Berita
P3A Rengganis Mengadakan Desiminasi ke Kelompok Arisan RT di Kidulan, Salamrejo
Published
2 years agoon
By
Mitra Wacana
Oleh Alfi Ramadhani
Minggu, 21 Januari 2024 P3A rengganis mengadakan desiminasi ke kelompok arisan RT di Kidulan. Acara dilakukan dirumah Bu Partinem selaku mantan bu RT. Kebetulan, hari ini di Rt tersebut baru saja menyelesaikan pemilihan ketua RT sehingga ada konsumsi tambahan berupa camilan makanan ringan.

Susunan Acara:
1. Pembukaan
2. Sambutan Tuan Rumah
3. Perkenalan Kelompok P3A Rengganis
4. Desiminasi
5. Penutup
Acara dibuka oleh ibu Partinem dengan doa bersama dilanjutkan dnegan himbauan kepada ibu-ibu yang hadir bahwa proses demokrasi ke lingkup RT berjalan dengan baik. Terdapat 126 warga, namun yang mencoblos hari ini ada 100 orang dengan perolehan 51-49. Perbedaan yang tipis ini menandakan bahwa kedua calon merupakan orang-orang yang bagus, sehingga dipilih oleh warga setempat.
meski demikian, kita menghargai pemenang yang memiliki suara lebih banyak dan mendukungnya dengan menciptakan masyarakat yang kondusif dana man. Ia juga menghimbau ibu-ibu agar tidak merasa insecure/rendah diri karena tidak pintar IT atau media social, karena perempuan-perempuan hebat ini mampu menyekolahkan anaknya sampai SMA dan kuliah. Mayoritas profesi ibu-ibu ini adalah buruh sulam tas.

Acara selanjjutnya aialh perkenalan kelompok P3A Rengganis diamna mbak Jumini mengenalkan apa itu P3A Rengganis dan tujuan menghadiri arisan RT. Ia juga mengenalkan anggota P3A yang ahdir sekaligus Co dari Mitra wacana.
Mbak Jumini memulai dengan bertannya perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Mbak siti menjawab: perempuan mengandung, haid, melahirkan. Lalu yang lain juga menjawab laki-laki memiliki jakun, kumis, dan mimpi basah. Selajutnya ditambah dengan stereotype sifat-sifat wanita yang lemah lembut dan juga anomalinya bahwa laki-laki itu kuat.
Co juga bertanya apakah ibu-ibu pernah menangis? Jawabannya kompak menjawab sering. Namun jarag sekali melihat laki-laki menangis, padahal tuhan menciptakan kelenjar air mata di semua makhluknya. Hal ini juga berlaku di pendidikan dan pengasuhan anak. Co memberikan contoh konkrit pembedaan gender di dua sector itu. Lalu mengaitkan kepada kondisi anak Indonesia yang menjadi Fatherless generation karena kurang sosok ayah dalam amsa pengasuhan beserta dampaknya.

Diskusi berjalan mengenai stereotype yang ada di masyarakat dan ibu-ibu setuju bahwa perempuan lemah itu tidak benar karena terbukti mereka semuanya bekerja. Ada tanggapan dari bu Heni yang bercerita bahwa ia dulu merasakan kesenjangan dengan kakak laki-lakinya yang kuliah di Jogja dan ia kuliah di Solo karena beasiswa. Ia merasa bahwa anak laki-laki itu kebanggaan keluarga dan orang tuanya lebih sering menjenguh kakak laki-lakinya yg kuliah di Jogja. Dari situ ia bertekad untuk menjadi perempuan yang mandiri dan mengajarkan itu kepada anak-anaknya. Ia juga tidak membeda-bedakan dalam pendidikan anak selama ia bisa menyekolahkan keduanya. Ia juga berharap ibu-ibu bisa sedikit mengambil pelajaran dari cerita hidupnya.

Bu Par juga mengambil kesimpulan bahwa yang pertama bahwa rumah tangga itu harus dijalankan berdua, mengurus anak jangan dibeda-bedakan karena ia juga mengalami hal serupa sehingga beliau juga menyarankan kepada ibu-ibu yang hadir untuk berlaku adil dan tidak membeda-bedakan anak laki-laki maupun perempuan. Ia juga menambahkan bahwa senang bisa diberikan pelajaran oleh P3A Rengganis.
You may like
Berita
Mitra Wacana Dorong Pemerintah Perkuat Pelindungan bagi Pekerja Migran Indonesia
Published
1 week agoon
11 November 2025By
Mitra Wacana
Jakarta, 10 November 2025 — Mitra Wacana turut berpartisipasi aktif dalam Konsultasi Nasional tentang Akses terhadap Pelindungan Sosial yang Layak dan Berkelanjutan bagi Pekerja Migran Indonesia yang diselenggarakan di Swiss-Belresidences Kalibata, Jakarta Selatan. Kegiatan ini diinisiasi oleh Migrant Forum in Asia (MFA) bekerja sama dengan Migrant Care, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), dan Solidaritas Perempuan, dengan dukungan dari IOM melalui program Migration, Business and Human Rights in Asia (MBHR Asia) yang didanai oleh Uni Eropa dan Pemerintah Swedia.
Acara yang dihadiri oleh perwakilan pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan serikat buruh ini bertujuan untuk memperkuat advokasi dan sinergi kebijakan dalam menjamin akses perlindungan sosial bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI), baik di tahap pra-penempatan, selama bekerja di luar negeri, maupun setelah kembali ke tanah air.
Dalam sesi diskusi, berbagai isu krusial mencuat, mulai dari minimnya akses pendidikan dan lapangan kerja yang layak di dalam negeri hingga praktik perekrutan yang tidak adil dan jeratan hutang yang menjerat calon pekerja migran. Kondisi ini, menurut para peserta, memperlihatkan bagaimana kemiskinan struktural masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah.
“Ketika pemerintah tidak menyediakan akses pendidikan dan pekerjaan yang layak, masyarakat akhirnya mencari penghidupan di luar negeri. Tapi di sana pun mereka menghadapi eksploitasi dan kekerasan, bahkan ada yang tidak kembali dengan selamat,” ungkap salah satu peserta diskusi yang menyoroti rentannya posisi pekerja migran di berbagai negara penempatan.
Mitra Wacana, melalui perwakilannya Nurmalia, menegaskan pentingnya tanggung jawab negara dalam memastikan perlindungan menyeluruh bagi PMI. Ia menyoroti pentingnya kolaborasi antara pemerintah, perusahaan, dan lembaga internasional agar pekerja migran dan keluarganya memperoleh jaminan sosial yang adil.
“Negara harus hadir secara konkret, tidak hanya menjadikan PMI sebagai pahlawan devisa, tetapi juga memastikan mereka terlindungi dari hulu ke hilir. Kami mendesak pemerintah untuk memperkuat kerja sama antara BPJS Ketenagakerjaan dan perwakilan Indonesia di luar negeri, agar sistem perlindungan berjalan efektif dan tidak ada lagi korban yang dipulangkan tanpa pemulihan yang layak,” tegas Nurmalia, mewakili Mitra Wacana.
Konsultasi nasional ini juga merekomendasikan penguatan kebijakan jaminan sosial lintas negara serta sistem reimbursement yang memungkinkan pekerja mendapatkan layanan kesehatan sebelum dipulangkan. Para peserta berharap hasil diskusi ini menjadi pijakan bagi advokasi regional dalam memperjuangkan kebijakan yang lebih adil, berkelanjutan, dan berpihak pada pekerja migran.
Kegiatan ditutup dengan komitmen bersama untuk memperluas jaringan advokasi dan mendorong pembentukan kebijakan yang tidak hanya melindungi pekerja migran, tetapi juga memberikan jaminan kesejahteraan bagi keluarga mereka di tanah air.








