Publikasi
Sambangi Mitra Wacana, BS Ungkap Pengalaman Pahit Jadi Korban Scamming

Published
5 months agoon
By
Mitra Wacana
Yogyakarta – BS, seorang perempuan berusia 30 tahun asal Daerah Istimewa Yogyakarta, hadir di ruang pertemuan Mitra Wacana dengan raut wajah tenang yang menyembunyikan luka batin mendalam. Ia datang untuk berbagi kisah pilu yang dialaminya sebagai korban penipuan kerja di Kamboja, sebuah pengalaman yang mengubah harapannya untuk memperbaiki kehidupan keluarga menjadi kenyataan pahit penuh penderitaan.
BS mengawali ceritanya dengan sederhana. Keinginan untuk bekerja muncul setelah melihat sebuah lowongan kerja yang diiklankan di Facebook. Ia ditawari pekerjaan di restoran di Thailand dengan iming-iming gaji besar, fasilitas lengkap, dan peluang bekerja di luar negeri. Tawaran itu datang dari seseorang bernama Ani, seorang perempuan paruh baya asal Trenggalek, Jawa Timur, yang tampak meyakinkan.
Ani tidak hanya menghubungi BS melalui pesan teks, tetapi juga melakukan panggilan video untuk memperkuat kepercayaannya. Bahkan, tiket perjalanan menuju Malaysia telah disiapkan oleh seseorang yang disebut Ani sebagai anaknya. Meskipun sempat merasa ragu saat diberitahu harus transit di Malaysia, BS akhirnya luluh karena semua tampak diatur dengan sangat rapi.
Namun, sesampainya di Malaysia, BS mulai merasakan ada yang tidak beres. Ia langsung diberi tiket lanjutan menuju Ho Chi Minh, Vietnam, sebelum akhirnya sampai di sebuah kota di Kamboja. Setibanya di bandara, ia dijemput oleh seorang pria tak dikenal dan dibawa ke sebuah flat. Di sana, untuk pertama kalinya, ia bertemu Ani secara langsung. Pada awalnya, BS merasa lega. Namun, kenyataan yang dihadapinya justru jauh dari harapan.
Flat tersebut ternyata bukan tempat kerja yang dijanjikan. BS terkejut mendapati dirinya tinggal bersama puluhan warga negara Indonesia lainnya yang ternyata juga menjadi korban penipuan. Mereka semua dipaksa menjadi scammer, menipu warga Indonesia melalui aplikasi TikTok. BS diberikan target yang hampir mustahil, yaitu mengumpulkan uang sebesar sepuluh juta rupiah setiap hari. Kegagalan mencapai target ini akan berujung pada hukuman berupa pemukulan dan penyiksaan dengan setrum listrik.
Setiap hari, BS harus bekerja dari pukul sembilan pagi hingga tengah malam tanpa istirahat yang layak. Bahkan untuk ke toilet, waktu yang diberikan sangat terbatas. Jika melewati batas waktu sepuluh menit, ia langsung didenda belasan dolar AS. Tekanan yang dialami sangat luar biasa, ditambah dengan kondisi hidup yang tidak manusiawi. Makanan yang diberikan sering kali hanya mi instan, dan ancaman kekerasan terus menghantui.
“Kami tidak hanya kehilangan kebebasan, tetapi juga martabat. Rasanya seperti hidup tanpa harapan,” ujar BS dengan mata berkaca-kaca. Ia merasa tubuhnya lelah dan perutnya lapar, tetapi tetap dipaksa untuk memenuhi target. Segala aktivitas mereka diawasi ketat, membuat kebebasan menjadi hal yang mustahil untuk diraih.
Setelah melalui penderitaan panjang, BS akhirnya berhasil kembali ke tanah air. Namun, ia tidak melupakan teman-temannya yang masih terjebak dalam situasi yang sama di Kamboja. Mereka sangat membutuhkan pertolongan untuk segera dibebaskan. Karena itu, BS memutuskan untuk mengunjungi Mitra Wacana, bukan hanya untuk berbagi pengalaman, tetapi juga untuk mencari dukungan agar kisahnya dapat menjadi pelajaran bagi banyak orang.
BS mengingatkan agar masyarakat, terutama perempuan, lebih waspada terhadap tawaran kerja yang tidak masuk akal di media sosial. Penipuan kerja seperti yang ia alami sering kali terlihat sangat meyakinkan, tetapi di baliknya tersembunyi jebakan berbahaya. “Saya ingin cerita saya menjadi pelajaran bagi semua orang. Jangan mudah percaya pada tawaran kerja di media sosial, apalagi jika terlihat terlalu bagus untuk menjadi kenyataan,” pesannya tegas.
Mitra Wacana, yang memberikan pendampingan kepada BS, menegaskan pentingnya edukasi untuk mencegah kasus serupa. Perwakilan lembaga ini menyatakan bahwa kasus yang dialami BS menunjukkan betapa perlunya masyarakat memahami risiko bekerja di luar negeri tanpa informasi yang jelas dan terpercaya. Meski pengalaman pahit itu masih membekas, BS berusaha untuk bangkit. Ia ingin suaranya didengar, agar tidak ada lagi korban seperti dirinya. “Saya bersyukur bisa pulang, tapi saya ingin berbicara agar lebih banyak orang yang sadar akan bahaya ini,” katanya dengan penuh harapan. Kisah BS adalah pengingat keras bahwa kewaspadaan adalah kunci untuk melindungi diri dari jerat penipuan yang merenggut kebebasan dan martabat manusia.
Penulis : Tnt
Penyunting : Ruly
Opini
Menertawakan Kekuasaan Lewat Bunyi: Analisis Estetika Kontekstual Cerpen Dodolitdodolitdodolibret

Published
12 hours agoon
12 June 2025By
Mitra Wacana
Oleh: Dhia Qatrunnada Afiluman
Dalam dunia sastra Indonesia kontemporer, Seno Gumira Ajidarma dikenal bukan hanya sebagai penulis yang peka terhadap realitas sosial, tetapi juga sebagai seniman kata yang kerap menjungkirbalikkan logika narasi demi mengeksplorasi makna yang lebih dalam. Salah satu cerpen terkenalnya, Dodolitdodolitdodolibret, adalah contoh nyata bagaimana absurditas, bunyi, dan humor bisa menjadi alat yang ampuh untuk menertawakan kekuasaan yang membatu, terutama kekuasaan yang menjelma dalam bentuk spiritualisme tanpa makna.
Cerpen ini berkisah tentang Kiplik, seorang tokoh yang merenungkan makna dari doa yang benar. Ia mempertanyakan bagaimana mungkin seseorang dapat mencapai “berjalan di atas air” hanya dengan berdoa, sebagaimana diceritakan dalam dongeng yang ia dengar. Namun alih-alih menolak logika spiritual itu, Kiplik justru memperdalam “ilmu berdoa”, sebuah proses yang semakin absurd dan ritualistik. Ia mengajarkan bahwa agar doa berhasil, gerakannya harus tepat, ucapannya tidak keliru, dan waktunya sesuai. Ia pun akhirnya dikenal sebagai Guru Kiplik, sang pengajar “cara berdoa yang benar.”
Namun yang menjadikan cerpen ini luar biasa bukan sekadar premisnya, melainkan bagaimana Seno menggunakan bunyi absurd dalam judul cerpennya dodolitdodolitdodolibret, untuk membongkar absurditas sistem kepercayaan yang kehilangan esensi. Bunyi ini muncul seperti mantra, tidak bisa dijelaskan artinya, namun dipercayai memiliki kekuatan. Di sinilah estetika bunyi menjadi strategi naratif yang kritis. Bunyi-bunyi kosong ini mengejek sistem spiritual atau ideologis yang memaksa ketaatan pada simbol tanpa menjelaskan substansi di baliknya.
Cerpen ini bekerja seperti cermin jenaka yang memantulkan wajah serius para pemuja “doa yang benar.” Lewat Kiplik, Seno menyindir betapa masyarakat kerap mengagung-agungkan tata cara, upacara, dan formula, tetapi melupakan makna. Ritual menjadi teater, dan keyakinan menjadi pertunjukan formal. Guru Kiplik tidak pernah menyebut dirinya nabi, namun dielu-elukan, dimintai izin untuk diikuti, bahkan dipuja seolah ia sumber keselamatan. Seno menghadirkan kritik halus terhadap bagaimana kekuasaan spiritual sering kali dibentuk oleh kharisma dan kebutuhan kolektif akan kepastian, bukan oleh makna sejati yang dirasakan.
Menariknya disini, Seno tidak menyampaikan kritiknya dengan murka atau agitasi. Ia menggunakan humor, ironi, dan absurditas. Dalam satu bagian akhir cerpen, sembilan murid Guru Kiplik yang berhasil “berdoa dengan benar” justru berlari-lari di atas air sambil berteriak panik karena lupa cara berdoa yang benar. Seno menyisipkan pertanyaan mendalam dalam kelucuan itu: apakah yang kita cari dari kekuatan spiritual? Ketenangan, keselamatan, atau sekadar rasa bahwa kita “berada di jalur yang benar”? Dan betapa mudahnya “doa” menjadi beban, bukan pembebasan, jika dimaknai hanya sebagai aturan, bukan relasi batin.
Melalui estetika bunyi dan narasi yang ditenun dari absurditas, Dodolitdodolitdodolibret menghadirkan refleksi tentang kekuasaan: bukan hanya yang berwujud negara atau agama, tapi juga kekuasaan simbol dan kepercayaan yang hidup dalam pikiran kolektif. Ia menertawakan, bukan menghina kekuasaan itu. Tertawa dalam cerpen ini bukan sekadar hiburan, tetapi bentuk resistensi halus, sekaligus pengingat bahwa ketika makna dikunci oleh kekuasaan simbolik, suara manusia akan tetap mencari celah untuk menyelinap keluar, entah lewat satire, entah lewat bunyi tak bermakna: dodolitdodolitdodolibret.

Menertawakan Kekuasaan Lewat Bunyi: Analisis Estetika Kontekstual Cerpen Dodolitdodolitdodolibret

Kebangkitan “Malam” oleh Elie Wiesel: Memoar yang Hampir Terlupakan
