web analytics
Connect with us

Arsip

Seminar Pencegahan Trafficking di Kulon Progo

Published

on

seminar anti trafficking

“Trafficking atau perdagangan orang adalah salah satu bentuk dari diskriminasi atau kekerasan terhadap perempuan. Tidak hanya kekerasan dalam rumah tangga atau kekerasan seksual, namun trafficking ini masuk dalam bentuk diskriminasi, eksploitasi  dan semacamnya”, demikian disampaikan Rindang Farihah, selaku Direktur Mitra Wacana WRC pada sambutan dalam rangka seminar Mitra Wacana WRC bersama para stakeholder Kulon Progo dan para mitra strategis Mitra Wacana WRC dalam Seminar bertema Pengecahan Perdagangan Orang (Trafficking) di kabupaten Kulon Progo. Seminar diadakan pada 22 Mei 2014 di Wisma Kusuma Jl. Lingkar Wates Kulon Progo.

Seminar ini bertujuan untuk berbagi ilmu, kampanye anti trafficking di Kulon Progo dan diskusi tentang UU no 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Sebagai Keynote speaker bapak Riyadi Sunarto menyampaikan bahwa penyebab utama terjadinya trafficking adalah factor ekonomi, terjadi di sector non formal dan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang bagaimana menjadi tenaga kerja ke luar negeri.

Narasumber pada seminar ini ada 3 orang, yaitu Ibu Tri Iswanti dari Disnakertransos Kulon Progo, Ibu Ipda Satiyem dari Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Kulon Progo dan Diana Kamilah, manager program Kulon Progo Mitra Wacana WRC, dengan moderator Septi Eka Wulandari. Diana Kamilah menyampaikan dari hasil ‘blusukan’ tim Mitra Wacana (Eka Septi Wulandari, Umi Asih dan Ignatius Kleruk Mau) selama 6 bulan di desa Nomporejo kecamatan Galur, desa Salamrejo di Sentolo dan desa Hargotirto di Kokap, ditemukan bahwa motivasi para pekerja ke luar negeri adalah mencari pengalaman, memperbaiki ekonomi, menyekolahkan anak, membangun rumah, mandiri, menebus ijazah, menghindari KDRT, naik haji, sudah ditawari sekolah, dan melihat tetangga sukses. Para korban trafficking kebanyakan perempuan. Kekerasan dialami dari pemberangkatan, penampungan, tempat kerja dan saat kepulangan. Jenis kekerasan dari pemalsuan dokumen/identitas, penampungan tidak layak huni, diperkerjakan di tempat prostitusi, pelecehan seksual, disekap di kamar mandi dan lain sebagainya.

Ibu Tri Iswanti sebagai pejabat fungsional di Disnakertransos selama 15 tahun menyampaikan bahwa Disnakertransos bekerjasama dengan PPTKIS (Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta), dulu PJTKI secara resmi memberangkatkan para TKI. Dengan perkembangan teknologi, semua orang bisa mengakses internat, informasi bekerja keluar negeri bisa lewat internet, bisa perorangan, melalui teman, dari pemerintah lewat PPTKIS dan GtoG(Government to Government) Ada juga G to privat. Jumlah TKI Kulon Progo menurut informasi dari BP3TKI 900 orang di sektor informal. Mereka kebanyakan berangkat melalui calo, pialang yang datang door to door ke rumah penduduk. Ada beberapa korban trafficking dari Jangkaran, Brosot , Temon, Wates,  Lendah dan Sentolo. Bu Tri menyarankan untuk calon TKI untuk mencari informasi melalui Disnakertransos, melalui prosedur resmi dan jalur yang benar untuk mencegah terjadinya trafficking.

Apa itu trafficking? Trafficking menurut UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam Negara maupun antar Negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang lain tereksploitasi, kata Ibu Ipda Satiyem. Beliau juga mengatakan bahwa sampai saat ini belum ada laporan tentang tindak pidana trafficking di Kulon Progo. Kemungkinan korban tidak melapor karena malu atau merasa terancam jika melaporkan apa yang dialaminya. Maka ibu Ipda menghimbau apabila ada tindak pidana trafficking bisa memberikan info ke sms atau telpon ke 08165479279  (Ipda Satiyem unit PPA Satreskrim Kulon Progo) atau ke Pak Kasad ReskrimRicky Boy Sialagan SIK, AKP (081323156803). IMZ

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Arsip

Merajut Kolaborasi Lintas Iman: Mencegah Intoleransi, Radikalisme dan Ekstremisme Di Baciro

Published

on

Sebagai upaya melakukan pencegahan terhadap fenomena intoleransi, radikalisme dan ekstremisme (IRE), Mitra Wacana melaksanakan program kolaboratif dengan masyarakat lintas iman sepanjang bulan Maret hingga Mei 2025. Program ini dilaksanakan di Kalurahan Baciro, Kapanewon Gondokusuman Kota Yogyakarta. Dijalankannya program ini tidak terlepas dari eskalasi kasus intoleransi yang sempat terjadi di Yogyakarta dalam beberapa tahun terakhir. Kasus-kasus tersebut menjadi goresan-goresan luka bagi realitas masyarakat Yogyakarta yang kaya akan keberagaman dan menjunjung kehidupan yang toleran.

