Publikasi
Sambangi Mitra Wacana, BS Ungkap Pengalaman Pahit Jadi Korban Scamming
Published
10 months agoon
By
Mitra Wacana
Yogyakarta – BS, seorang perempuan berusia 30 tahun asal Daerah Istimewa Yogyakarta, hadir di ruang pertemuan Mitra Wacana dengan raut wajah tenang yang menyembunyikan luka batin mendalam. Ia datang untuk berbagi kisah pilu yang dialaminya sebagai korban penipuan kerja di Kamboja, sebuah pengalaman yang mengubah harapannya untuk memperbaiki kehidupan keluarga menjadi kenyataan pahit penuh penderitaan.
BS mengawali ceritanya dengan sederhana. Keinginan untuk bekerja muncul setelah melihat sebuah lowongan kerja yang diiklankan di Facebook. Ia ditawari pekerjaan di restoran di Thailand dengan iming-iming gaji besar, fasilitas lengkap, dan peluang bekerja di luar negeri. Tawaran itu datang dari seseorang bernama Ani, seorang perempuan paruh baya asal Trenggalek, Jawa Timur, yang tampak meyakinkan.
Ani tidak hanya menghubungi BS melalui pesan teks, tetapi juga melakukan panggilan video untuk memperkuat kepercayaannya. Bahkan, tiket perjalanan menuju Malaysia telah disiapkan oleh seseorang yang disebut Ani sebagai anaknya. Meskipun sempat merasa ragu saat diberitahu harus transit di Malaysia, BS akhirnya luluh karena semua tampak diatur dengan sangat rapi.
Namun, sesampainya di Malaysia, BS mulai merasakan ada yang tidak beres. Ia langsung diberi tiket lanjutan menuju Ho Chi Minh, Vietnam, sebelum akhirnya sampai di sebuah kota di Kamboja. Setibanya di bandara, ia dijemput oleh seorang pria tak dikenal dan dibawa ke sebuah flat. Di sana, untuk pertama kalinya, ia bertemu Ani secara langsung. Pada awalnya, BS merasa lega. Namun, kenyataan yang dihadapinya justru jauh dari harapan.
Flat tersebut ternyata bukan tempat kerja yang dijanjikan. BS terkejut mendapati dirinya tinggal bersama puluhan warga negara Indonesia lainnya yang ternyata juga menjadi korban penipuan. Mereka semua dipaksa menjadi scammer, menipu warga Indonesia melalui aplikasi TikTok. BS diberikan target yang hampir mustahil, yaitu mengumpulkan uang sebesar sepuluh juta rupiah setiap hari. Kegagalan mencapai target ini akan berujung pada hukuman berupa pemukulan dan penyiksaan dengan setrum listrik.
Setiap hari, BS harus bekerja dari pukul sembilan pagi hingga tengah malam tanpa istirahat yang layak. Bahkan untuk ke toilet, waktu yang diberikan sangat terbatas. Jika melewati batas waktu sepuluh menit, ia langsung didenda belasan dolar AS. Tekanan yang dialami sangat luar biasa, ditambah dengan kondisi hidup yang tidak manusiawi. Makanan yang diberikan sering kali hanya mi instan, dan ancaman kekerasan terus menghantui.
“Kami tidak hanya kehilangan kebebasan, tetapi juga martabat. Rasanya seperti hidup tanpa harapan,” ujar BS dengan mata berkaca-kaca. Ia merasa tubuhnya lelah dan perutnya lapar, tetapi tetap dipaksa untuk memenuhi target. Segala aktivitas mereka diawasi ketat, membuat kebebasan menjadi hal yang mustahil untuk diraih.
Setelah melalui penderitaan panjang, BS akhirnya berhasil kembali ke tanah air. Namun, ia tidak melupakan teman-temannya yang masih terjebak dalam situasi yang sama di Kamboja. Mereka sangat membutuhkan pertolongan untuk segera dibebaskan. Karena itu, BS memutuskan untuk mengunjungi Mitra Wacana, bukan hanya untuk berbagi pengalaman, tetapi juga untuk mencari dukungan agar kisahnya dapat menjadi pelajaran bagi banyak orang.
BS mengingatkan agar masyarakat, terutama perempuan, lebih waspada terhadap tawaran kerja yang tidak masuk akal di media sosial. Penipuan kerja seperti yang ia alami sering kali terlihat sangat meyakinkan, tetapi di baliknya tersembunyi jebakan berbahaya. “Saya ingin cerita saya menjadi pelajaran bagi semua orang. Jangan mudah percaya pada tawaran kerja di media sosial, apalagi jika terlihat terlalu bagus untuk menjadi kenyataan,” pesannya tegas.
Mitra Wacana, yang memberikan pendampingan kepada BS, menegaskan pentingnya edukasi untuk mencegah kasus serupa. Perwakilan lembaga ini menyatakan bahwa kasus yang dialami BS menunjukkan betapa perlunya masyarakat memahami risiko bekerja di luar negeri tanpa informasi yang jelas dan terpercaya. Meski pengalaman pahit itu masih membekas, BS berusaha untuk bangkit. Ia ingin suaranya didengar, agar tidak ada lagi korban seperti dirinya. “Saya bersyukur bisa pulang, tapi saya ingin berbicara agar lebih banyak orang yang sadar akan bahaya ini,” katanya dengan penuh harapan. Kisah BS adalah pengingat keras bahwa kewaspadaan adalah kunci untuk melindungi diri dari jerat penipuan yang merenggut kebebasan dan martabat manusia.
