web analytics
Connect with us

Berita

AUDIENSI DENGAN PJ BUPATI, MITRA WACANA FOKUS MENDORONG RAD DAN STRUKTUR GT TPPO

Published

on

Muhammad Mansur

Isu TPPO akhir ini cukup mendapatkan perhatian dari Pemerintah Daerah Kabupten Kulonprogo. Hal itu terlihat dengan diterbitkannya Peraturan Bupati No. 144 Tahun 2021 tentang Gugus Tugas TPPO. Mengingat perkembangan Kulonprogo menuju daerah aeropolis dengan hadirnya bandara internasional di Kulonprogo. Dimana dampaknya selain kemajuan ekonomi dan pembangunan, ada juga kerentanan masalah sosial seperti tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Hal ini disampaikan oleh kepala dinas sosial Drs.Yohanes Irianta M.Si dalam pembukaan acara audiensi pada jum’at, 27 Januari 2023 pukul 10.00 WIB.

“Dengan hadirnya bandara YIA, Kulonprogo menjadi wilayah aeropolis yang punya kerentanan terhadap TPPO, bahkan dari informasi yang kami dapat ada 10 titik di wilayah kita yang rentan terhadap TPPO” ungkap beliau.

Kegiatan audiensi yang diinisiasi oleh Mitra Wacana ini turut dihadiri OPD Kabupaten Kulonprogo yang menjadi anggota gugus tugas TPPO. Kegiatan yang bertempat di ruang menoreh kantor bupati ini memaparkan tentang urgensi peran Gugus tugas TPPO, dan juga persoalan dalam gugus tugas yang masih belum jelas strukturnya.

Muazim manager program Mitra Wacana untuk pencegahan TPPO di Kulonprogo memaparkan proses pendampingan yang dilakukan di Kulonprogo dan kerjasama dengan Dinsos PPA untuk advokasi kebijakan.

” Kami sudah lama menjalin kerjasama dengan Dinsos dan OPD di Kulonprogo hingga terbitnya perbub tentang gugus tugas, namun masih banyak yang mesti dilakukan terutama siapa yang kemudian diduduk dalam struktur dan rencana aksi dari gugus tugas ini” ungkapnya dalam pemaparan.

Pemaparan tentang bagaimana urgensi peran gugus tugas mendapatkan respon positif dari Pejabat Bupati Drs. Tri Saktiayana M.Si. bahwa dalam rangka melindungi warganya negara harus hadir ditengah masyarakat sebagaimana amanat tujuan kita bernegara.

“Tujuan hadirnya negara itu melindungi warga, menyejahterakan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut menjaga ketertiban dunia. Hadirnya perbub gugus tugas ini bagian dari itu semua.  Silahkankan dipercepat saja, karena landasan konstitusionalnya sudah kuat”. Tegas beliau dalam arahannya kepada OPD Kulonprogo.

Hasil audiensi ini rencananya akan ditindaklanjuti dengan workshop untuk membahas rencana aksi daerah dan memperjelas struktur dalam gugus tugas TPPO.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Berita

Mewaspadai Radikalisme Digital: Mencegah Intoleransi, Radikalisme, dan Ekstremisme di Era Media Sosial

Published

on

Jumat, 9 Mei 2025, Mitra Wacana berkolaborasi dengan Mahasiswa Magang mengadakan diskusi bersama. Diskusi ini menghadirkan teman-teman dari berbagai latar belakang keberagaman. