Berita
P3A Srikandi Sentolo Intensif Lakukan Asistensi Administrasi

Published
1 year agoon
By
Mitra Wacana
Oleh Alfi Ramadhani
Sabtu, 20 Januari 2024 P3A Srikandi Sentolo mengadakan asistensi administrasi. Pertemuan dimulai dengan pembukaan yang dipandu oleh MC yaitu ibu Sri Kusmiyati. Lalu dilanjutkan dengan sambutan ketua P3A Srikandi, yaitu Bu Sukarni. Dalam sambutannya ia berbicara kepada anggota bahwa memang dibulan ini ada 2 pertemuan selain pertemuan rutin. Selain itu Bu Sukarni juga berterimakasih kepada yang sudah berkomitment hadir meskipun sempat hujan, dan beberapa memang telat datang. Bu Sukarni juga menghimbau anggota untuk saling mengingatkan anggota lain dan mengajak jika yang lain belum terlihat aktif di group agar yang datang ke pertemuan ini banyak.
Acara dilanjutkan dengan asistensi administrasi yang difasilitatori Co. asistensi ini diadakan dengan tujuan melatih anggota dalam mempersiapkan acara mulai dari kelengkapan yang dibutuhkan hingga penulisan notulensi. Hal ini dilakukan karena dalam beberapa pertemuan saat sekertaris tidak hadir karena memang sudah jarang aktif mengikuti pertemuan tidak ada yang menggantikan dalam menulis notulensi. Akhirnya, tidak ada catatan terkait pertemuan yang sudah dilakukan.
Pada acara kali ini, mbak Fitri yang diminta menjadi notulis. Dan disepakati bahwa setiap pertemuan akan digilir siapa yang menjadi notulis. Dan tidak bergantung kepada kedatangan sekertaris saja. Co mengatakan ada beberapa hal yang harus ada dalam notulensi. Pertama adalah susunan acara, nama person yang berpendapat/bertanya, dan dinamika kegiatan. Kebiasaan ibu-ibu ialah bahwa notulensi itu berisi inti petemuan yang memuat point-point saja/ minute meeting. Disini, bu Fitri bersedia untuk membuat minute meeting yang berisi point point saja.
Setelah semuanya tahu betapa pentingnya notulensi dalam melengkapi sebuah kegiatan/aktivitas, acara dilanjutkan dengan menganalisa kelompok. Hal ini dilakukan akrena masih ada waktu. Co membagi menjadi 2 kelompok. Analisa yanag digunakan melalui metode SWOT. Setelah itu, setiap kelompok mempresentasikan hasil diskusinya dan membuka diskusi dnegan kelompok lain.
Ada hal menarik yang dikatakan kelompok 1 bahwa kalurahan sudah memberikan pengarahan terhadap warga yg akan keluar negeri melalui pak sekdes yaitu pak Agus. Namun hal ini dibantah oleh bu Sukarni karena biasanya yang melakukan pengarahan atau mewawancarai calon PMI itu bbu Sukarni dan pak Luarh. Adapun pak Agus yang dimaksud iaalah pak Agus Sumarmo ketua dukuh calon PMI ybs, bukan pak Agus yang menjabat sebagai Sekertaris Kalurahan.
Kegiatan ini menjadi moment reflektif baik bagi setiap anggota dalam melihat kelompoknya, pengurus, dan P3A secara umum sehingga mereka tahu betul kondisi kelompok P3A Srikandi.
You may like
Mewaspadai Radikalisme Digital: Mencegah Intoleransi, Radikalisme, dan Ekstremisme di Era Media Sosial
Sinau Sareng Mitra Wacana: Menakar Ulang Mitigasi Bencana yang Inklusif bagi Kelompok Rentan
Wujudkan Local Democracy, Yayasan LKiS bersama Election Corner UGM Menghadirkan Wali Kota Yogyakarta dalam Acara Pemimpin Mendengar
Berita
Mewaspadai Radikalisme Digital: Mencegah Intoleransi, Radikalisme, dan Ekstremisme di Era Media Sosial

Published
2 days agoon
15 May 2025By
Mitra Wacana
Jumat, 9 Mei 2025, Mitra Wacana berkolaborasi dengan Mahasiswa Magang mengadakan diskusi bersama. Diskusi ini menghadirkan teman-teman dari berbagai latar belakang keberagaman. Tema yang diangkat terasa sangat relevan dengan kondisi saat ini: Pencegahan Intoleransi, Radikalisme, dan Ekstremisme, khususnya dalam konteks digital yang kian kompleks.
Di tengah derasnya arus informasi yang membanjiri lini masa kita setiap hari, bentuk penyebaran paham radikal dan intoleran pun telah berubah wajah. Jika dahulu radikalisme menyebar lewat mimbar, buku, atau ceramah, kini ia menjelma lewat algoritma media sosial. Platform seperti TikTok, Telegram, YouTube, dan sejenisnya telah menjadi ladang subur penyebaran kebencian, prasangka, dan ide-ide ekstrem. Ironisnya, konten-konten ini sering kali dikemas dengan sangat menarik—visual yang apik, narasi yang meyakinkan, dan dibungkus dalam bahasa anak muda yang akrab—sehingga sulit dikenali sebagai ancaman sejak awal.
Kita sering kali lupa bahwa intoleransi tidak muncul begitu saja. Ia tumbuh pelan-pelan dari kegagalan kita menghargai perbedaan. Dalam kehidupan sehari-hari, bentuknya bisa beragam: penolakan pembangunan rumah ibadah, larangan atribut keagamaan di ruang publik, atau bahkan kos-kosan yang secara terang-terangan hanya menerima penghuni dari agama tertentu. Sekilas tampak sepele, tapi di baliknya tersembunyi cara pandang eksklusif yang tak memberi ruang pada keragaman.
Lebih jauh lagi, radikalisme dan ekstremisme berkembang dalam tiga tahap yaitu cara pandang, sikap, dan tindakan. Ketika seseorang merasa paling benar, mulai mudah melabeli orang lain sebagai “kafir”, dan menolak hidup berdampingan, itu adalah tanda-tanda awal dari bahaya yang lebih besar. Dalam konteks sosial, hal ini kerap diperparah oleh ketimpangan ekonomi, rasa terpinggirkan, dan sentimen bahwa identitas kelompoknya sedang diserang. Perasaan-perasaan inilah yang kerap menjadi bahan bakar bagi radikalisme, terutama ketika disulut oleh informasi yang tidak benar.
Media sosial memperburuk situasi ini. Algoritma hanya menunjukkan apa yang ingin kita lihat, memperkuat bias, mempersempit pandangan, dan menutup ruang dialog. Akibatnya, pengguna terjebak dalam echo chamber yang memperkuat keyakinan sendiri tanpa pernah mendapat perspektif lain. Ditambah lagi dengan maraknya hoaks dan ujaran kebencian, polanya menjadi semakin mengkhawatirkan.
Yang membuat situasi semakin rumit adalah jenis-jenis hoaks yang kini semakin canggih. Ada hoaks yang menyamar sebagai humor atau satire, ada pula yang mencampur informasi palsu dengan fakta, bahkan ada yang memanipulasi video agar terlihat benar. Hoaks semacam ini bukan sekadar kebohongan biasa—ia bisa menjadi pemicu konflik sosial yang besar. Kita pernah melihat dampaknya, seperti pada konflik Ambon atau insiden Tolikara. Satu informasi menyesatkan bisa berubah menjadi bara api dalam hitungan jam.
Melawan semua ini jelas tidak cukup hanya dengan seruan toleransi. Diperlukan langkah yang lebih konkret, seperti memperkuat literasi digital masyarakat, mengajarkan cara memilah informasi, serta membongkar cara berpikir eksklusif yang sering menjadi akar masalah. Kita juga perlu lebih kritis terhadap narasi-narasi publik—termasuk kebijakan pemerintah—yang mengandung bias atau diskriminasi terhadap kelompok tertentu.
Yang kita butuhkan adalah ruang-ruang inklusif yang tidak sekadar menerima keberagaman, tetapi juga merayakannya. Ruang di mana setiap orang, dari latar belakang apa pun, merasa aman dan dihargai. Ini bukan hal utopis. Ini bisa dimulai dari kebiasaan sederhana: memilih informasi yang kita baca, membagikan konten yang memperluas wawasan, dan berhenti menyebarkan kabar yang belum jelas kebenarannya.
Pada akhirnya, dunia digital memang tidak bisa kita hindari. Tapi kita masih punya kendali atas cara kita bersikap di dalamnya. Kita bisa memilih untuk curiga satu sama lain, atau memilih untuk saling belajar dan memahami. Di era ini, pilihan itu hadir dalam bentuk yang sangat sederhana—apa yang kita klik, siapa yang kita ikuti, dan konten seperti apa yang kita bagikan.
Maka, mari kita bijak dalam menyaring informasi. Karena dari situlah inklusivitas bisa tumbuh, diskriminasi bisa dicegah, dan keberagaman bisa menjadi kekuatan, bukan ancaman. Ini bukan hanya soal dunia maya—ini soal bagaimana kita membentuk masyarakat yang adil dan damai di dunia nyata.
Penulis : Oksafira

Mewaspadai Radikalisme Digital: Mencegah Intoleransi, Radikalisme, dan Ekstremisme di Era Media Sosial

Sinau Sareng Mitra Wacana: Menakar Ulang Mitigasi Bencana yang Inklusif bagi Kelompok Rentan

Sinau Sareng Mitra Wacana: Menakar Ulang Mitigasi Bencana yang Inklusif bagi Kelompok Rentan

Wujudkan Local Democracy, Yayasan LKiS bersama Election Corner UGM Menghadirkan Wali Kota Yogyakarta dalam Acara Pemimpin Mendengar

Click with Caution: Keeping Indonesian Kids Safe Online
