web analytics
Connect with us

Opini

Al- Kindi – Tokoh Aristotelian Neo-Platonis dari Timur dalam Sejarah Filsafat Islam

Published

on

 

Penulis : Nuril Islamiyah Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya (Universitas Islam Negeri Sunan Ampel)

Dalam buku History of Phylosophy in Islam (sejarah filasafat dalam islam) TJ. De Boer (1866-1942) menulis sosok seorang  filsuf Al-Kindi, pandangan filsafat  menurut Al-Kindi, bahkan De. Boer juga menuliskan teori Al-Kindi tentang pengetahuan. Sebenarnya dalam buku ini tidak hanya membahas tokoh filsuf muslim Al-Kindi saja, banyak tokoh-tokoh filsum muslin yang dijelaskan dalam buku ini. Dalam buku ini De. Boer menulis  sejarah filsafat dalam islam, problematika dan perpindahan dari pemikiran satu ke pemikiran yang lain para filsof. Namun, dalam tulisan kali ini hanya membahas tokoh filsuf muslim Al-Kindi.

            Nama aslinya yakni Abu Yusuf Yaqub bin Ishaq Al-Kindi. Beliau berasal dari suku Kindah dan dari keturunan asli Arab, oleh karena itu, beliau disebut sebagai filsuf Arab. Al-Kindi lahir di kota Kufah pada awal abad ke-9. Silsilahnya dapat ditelusuri kembali ke para pangeran Kindah Kuno, meskipun masih belum pasti apakah namanya berasal dari mereka. Suku Kindah di Arab Selatan dalam banyak hal jauh lebih maju daripada suku-suku lain di peradaban luar. Banyak keluarga Kindah yang juga merupakan penduduk lama di Irak (Babylonia).

            Al-Kindi merupakan seorang ilmuwan dengan pengetahuan yang luar biasa, seorang ahli sejarah, yang mampu menyerap semua pembelajaran dan budaya pada masanya. Pandangan teologisnya membawa cap dan stempel Mutazilah. Dia menulis secara khusus tentang kekuatan tindakan manusia, dan waktu kemunculannya, apakah sebelum tindakan atau bersamaan dengan tindakan. Al-Kindi sangat menekankan kemahakuasaan dan keilahian Tuhan. Teori Al-Kindi bertentangan dengan teori India dan Brahmanik yang mana teori tersebut menyatakan bahwa nalar adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang memadai. Al-Kindi justru membela kenabian, meskipun ia mencoba menyelaraskannya dengan akal. Perjumpaannya dengan berbagai sistem agama memaksanya untuk membandingkannya, dan ia menemukan elemen yang sama di dalamnya bahwa dunia bekerja karena ada penyebab utama, penyebab tunggal dan abadi, yang tidak dapat kita pahami secara tepat melalui pengetahuan kita.

            Buku ini menjelaskan pandangan Al-Kindi bahwa dunia adalah karya Tuhan, namun pengaruh Tuhan terhadap makhluk-Nya disalurkan melalui banyak agen perantara. Semua eksistensi yang lebih tinggi mempengaruhi eksistensi yang lebih rendah, tetapi yang dipengaruhi (akibat) tidak memiliki pengaruh terhadap yang mempengaruhi (sebab), masing-masing berdiri sebagai skala eksistensi yang di atasnya terdapat skala eksistensi yang lain. Dalam semua peristiwa yang terjadi di dunia, ada kausalitas atau hukum sebab dan akibat yang melingkupi segala sesuatu. Realitas luhur dan segala aktivitas merupakan bagian dari roh atau pikiran, dan materi harus sesuai dengan kehendak roh. Di antara roh Tuhan dan dunia material atau inderawi adalah jiwa. Jiwa inilah yang pertama kali menyadari dunia yang memiliki dimensi ruang dan waktu. Dari jiwa inilah kemudian memancar dunia jiwa manusia. Pada hakikatnya, dalam watak dan cara kerjanya, jiwa manusia terikat pada tubuh yang menyatu dengannya, meskipun esensi spiritualnya independen dari tubuh. Al-Kindi selanjutnya mengungkapkan bahwa jiwa kita adalah substansi yang murni dan abadi yang turun dari dunia akal ke dunia indera, tetapi diberi ingatan tentang keadaan sebelumnya.

            Buku ini juga menjelaskan teori pengetahuan Al-Kindi dalam kaitannya dengan dualitas etika dan metafisika, pengetahuan indrawi dan pengetahuan spiritual. Menurut teori ini, pengetahuan kita disampaikan melalui indera, atau pengetahuan yang diperoleh oleh akal. Indera memahami bentuk material, tetapi akal memahami bentuk spiritual. Seperti halnya apa yang ditangkap adalah pengetahuan melalui persepsi inderawi, maka apa yang ditangkap oleh akal adalah akal itu sendiri. Di sinilah doktrin tentang akal atau ruh atau pikiran dan nalar (‘aql) pertama kali muncul dalam sebuah bentuk yang, dengan sedikit perubahan, menempati sebagian besar pemikiran para filsuf Muslim di kemudian hari.

            Dalam pandangannya Al-Kindi membagi ruh ke dalam empat kategori: Pertama, ruh yang selalu ada, selalu nyata, penyebab dan esensi dari segala sesuatu yang bersifat spiritual di dunia, oleh karena itu, apa yang keluar dari ruh pertama pastilah kebenaran. Kedua, ruh sebagai kemampuan bernalar atau potensi jiwa manusia. Ketiga, ruh sebagai kebiasaan atau kemampuan aktual jiwa, yang dapat digunakan setiap saat. Keempat, ruh sebagai aktivitas, yang dengan demikian realitas dalam jiwa dapat diwujudkan dalam kenyataan, yang terkadang tidak memiliki jiwa. Aktivitas yang terakhir ini, menurut Al-Kindi, merupakan tindakan manusia itu sendiri, sementara penyebab pertama ruh yang selalu hadir digambarkan oleh Al-Kindi sebagai ruh yang memanifestasikan potensi menjadi kebiasaan, atau realisasi yang mungkin.

Membaca buku History of Phylosophy in Islam para pembaca diajak untuk menyelami kearifan filsafat di dalam islam serta dialektika pemikiran satu filsof ke filsof lain. Namun, menurut saya pribadi ketika membaca buku ini, akan sulit memahami bagi orang awam karena buku yang aslinya menggunakan bahasa inggris dan diterjemahkan sehingga bahasanya sulit dipahami, dan bagi orang yang belum mengetahui sejarah filsafat akan sulit juga untuk bisa memahami isi dari buku ini.

Disarikan dari buku:  History of Phylosophy in Islam | Penulis: TJ. De Boer | Penerbit: Forum 2019 | Tebal: +312 halaman | ISBN: 978-602-0753-07-2

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opini

RUU PPRT dan Eksploitasi Pekerja Rumah Tangga (Analisis Feminis)

Published

on

Fadhel Fikri Co-Founder di Sophia Insitute dan pegian filsafat dan Sains. Dan pembisnis di Sabda Literasi Palu

Fadhel Fikri Co-Founder di Sophia Insitute dan pegian filsafat dan Sains. Dan pembisnis di Sabda Literasi Palu

Di balik gemerlapnya kehidupan perkotaan dan kemewahan yang dipamerkan oleh sebagian besar keluarga Indonesia, ada satu sektor yang sering terabaikan dan dibiarkan terjerat dalam eksploitasi pekerja rumah tangga (PRT). Bukan hanya pekerjaan yang tidak dihargai, tetapi juga kelompok pekerja ini sering diperlakukan tanpa keadilan. 

Mereka adalah perempuan-perempuan yang menjadi korban dari sistem patriarki dan ketidakpedulian negara, berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan kondisi yang lebih mirip perbudakan modern daripada pekerjaan yang dihargai. Bayangkan, selama lebih dari dua dekade, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang seharusnya memberikan perlindungan bagi mereka, masih diperdebatkan dan tertunda pengesahannya. 

Mengapa? Apakah kita, sebagai masyarakat, begitu terbuai dengan kenyamanan dan kemewahan yang didapat dari eksploitasi kerja mereka hingga tak mampu melihat kesengsaraan di baliknya? 

Saya di sini aakan mencoba membongkar realita pahit di balik pekerjaan rumah tangga berdasarkan data-data yang ada, mengungkap bagaimana ideologi feminis menawarkan jalan keluar, dan mengapa pengesahan RUU PPRT adalah langkah mendesak untuk menciptakan keadilan sosial yang sesungguhnya.

Perspektif feminis sangat relevan dalam memahami isu ini, mengingat mayoritas PRT adalah perempuan. Pekerjaan domestik, yang secara tradisional dianggap sebagai “kerja perempuan,” sering kali tidak dihargai dan dilindungi. 

Eksploitasi PRT dan Perspektif Feminisme

Dalam masyarakat patriarkal, pekerjaan rumah tangga sering kali dipandang sebagai tugas alami perempuan. Hal ini menciptakan stigma bahwa pekerjaan domestik, termasuk yang dilakukan oleh PRT, tidak memiliki nilai ekonomi yang signifikan. 

Perspektif feminis menekankan bahwa pekerjaan domestik adalah elemen penting dalam mendukung aktivitas ekonomi keluarga, terutama bagi kelas menengah dan atas.

Bell hooks, dalam bukunya Feminism is for Everybody, menekankan bahwa feminisme harus mencakup perjuangan untuk keadilan bagi perempuan pekerja dari kelas bawah. Ia mengkritik bagaimana kapitalisme dan patriarki berkontribusi pada marginalisasi pekerjaan domestik, yang mayoritas dilakukan oleh perempuan dari latar belakang ekonomi yang kurang mampu.

Hooks menegaskan bahwa pekerjaan domestik tidak boleh diremehkan atau dieksploitasi​.

Sebagian besar PRT di Indonesia berasal dari pedesaan dan memiliki tingkat pendidikan rendah. Ketimpangan kelas ini memperburuk kerentanan mereka terhadap eksploitasi. 

Banyak PRT yang bekerja lebih dari 12 jam sehari tanpa jaminan sosial atau perlindungan hukum. Ketiadaan regulasi memperparah ketimpangan ini, membuat mereka mudah dieksploitasi oleh pemberi kerja yang tidak bertanggung jawab.

Gambaran Eksploitasi PRT

Salah satu kasus paling menonjol yang menggambarkan pentingnya perlindungan hukum bagi PRT adalah kasus Erwiana Sulistyaningsih. Erwiana adalah PRT asal Indonesia yang bekerja di Hong Kong. 

Selama bekerja, ia mengalami kekerasan fisik dan mental yang parah dari majikannya. Erwiana dipaksa bekerja tanpa istirahat, menerima upah yang sangat minim, dan tidak diberikan akses layanan kesehatan saat ia sakit.

Kasus Erwiana menarik perhatian internasional dan menjadi simbol perjuangan hak PRT. Meskipun terjadi di luar negeri, kasus ini mencerminkan kondisi yang serupa dialami oleh banyak PRT di Indonesia. Tanpa regulasi seperti RUU PPRT, pelanggaran hak terhadap PRT cenderung terus terjadi tanpa ada sanksi tegas bagi pelaku​.

RUU PPRT: Solusi untuk Perlindungan PRT

RUU PPRT muncul sebagai jawaban atas kebutuhan mendesak untuk melindungi pekerja rumah tangga yang selama ini sering kali terabaikan dan dieksploitasi. Rancangan Undang-Undang ini dirancang untuk memberikan perlindungan hukum yang lebih komprehensif, dengan berbagai poin penting yang dapat mengubah nasib para pekerja rumah tangga.

Salah satunya adalah pengaturan mengenai hak atas kontrak kerja formal, yang selama ini menjadi hal yang langka bagi sebagian besar PRT. Tanpa kontrak yang jelas, mereka sering kali dirugikan dalam hal upah, jam kerja, dan hak-hak lainnya.

Selain itu, RUU PPRT juga menetapkan jam kerja yang wajar, sebuah langkah krusial untuk memastikan bahwa PRT tidak dipaksa bekerja tanpa henti, tanpa waktu istirahat yang cukup.

Tidak hanya itu, RUU ini juga menjamin bahwa para pekerja rumah tangga akan mendapatkan upah minimum yang sesuai dengan standar yang berlaku, memberikan mereka hak yang sama untuk mendapatkan penghasilan yang layak.

Pentingnya jaminan sosial dan kesehatan juga diatur dalam RUU ini, memastikan bahwa PRT tidak hanya diakui sebagai pekerja, tetapi juga diberikan perlindungan atas kesehatan mereka yang sering kali terabaikan.

Untuk mendukung hal tersebut, mekanisme pengaduan yang jelas juga disediakan bagi PRT yang menghadapi pelanggaran hak, membuka pintu untuk keadilan yang lebih cepat dan aksesibilitas bagi mereka yang membutuhkan perlindungan.

Namun, lebih dari sekadar perlindungan hukum, RUU PPRT juga bertujuan untuk menghapus stigma terhadap pekerjaan rumah tangga. Pekerjaan ini, yang selama ini dianggap sebagai pekerjaan “tidak penting” dan hanya layak dilakukan oleh perempuan dari lapisan masyarakat bawah, kini akan diakui sebagai sektor formal yang memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian negara.

Dengan demikian, RUU PPRT tidak hanya melindungi hak-hak PRT, tetapi juga mengangkat martabat mereka sebagai pekerja yang berharga dalam struktur sosial dan ekonomi.

Namun, pengesahan RUU PPRT menghadapi berbagai tantangan, mulai dari resistensi politik hingga kurangnya kesadaran publik akan pentingnya regulasi ini. Beberapa pihak berargumen bahwa regulasi ini akan memberatkan pemberi kerja. 

Namun, perspektif feminis menekankan bahwa perlindungan hak PRT bukan hanya tentang kepentingan individu, tetapi juga tentang keadilan sosial dan pengakuan atas kontribusi ekonomi mereka​.

Mengapa Perspektif Feminisme Penting dalam Perjuangan RUU PPRT?

Feminisme menekankan bahwa pekerjaan domestik harus diakui sebagai pekerjaan formal yang memiliki nilai ekonomi dan sosial. Pengesahan RUU PPRT akan menjadi langkah penting dalam menghapus stigma bahwa pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan “tidak penting.” 

Hal tersebut juga akan memberikan pengakuan yang layak bagi perempuan yang selama ini terjebak dalam lingkaran eksploitasi karena pekerjaan mereka tidak dihargai secara formal.

Selain itu, eksploitasi terhadap PRT adalah bagian dari masalah yang lebih besar dalam budaya patriarki yang menganggap pekerjaan perempuan sebagai sesuatu yang dapat dieksploitasi tanpa konsekuensi. 

Pengesahan RUU PPRT tidak hanya akan memberikan perlindungan hukum, tetapi juga membantu mengubah cara pandang masyarakat terhadap pekerjaan domestik, sehingga menciptakan lingkungan yang lebih setara dan adil​.

Dengan demikian, pekerja rumah tangga adalah kelompok yang sangat rentan terhadap eksploitasi dan pelanggaran hak di Indonesia. Perspektif feminis, seperti yang diusung oleh bell hooks, menyoroti pentingnya melawan ketidakadilan ini dengan mengakui pekerjaan rumah tangga sebagai pekerjaan formal yang layak dihargai dan dilindungi.

Kasus Erwiana Sulistyaningsih menunjukkan bagaimana kekerasan dan eksploitasi dapat terjadi dalam ketiadaan perlindungan hukum.

Pengesahan RUU PPRT adalah langkah penting untuk memastikan keadilan sosial dan kesetaraan gender. RUU ini akan memberikan perlindungan hukum bagi PRT, meningkatkan kondisi kerja mereka, dan menghapus stigma negatif terhadap pekerjaan domestik.

Dengan demikian, perjuangan untuk pengesahan RUU ini harus menjadi prioritas dalam upaya menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara.

Referensi

  1. hooks, bell. Feminism is for Everybody: Passionate Politics. South End Press, 2000.
  2. Komnas Perempuan. Satu Suara Wujudkan Cita-Cita untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, 2024. https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-komnas-perempuan-peringatan-26-tahun-komnas-perempuan

JALA PRT. Statistik Pelanggaran Hak PRT di Indonesia, 2023.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending