web analytics
Connect with us

Opini

RUU PKS dan Upaya Perlindungan Terhadap Penyintas

Published

on

Mitra Wacana
Mitra Wacana

Imelda Zuhaida

Oleh Imelda Zuhaida (Direktur Mitra Wacana WRC)

Upaya penyelesaian kasus pelecehan seksual yang dialami salah seorang mahasiswi ketika tengah melakukan KKN, menuai banyak pendapat dari berbagai kalangan karena dinilai tidak adil bagi penyintas. Selain menyayangkan respon universitas ketika pertama kali mengetahui persoalan tersebut juga dianggap miris karena mengabaikan tuntutan penyintas, yaitu agar HS dikeluarkan dari universitas. Penandatanganan kesepakatan ini dilakukan pada Senin, 4 Februari 2019, oleh tiga pihak: Agni, HS, dan Panut, yang disaksikan Dekan Fisipol UGM Erwan Agus Purwanto dan Dekan Teknik UGM Nizam, ayah HS, serta pengacara korban, Sukiratnasari. Akhirnya, pertemuan oleh beberapa pihak ini dianggap sebagai tanda kasus pemerkosaan terhadap Agni dianggap “selesai”.

Sebagai penulis, tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi psikis Agni ketika mengetahui adanya pertemuan tersebut. Perasaan marah, kecewa, benci dan kesal, bisa jadi menyelimuti perasaan Agni. Sebagai penyelenggara pendidikan, Universitas semestinya lebih mengedepankan perspektif terhadap penyintas sebagai bentuk perlindungan terhadap anak didiknya atau pertanggungjawaban terhadap intitusi pendidikan. Maka, tidaklah heran jika ada sebagian dari masyarakat dan penggiat sosial menyebut jika upaya dan proses penyelesaian kasus ini boleh dikatakan belum perperspektif keadilan bagi penyintas. Jika hal ini yang terjadi, maka rantai kekerasan ini akan terus berulang karena ketiadaan sangsi bagi pelaku dengan dalih perlindungan penyelamatan nama besar sebuah Universitas.

Apakah kasusnya selesai?

Upaya penyelesaian kasus Agni ini cenderung mengabaikan hak-hak Agni sebagai penyintas dan mengedepankan nama baik universitas. Ketika memperjuangkan hak, dianggap mencemarkan nama baik Universitas. Dari konteks ini jelas ada relasi kuasa antara Universitas dan penyintas, dimana kemungkinan ketika Universitas yang memiliki otoritas melakukan upaya-upaya intimidatif terhadap penyintas. Dalam konteks ini persoalan relasi kuasa patut menjadi faktor yang perlu di analisis dan mendapatkan perhatian ketika mencoba mengkritisi kasus tersebut di atas. Adanya kecenderungan birokrasi yang berbelit-belit namun tidak jelas menjadi salah satu bagi penyintas memilih bungkam karena khawatir “disalahkan”, mengingat masih kentalnya budaya victim blaming di tengah masyarakat, termasuk Universitas yang belum bisa steril seratus persen.

Demikian juga hubungan pelaku dan penyintas. Dalam analisis kekerasan berbasis jender, relasi kuasa dan patriarki biasanya selalu dominan ketika ada kasus kekerasan seksual; apapun bentuknya. Dalam patriarkhi; laki laki menganggap bahwa dirinya memiliki kedudukan lebih tinggi dari perempuan dan merasa lebih kuat serta berkuasa terhadap perempuan. Sebaliknya, perempuan dianggap lemah, dipandang sebagai obyek seksual dan kelompok inferior. Dengan anggapan tersebut, maka laki-laki seolah merasa paling berhak melakukan apa saja yang dikehendaki tanpa memperdulikan hak-hak perempuan.

Entah sadar atau tidak, budaya patriarkhi ini memberikan dampak negatif luar biasa dalam tatanan masyarakat, salah satunya yaitu konstruksi dan pola pikir bahwa peran laki-laki berkaitan erat dengan ego maskulinitas yang menyebutkan jika kekuasaan berada di tangan laki-laki maka perempuan dianggap subordinat, boleh dipandang remeh. Laki-laki merasa lebih kuat dan cenderung memiliki keleluasaan untuk melakukan apapun terhadap perempuan, termasuk melakukan pelecehan seksual. Bukankah hal ini mengerikan?