Kalurahan Baciro dipilih karena beberapa alasan. Pertama, Kalurahan Baciro merepresentasikan kemajemukan masyarakatnya yang meliputi warga urban, mahasiswa dan masyarakat lintas iman. Kedua,  di Baciro pernah terjadi tindakan intoleran berupa penolakan rumah ibadah dan persekusi terhadap kelompok Ahmadiyah. Ketiga, tokoh lokal dan struktur formal di Kalurahan Baciro memberikan dukungan untuk dilaksanakannya program ini. Selain itu, Baciro juga telah ditetapkan sebagai Kalurahan Kerukunan sehingga memiliki potensi besar untuk dijadikan model replikasi upaya pencegahan IRE.

Melalui program ini, Mitra Wacana hadir dengan pendekatan partisipatif, melibatkan perempuan, orang muda, tokoh agama, aparat, kelompok minoritas, organisasi lintas iman dan media sebagai agen yang merawat keberagaman. Pelaksana program menggunakan pendekatan edukasi berbasis komunitas berperspektif gender, menghadirkan ruang aman bagi dialog lintas iman serta melakukan kampanye narasi damai baik secara daring maupun luring.

            Program ini diawali dengan dialog bersama para jurnalis untuk mengkampanyekan narasi damai di media. Selain mengajak jurnalis dan admin media berbagai komunitas dan lembaga, media Mitra Wacana sendiri juga melakukan produksi konten narasi damai dan mempublikasikannya dengan mengajak jejaring sebagai kolaborator postingan media sosial. Di samping itu, Mitra Wacana juga memberikan workshop mengenai kampanye digital kepada admin media sosial komunitas-komunitas yang ada di Yogyakarta.

Implementasi program ini juga meliputi lokalatih tentang pengenalan IRE dan strategi pencegahannya yang dilaksanakan sebanyak dua kali, peluncuran Buku Panduan Praktis Deteksi Dini IRE, talkshow di radio untuk memperluas jangkauan isu, evaluasi partisipatif hingga audiensi ke Walikota Yogyakarta dan Kesbangpol DIY. Namun, pencegahan IRE tidak sepenuhnya berjalan mulus. Beberapa hal masih menjadi tantangan dalam pelaksanaan program misalnya masih adanya stigma terhadap minoritas (Ahmadiyah, penghayat). Kemudian, pencegahan IRE juga tidak dianggap populer di media, tidak semua masyarakat dan organisasi terjangkau langsung serta durasi program yang sangat singkat.

Mitra Wacana perlu menerapkan strategi khusus agar program pencegahan IRE ini berjalan lancar dan menghasilkan output serta outcome yang tepat sasaran. Adapun beberapa strategi yang dilakukan Mitra Wacana antara lain: membangun kepercayaan melalui komunikasi personal dengan kelompok minoritas, melakukan kolaborasi strategis dengan Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta, distribusi buku deteksi dini IRE ke 21 Rukun Warga serta advokasi ke Wali Kota dan Kesbangpol untuk keberlanjutan kebijakan dan replikasi program.

Program yang dijalankan Mitra Wacana ini berhasil menjangkau 53 peserta dari beragam gender, agama dan usia. Kemudian, menghasilkan lebih dari 25 konten digital edukatif dengan lebih dari 82 ribu penonton, menjangkau 41 kolaborator, menghasilkan 10 artikel dan 38 publikasi kegiatan, tersusunnya Buku Panduan Praktis Deteksi Dini IRE serta menjangkau 21 content creator.

Hasil survei terhadap peserta menunjukkan bahwa peserta meningkat dari sisi pengetahuan, sikap dan perilaku. Tools deteksi dini IRE juga dirasakan sangat membantu sebagai alat mengidentifikasi gejala intoleransi, radikalisme dan ekstremisme dalam masyarakat. Nugraha Dhayu Mukti dari Gema Pakti mengaku setelah mengikuti program ini dia merasa lebih paham tentang bentuk dan perilaku IRE. Selain itu dia merasa lebih percaya diri karena penghayat kepercayaan sudah mulai diterima berkegiatan secara umum atau lintas iman karena Mitra Wacana selalu melibatkan kelompok penghayat di setiap kegiatan.

Adapun Abdul Halim dari FKUB Kota Yogyakarta menyampaikan program-program yang dilaksanakan Mitra Wacana menjadi ruang dialog lintas iman yang sesungguhnya. “Kegiatan lintas iman seperti ini memberi ruang untuk membangun silaturahmi lintas iman. Tidak sekadar teori, tapi benar-benar menghidupkan dialog” ungkapnya. Program ini membuktikan bahwa perdamaian bisa dibangun mulai dari ruang-ruang kecil yang partisipatif dan keterlibatan lintas kelompok menjadi kunci keberhasilan. (wiji nur asih)

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending