Mitra Wacana WRC dikelola oleh para pegiat yang bekerja untuk isu perempuan dan hak-hak anak. Mereka bekerja di tingkat akar rumput untuk memperkuat hak-hak perempuan dan anak-anak di Indonesia. Selama seri Mitra Chatting, saya akan mewawancarai masing-masing pegiat, dan berbagi cerita dan opini mereka dengan sobat kami, terutama di media sosial (#sobatmitrawacana).
Hari ini, Senin (13 Juni 2016), saya mengobrol dengan salah satu pendamping komunitas Mitra Wacana, Muhammad Mansur. Berikut ini adalah petikan wawancara yang kami lakukan.
Sophia: Terima kasih untuk bergabung dengan saya. Perkenalkan diri Anda.
Mansur: Nama saya Muhammad Mansur, biasanya teman-teman saya memanggil saya Mansur. Posisi saya di Mitra Wacana adalah sebagai organizer masyarakat koordinasi (CO), di Kabupaten Banjarnegara.
Saya telah bekerja sebagai CO selama hampir dua tahun, dan saya telah ditunjuk sebagai koordinator bulan ini untuk terlibat dalam merumuskan program.
Sophia: Apa yang mengilhami Anda untuk menjadi seorang pegiat di Mitra Wacana?
Mansur: Ketika masih menjadi mahasiswa di universitas, saya benar-benar menikmati kegiatan masyarakat, terutama kegiatan yang melibatkan masyarakat. Jadi saya merasa ini adalah pakaian gaya saya. Sebagai mahasiswa, saya aktif di beberapa organisasi termasuk organisasi pers mahasiswa dan juga pergerakan mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Hal tersebut semakin mendorong saya untuk bekerja bersama masyarakat, terutama di tingkat akar rumput.
Sophia: Salah satu kunci isu di Mitra Wacana adalah tentang gender (kesetaraan gender). Anda dapat menjelaskan apa artinya bagi Anda?
Mansur: Di Banjarnegara, kami juga mendidik masyarakat tentang kesetaraan gender. Ini berarti pembagian yang sama dari peran antara perempuan dan laki-laki, dalam kehidupan baik publik maupun rumah tangga (domestik). Mereka harus berbagi pekerjaan, ada perubahan bertahap yang dibuat antara perempuan dan laki-laki. Kami mengajak mereka untuk memahami gender dalam peningkatan kapasitas.
Sophia: Apakah program Mitra Wacana di Banjarnegara?
Mansur: Fokus kami, sejak tahun pertama adalah tentang penguatan komunitas untuk melakukan pencegahan kekerasan seksual terhadap anak di Banjarnegara, karena di Banjarnegara angka kekerasan seksual relatif tinggi. Kegiatan kami yaitu melakukan penguatan masyarakat, bekerja sama dengan kelompok sasaran di sana, dan bersama masyarakat membantu korban kekerasan seksual. Saya bekerja di sebuah desa Berta, kecamatan Susukan. Ini daerah perbukitan, dan ada beberapa kasus kekerasan seksual. Salah satu kasus yang terjadi tahun lalu pada tahun 2015 adalah kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum oleh guru di sebuah sekolah dasar terhadap siswa. Hal ini terjadi di desa. Ada juga kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence). Oleh karena itu, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan di sana; perlu meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang isu-isu tersebut .
Sophia: Jadi bagaimana LSM dan pemerintah dapat membantu anak-anak dan korban kekerasan seksual?
Mansur: Kami [LSM] membutuhkan masyarakat dan pemerintah desa untuk selalu bekerja sama. Kami telah bekerja dengan masyarakat untuk membentuk kelompok yang disebut P3A (Pusat Pembelajaran Perempuan dan Anak) yaitu keberadaan kelompok ini sebagai Pusat Belajar untuk Perempuan dan Anak). Fungsi mereka adalah untuk melakukan konseling kepada korban kekerasan, termasuk perempuan dan anak-anak.
Selain itu, untuk bagian pemerintah, kami telah menjalin kerjasama di desa, kecamatan dan kabupaten. Di tingkat desa, kami bekerja sama dengan pemerintah desa untuk melakukan pendampingan beberapa kasus [kekerasan seksual]. Di tingkat kecamatan, kami bekerja dengan sebuah organisasi bernama PTT (Pusat Pelayanan Terpadu atau Integrated Pusat Service). Di tingkat kabupaten, kami bekerja P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) yang di dalamnya ada sebuah unit dari kepolisian, yaitu unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) ditingkat kabupaten.
Sophia: Terima kasih banyak untuk berbagi pandangan dan pengalaman dengan saya hari ini Mansur.