan orang tua tetap penting dalam menumbuhkan minat membaca terutama pembaca anak-anak dan remaja.
Secara budaya, sikap berhati-hati atau keraguan terhadap sastra populer sering kali membuat masyarakat melewatkan cerita-cerita yang sebenarnya dekat dengan kehidupan banyak orang, khususnya para remaja dari berbagai latar belakang. Karya populer dapat menjadi ruang untuk bereksperimen dengan bahasa, identitas, dan pengalaman sehari-hari. Ketika karya semacam ini dibahas di sekolah atau komunitas, karya tersebut berpotensi memperkaya imajinasi serta cara pandang masyarakat, terutama di kalangan generasi muda. Dengan demikian, sastra populer tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga menjadi bagian dari wacana budaya yang turut membentuk cara berpikir dan berinteraksi dalam kehidupan sosial.
Kesimpulannya, alih-alih memandang sastra populer secara sebelah mata, akan lebih bermanfaat jika masyarakat mencoba melihat potensinya dalam meningkatkan minat baca dan memperkuat budaya literasi. Pendekatan yang inklusif dapat dimanfaatkan untuk menjadikan daya tarik sastra populer sebagai pintu masuk bagi pembaca pemula. Tentu saja, hal ini tetap perlu disertai dengan bimbingan dan adanya pengenalan terhadap keterampilan membaca kritis serta jenis bacaan yang lebih beragam. Dengan begitu, kebiasaan membaca tidak hanya meningkat, tetapi juga dapat mendorong perkembangan kemampuan berpikir dan berbahasa generasi muda.










