Opini
ANEKDOT PMII, MANGKUK KOSONG DI ARENA KONGRES
Published
5 months agoon
By
Mitra Wacana“Organization is a belief or state of mind held by most people that they have a feeling of togetherness as a unit”
Lothrop Stoddard, 1883 |
Dalam upaya mewudujkan organisasi yang sehat (berkeadilan), hendaknya para kader-elite PMII meng-ingat bahwa cita-cita besar PMII tidak hanya memperjuangkan emansipasi dan partisipasi di bidang adil dan makmur (ekonomi). Ihwal, pembacaan sila keempat (civil society) dan sila kelima (keadilan). Adalah butir-butir pancasila yang tidak dapat dipisahkan. Hasil rumusan panitia sembilan dalam pembukaan UUD 1945, sengaja dihubungkan dengan kata sambung (“serta”), kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah-kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (baca butir-butir pancasila). Pokok tersebut merupakan ideologi PMII secara normatif. meskipun pembiasan selalu kita pertontontonkan di berbagai aktivitas organisasi. Lebih lebih pada momentum kongres PMII XXI yang secara kebetulan begitu dekat dengan agenda besar negara termasuk Pilkada serentak 2024.
Penghayatan pancasila ialah pembacaan ulang AD/ART PMII BAB IV PASAL IV (tujuan PMII). “ Terbentuknya pribadi muslim Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, Cakap dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya, serta Komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Sebagai upaya mewujudkan cita-cita luhur tersebut semestinya para kader PMII juga harus menghayati isi dari kualitas kader PMII (1)Bertaqwa kepada Allah SWT, (2). Berbudi luhur, (3) Berilmu, (4) Cakap, (5) Bertanggung jawab mengamalkan ilmunya, dan (6) Komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Al-Ikhtisar, berangkat dari enam hal tersebutlah kemudian kita mengenal citra ulul albab.
Pembacaan PMII Hari Ini
Kita sering mendapati diri ada di tengah belantara pertanyaan, gugatan, ketidak puasan sekaligus kebingungan mengenai kaderisasi. Semuanya campur aduk tak tertata, antara pertanyaan mendasar dengan pertanyaan teknis (1), apa tujuan kaderisasi kita? (2) untuk apa kaderisasi kita? terlontar bersamaan dengan pertanyaan: (3), bagaimana metodenya? (4), Apa isi materinya? (5), Apa sajakah buku-buku referensinya? (6), Bagaimana distribusi kader nanti? (7), Siapa instruktur dan pematerinya?.
Semua itu pertanyaan faktual, dan relevan untuk diajukan. Bahwa menata pertanyaan sesuai dengan proporsinya masing-masing. Lalu mengurutkan, memahami kembali dan mengakumulasikan jawaban-jawaban sebagaimana telah diberikan.
Ketika kita (PMI) berada di tengah situasi otoritarianisme Orde Baru, PMII sepuas-puasnya mereguk khazanah intelektual dan mengambil inspirasi gerakan serta menjadi katalisator baru. Ternyata pilihan tersebut ampuh sebagai jalan mengetahui bahwa orang-orang PMII beserta organisasinya, adalah bagian dari masyarakat pinggiran bangsa ini yang secara sistematis memang dipelihara untuk tetap di pinggir. Lebih dari itu, pilihan tersebut juga ampuh untuk membangkitkan radikalisme berfikir kita, sehingga berharap kader PMII berani tampil mengisi garis depan perjuangan melawan negara sampai akhir dekade 1990.
Saat itu, tujuan PMI dan tujuan kaderisasi seolah-olah telah terumuskan dalam bentuk final, konkrit dan mewujud secara material: membela rakyat tertindas. Di tengah situasi zaman itu, struktur permukaan dari kenyataan yang dihadapi mahasiswa memang mudah menciptakan situasi psikologis yang sarat dengan heroisme.
Sementara zaman berubah dengan cepat, kampanye demokrasi dan slogan reformasi melahirkan desentralisasi; ruang kompetisipun terbuka sangat lebar, Gerakan ekstra parlementer tidak lagi menjadi domain utama gerakan mahasiswa. Kita bertemu dengan organisasi ‘kanan’ yang secara tiba-tiba mendominasi ruang opini gerakan mahasiswa. Bersamaan dengan itu kita menemukan bahwa ‘rival’ lama kita ternyata masih tetap bertahan dan masih eksis. kita merasa kehilangan sifat ‘kanan’ kita: kurang Islami, kurang menghargai simbol dan seterusnya.
Situasi tersebut persis terjadi saat inspirasi gerakan dan kosakata Marxian belum disadari sepenuhnya sebagai sumber energi-eksternal pada masanya, yakni situasi nasional dekade 1990. Dengan kalimat lain, kita masih cenderung ‘kiri’ dalam kosakata dan sedikit kiri dalam pikiran, namun kita ingin ‘kanan’ juga. Ambang antara ‘kiri’ dan ‘kanan’ inilah yang harus kita atasi.
Maka kita harus mengingat kembali tujuan dasar kaderisasi PMII, atau untuk apakah kaderisasi PMII dilakukan? Melihat kembali dan merekonstruksi tujuan ini penting, mengingat telah demikian banyak input intelektual dan pengalaman gerakan yang dipunyai PMII. Sehingga tujuan kaderisasi kita sering tak terbaca dan teringat, tergantikan dengan bahasa-bahasa lain. Intensitas pergaulan dan kompetisi kita dengan organisasi kiri dan organisasi “kanan” kerap menimbulkan sikap kecil hati di satu sisi dan terlalu merasa besar diri di sisi yang lain. Bahkan kadang-kadang muncul sikap reaksioner (baca PMII Jombang).
Mangkuk Kosong Di Arena Kongres PMII
Hendak kemana organisasi ini berlabuh ? menjadi pertanyaan reflektif sebesit sulit dibenak para pelaku dan pengamat gerakan PMII yang kebanyakan ditengah gemuruh rutinitas pesta pergantian pemimpin baru (kongres) yang mengidap problem rabun jauh.
Dewasa kini, kita sadar bahwa urusan permusyawaratan tertinggi PMII hanyalah sebatas ritual perebutan kekuasaan organisasi belaka dengan obsesi akut kemenangan yang hanya sebatas mempecundangi lawan dalam kontestasi pemilihan umum. Mirisnya, dilupakan juga tujuan teologis organisasi.
Berbicara soal tujuan organisasi idelnya bila diletakkan dalam bingkai kemenangan bersama, secarah lentera cahaya kesadaran yang akan menerangi penglihatan. Meskipun jika berbicara fakta Antropoogis-Sosiologis gelaran tersebut hanyalah praktik pemilihan ketua umum yang dijalani berdasarkan ongkos finansial dan sosial yang begitu mahal. mirisnya malah menghantarkan kepada kemengan semu dengan diskon perpecahan yang didadasi nilai primodialisme dengan bumbu ciamik fanatisme.
Meskipun bersama kita menyadari siapapun pemenangnya ialah mereka yang kedepan mampu melahirkan capaian tertentu, walaupun harus dibayar mahal dengan dinamika priodik (banyaknya kerusuhan diarena).
Bila benar tujuan PMII adalah cita-cita luhur berbangsa dan bernagara ; mencapai perikehidupan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, pastinya kita dapat mengukurnya satu persatu. Bahwa kongres semata hanya perayaan yang seharusnya melahirkan ide dan gagasan transformasi organisasi, sebaliknya aktualisai itu malah mengarah pada aneka bentuk polarisasi dan kesenjangan antar kader yang dibuat dengan tidak organik, sebabnya menjadi sebuah keniscayaan apabila mangkuk kosong di arena kongres PMII merupakan representasi krisis kepemimpinan yang ditukar dibawah meja makan.
You may like
Opini
Pengalaman Magang di Mitra Wacana Yogyakarta
Published
1 month agoon
9 December 2024By
Mitra WacanaSaya adalah mahasiswa Universitas Widya Mataram Yogyakarta yang sedang menempuh semester akhir. Kewajiban magang membuat saya harus mencari tempat untuk menghabiskan setidaknya dua bulan berkegiatan di luar kampus. Saya mahasiswa jurusan Sosiologi, saya berminat pada pekerjaan sosial dan isu gender, khususnya perempuan. Maka ketika saya menemukan akun Mitra Wacana pada platform Instagram, saya segera mengonfirmasi tentang kesempatan magang di sana. Akhirnya, saya mendapat kesempatan magang di Mitra Wacana dari tanggal 1 Oktober – 30 November 2024 bersama dua teman saya.
Kesan di hari pertama tiba di kantor Mitra Wacana adalah bingung dan tentu saja, canggung. Tetapi seperti kebanyakan LSM yang saya ketahui, suasana kantornya sangat homey. Kami memilih untuk bergabung ke divisi pendidikan dan pengorganisasian, yang setelah itu saya tahu, dikoordinatori oleh Mas Mansur. Kebingungan berlanjut sampai hari-hari berikutnya, sebab kami harus menentukan sendiri program kerja yang akan kami laksanakan. Dengan kesadaran untuk berkembang dan mencari pengalaman, kami mengajukan tiga proker untuk kegiatan kami selama dua bulan; building capacity, diskusi tematik, dan mini riset.
Kami mulai berkegiatan pada minggu kedua bulan Oktober. Suasana antara staf dan mahasiswa magang mulai mencair. Saya dan kawan-kawan mulai bisa beradaptasi serta berdiskusi tentang latar belakang dan cerita masing-masing—tak lupa juga melontarkan banyak pertanyaan tanpa henti. Magang di Mitra Wacana sangat fleksibel. Jumlah agenda kami turun lapangan selama magang hanya satu kali, yaitu ke Kulon Progo untuk edukasi pencegahan KDRT. Hal ini dikarenakan pada bulan Oktober kemarin Mitra Wacana baru saja menyelesaikan program tahunan dan sedang dalam masa evaluasi. Maka kami berkegiatan sekenanya sambil berusaha mencari apapun yang bisa dijadikan pengalaman.
Banyak ilmu yang saya dapatkan lewat proker yang kami susun. Di diskusi tematik, saya belajar mengorganisir suatu acara, yang pada saat itu bertemakan perempuan marginal, sehingga saya juga mendapat pandangan terkini mengenai isu gender dan marginalisasi perempuan. Pada kegiatan building capacity, saya mengetahui manajemen kerja NGO dan tetek-bengeknya.
Terakhir, yang menjadi pengalaman paling ‘nano-nano’ adalah pembuatan—pertama kalinya—sebuah mini riset. Pengerjaannya menuntut pikiran dan tenaga tetapi hasilnya begitu memuaskan. Kami berhasil merangkum pengetahuan serta pengalaman staf dalam riset yang berjudul “Perspektif Staf Mitra Wacana Terhadap Marginalisasi Perempuan di Desa Dampingan P3A”. Berbagai hasil dan hal-hal menyenangkan di Mitra Wacana tidak luput dari peran seluruh staf yang menciptakan lingkungan suportif dan sikap keterbukaan kepada mahasiswa magang. Magang di Mitra Wacana mendorong saya untuk berpikir lebih praktikal dan mengambil aksi mengenai isu gender yang selama ini hanya saya pahami dalam kepala.
Sekian, yang dapat saya tuliskan mengenai pengalaman ketika menjadi mahasiswa magang di Mitra Wacana. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk pembaca. Terima kasih.