Penulis : Tnt
Penyunting : Ruly
You may like
Berita
PAMERAN ARSIP KERTAS 2025: SETARA – MEREKAM PEREMPUAN DALAM RUANG DEMOKRASI
Published
4 days agoon
10 November 2025By
Mitra Wacana
Yogyakarta – Pameran arsip tahunan KERTAS kembali digelar di Gedung Iso Reksohadiprojo, Departemen Bahasa Seni dan Manajemen Budaya, Sekolah Vokasi, Universitas Gadjah Madah (UGM). Pameran KERTAS 2025 berlangsung dari 8 November hingga 15 November 2025 dan teruka untuk umum serta dapat dikunjungi secara gratits. Tahun ini, pameran berjudul “Setara: Merekam Perempuan dalam Ruang Demokrasi”, menghadirkan refleksi tentang jejak perjuangan, partisipasi, dan representasi perempuan dalam sistem demokrasi Indonesia.
Lebih dari 260 arsip dalam bentuk foto, teks, data, dan audio-visual diolah menjadi infografis interaktif. Melalui arsip-arsip ini, mahasiswa program studi Kearsipan, Sekolah Vokasi, UGM mengajak public menelusuri dinamika perempuan dalam ruang demokrasi, mulai dari partisipasi politik, represi sosial, serta bentuk resistensi di tengah ketimpangan ini.
PIC Kegiatan, Irfan Rizky Darajat, S.I.P., M.A., menjelaskan bahwa pameran ini tidak hanya menjadi ruang dokumentasi, tetapi juga forum diskusi sosial. “Pameran ini dapat membantu dalam melihat cara pandang yang lain bagaimana pameran arsip bisa dijadikan sebagai diskusi tentang wacana sosial,” ujarnya.

Pameran ini dibagi menjadi ruang utama, yaitu partisipasi, represi, dan resistensi. Ruang partisipasi menyoroti keterlibatan perempuan dalam Trias Politika, mulai dari tokoh-tokoh pionir seperti Maria Ulfah, S.K. Trimurti, Sri Widoyati, Siti Sukaptinah, dan Supeni Pudjobuntoro, hingga peta perwakilan perempuan di DPR, Pilkada, dan lembaga Yudikatif, dari sebelum reformasi hingga sesudah reformasi. Selain itu, dalam ruangan ini juga menghadirkan peran dari Non-Governmental Organization (NGO) yang mendampingi dan melayani masyarakat secara umum maupun perempuan secara khusus, seperti Mitra Wacana, Mama Aleta Fund, Beranda Migran, SP Kinasih, dan organisasi lainnya yang tersebar di seluruh Indonesia.
Mitra Wacana, salah satu organisasi pemberdayaan perempuan yang berdiri pada 2 April 1996 dengan nama awal Pusat Layanan Informasi Perempuan (PLIP) Mitra Wacana. Sejak berdiri, organisasi ini berfokus pada penyediaan layanan informasi tentang keadilan dan kesetaraan gender, serta pemberdayaan perempuan dan anak. Saat ini, Mitra Wacana memiliki delapan fokus isu utama, yakni penghapusan kekerasan seksual, pencegahan perkawinan anak, pendidikan politik perempuan, pencegahan perdagangan manusia, pencegahan Intoleransi, Radikalisme, Extremisme, dan Terorisme (IRET), perempuan dan anti korupsi, serta perempuan dan kebencanaan.
Dalam menjalankan kegiatannya, Mitra Wacana mengusung strategi pengorganisasian dan advokasi langsung di masyarakat, antara lain melalui pendirian Pusat Pembelajaran Perempuan dan Anak (P3A) di berbagai wilayah dampingan, pendampingan kader perempuan, advokasi kebijakan publik ramah gender, serta produksi materi edukatif seperti buku, modul, film, dan komik bertema kesetaraan gender. Kehadiran Mitra Wacana di pameran ini memperluas pemahaman tentang bagaimana advokasi gender dijalankan secara konkret dan berkelanjutan di tingkat masyarakat.
Ruang kedua menelusuri berbagai bentuk represi terhadap perempuan, baik dalam ranah sosial dan politik. Arsip-arsip di ruang ini menyoroti berbagai bentuk praktik diskriminasi, mulai dari kekerasan seksual, femisida, diskriminasi, polemik politik, perampasan tanah adat, hingga domestikasi peran perempuan. Salah satu sorotan pentingnya adalah kisah Mama Aleta Baun, aktivis tenun dari Nusa Tenggara Timur (NTT), yang pernah memimpin perlawanan terhadap tambang marmer di melalui menenun bersama di lokasi tambang.
Ruang terakhir menampilkan ketahanan dan solidaritas perempuan melalui empat bentuk ekspresi budaya dan aktivisme, yaitu aksi unjuk rasa, tulisan, aktivisme digital, dan karya seni. Pameran ini menegaskan bahwa resistensi bukan hanya tindakan politik, melainkan juga keberanian perempuan untuk terus bersuara dan mengarsipkan pengalamannya sendiri.
Sebagai bagian dari upaya membuka akses publik yang lebih luas, panitia juga menyediakan guide book digital yang dapat diundung langsung melalui situs resmi https://pameranarsip.sv.ugm.ac.id/koleksi/. Panduan ini berisi kurasi tema, penjelasan tiap raung, dan koleksi-koleksi yang memudahkan pengunjung menjelajahi pameran, baik secara luring maupun daring.