Upaya perlindungan penyintas

Kasus pelecehan seksual yang dialami oleh Agni, adalah salah satu kasus kekerasan seksual yang sekarang banyak terjadi. Perilaku pelecehan seksual merupakan pemaksaan kehendak yang sifatnya merendahkan, menghina, meremehkan perempuan. Kejahatan pelecehan seksual menimbulkan penderitaan yang sangat berat bagi perempuan sebagai penyintas. Penyintas mengalami penderitaan secara fisik dan psikologis yang sangat mendalam.

Maraknya kasus kekerasan seksual baik di Universitas maupun di luar Universitas menunjukkan angka yang cukup tinggi. Pada tahun 2017, Badan Pusat Statistik (BPS) mempublikasikan, sekitar 28 juta perempuan Indonesia mengalami kekerasan dan sebagian besar adalah kekerasan seksual (Kompas, 31/10/2017). Alasan inilah yang mendorong para aktivis perempuan dan Komisi Nasional Perlindungan Perempuan dan Anak (Komnas Perempuan) telah lama berjuang keras untuk memutus mata rantai kekerasan seksual derngan berbagai cara; meningkatkan kapasitas perempuan melalui pendidikan keadilan gender, worshop, seminar, FGD, sarasehan dan diskusi-diskusi yang berkaitan dengan pencegahan pelecehan seksual.

Salah satu strategi yang diambil adalah mendorong terbitnya regulasi khusus tentang pelecehan seksual. Regulasi yang ada selama ini hanya mencakup tindakan pencabulan. Oleh karenanya, Komnas Perempuan mendorong percepatan pembahasan Rancangan Undang -Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS). RUU PKS ini telah lima tahun digagas dan diperjuangkan. Telah melewati beberapa proses, antara lain : pembacaan naskah akademis, berbagai workshop, forum-forum diskusi, hingga aksi damai namun belum juga disahkan.

Dari berbagai informasi yang bisa kita saksikan, selama ini penyintas kekerasan seksual lebih banyak dialami oleh perempuan, anak dan kelompok rentan lainnya. Oleh karena itu perlu menjadi prioritas mendapatkan perlindungan dari negara agar tidak terjadi keberulangan dan terbebas dari setiap bentuk kekerasan seksual. Dengan adanya RUU PKS diharapkan menguatkan kesadaran dan keberanian perempuan untuk melawan segala bentuk kekerasan. Karena, jika ada perempuan yang mengalami kekerasan seksual, sejatinya sedang mengalami kekerasan yang berlapis; kekerasan verbal, fisik dan kekerasan psikologis bahkan kekerasan sosial.

Salah satu alasan mengapa RUU PKS diterbitkan karena bentuk dan kuantitas kasus kekerasan seksual semakin meningkat, bahkan berkembang. Namun, hukum Indonesia belum secara sistematis dan menyeluruh mampu mencegah, melindungi, memberdayakan dan memulihkan penyintas kekerasan seksual. Dalam upaya pemenuhan hak penyintas meliputi hak atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan bertujuan mencegah keberulangan kekerasan seksual dan dampak yang berkelanjutan terhadap penyintas.

Disamping itu, juga menumbuhkan pemahaman dan kesadaran masyarakat untuk menghapuskan kekerasan seksual. Ini adalah bentuk perjuangan anti kekerasan sekaligus perlindungan terhadap penyintas. Bagi penulis, berkeyakinan bahwa RUU PKS akan memberikan rujukan hukum yang jelas. Lebih dari itu akan memberikan manfaat bagi penyintas kekerasan seksual, misalnya adanya aturan tentang pemenuhan hak penyintas atas penanganan, perlindungan dan pemulihan fisik dan psikis penyintas setelah kejadian, termasuk juga proses hukumnya.

Saat ini RUU PKS masih dalam pembahasan di DPR. Ada beberapa catatan menurut DPR, khususnya komisi VIII, yang menganggap bahwa RUU PKS mengganggu tatanan dalam hubungan perkawinan, berisiko dimanfaatkan oleh LGBT dan dikhawatirkan menjadi pembenaran untuk melakukan kriminalisasi. Bagimanapun proses di DPR, harapannya ini jika sudah layak maka harus segera disahkan, sehingga perempuan Indonesia mempunyai legalitas untuk melindungi harkat, martabat, hak dan eksistensinya. Dan pada akhirnya, bisa menjadi rujukan yang jelas dalam penegakkan hukum kasus kekerasan seksual yang pada akhirnya kekerasan seksual bisa ditangani. Semoga….

 

Penyelaras : Ruly

Editor         : Wahyu Tanoto

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opini

Dongeng Sepiring Nasi Dalam Tatanan Negara Demokrasi

Published

on

Oleh : Denmas Amirul Haq (Mahasiswa Pascasarjana di Universitas Islam Malang)

“Sebelum Pesta Demokrasi Mereka Selalu berjanji untuk membangun jembatan, meski tidak ada Satupun sungai Disana”. Nikita Krushchev : 1970

Salah satu prasyarat negara demokrasi adalah adanya Pemilihan Umum yang dilakukan secara regular guna membentuk pemerintahan yang demokratis, tidak hanya mekanisme penyelenggaraan semata. Oleh karenanya, Pemlilihan umum menjadi suatu rutinitas bagi kebanyakan negara demokrasi, meskipun kadang-kadang praktek politik di negara yang bersangkutan jauh dari kaidah-kaidah demokratis dan Pemilu tetap dijalankan untuk memenuhi tuntutan normatif; sebagai prasyarat prosedural demokrasi.

Tak jarangpula kita sering menemukan Pemilu hanya dijadikan sebagai ajang kompetisi untuk meraih jabatan-jabatan publik, apakah menjadi anggota legisltaif ?, eksekutif ?, atau paling penting menjadi kepala daerah ?, menteri ?, bahkan tak jarang presiden ?. (Puspitasari, 2004)

Ihwal, di Indonesia mulanya pemilihan umum masih banyak dimaknai sebagai realisasi kedaulatan rakyat dan juga dimaknai sebagai sarana untuk memberikan dan memperkuat legitimasi rakyat. Meskipun secara realnya mereka hanya ibarat membangun jembatan yang kadang tak satupun didapati sungai. Buawaian tersebut makin memperkuat bahwa negara demokrasi hanyalah bungkus dari kepentingan yang tersusun rapi untuk mendapatkan suara dan lagitimate rakyat.

Dewasa kini, Hubungan demokrasi dan Pemilu dapat dirangkaikan dalam sebuah kalimat;

“Tidak ada demokrasi tanpa Pemilu”.

Pemilu menjadi prasyarat mutlak untuk menciptakan demokrasi. Pemilu menjadi sebuah jalan bagi terwujudnya demokrasi. Tetapi mewujudkan pemilu yang demokratis bukanlah pekerjaan mudah sebab hari ini kita ketahui bersama praktek pemilu hanya digunakan sebagai sebuah perhelatan prosedural untuk menggantikan kekuasaan atau untuk membentuk lembaga-Iembaga politik.

Secara prosedural praktek pemilu selanjutnya dibedakan menjadi dua. Sebagai formalitas politik; dan kedua pemilu sebagai alat demokrasi. Meskipun kebanyakan kita jumpai pemilu hanya sebatas formalitas politik, alat legalitas pemerintahan dan yang lebih parah dijalankan dengan cara yang tidak demokratis dengan mahakarya rekayasa demi memenangkan pasangan dan partai politik tertentu.

Bagi bangsa Indonesia, relasi antara pemilu dan demokrasi terletak pada nilai keadilan bagi seluruh kehidupan bernegara yang tecermin dalam Pancasila. Falsafah ini lahir sebagai jawaban atas peristiwa masa lalu; eksploitasi kolonialisme.

Perwujudan itu sejatinya harus ditilik dari subtansi nilai Keadilan meskipun hal inilah yang paling kompleks. Hari ini melalui gelaran pesta demokrasi, kita banyak menyaksikan rakyat yang masih sangat setia melaksanakan amanat konstitusi. Bahkan hingga akar runput  mereka masih sangat teguh menjunjung tinggi moral.

Meskipun faktanya begitu cepat, politisi bersekongkol dengan birokrasi hingga tega menjual kekayaan negara. begitu cepat, aparatur negara gesit menghalalkan segala cara memburu tahta dengan menimbulkan bencana dan angkara murka. Selamat datang di negeri dongeng yang dipenuhi begitu banyak drama pencitraan dan janji. Demkokrasi dalam sepiring nasi adalah benar adanya yang hanya dinikmati segelintir orang yang memiliki piring sementara bagi rakyat kesejahteraan hanya mimpi yang terus jadi harapan semu.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending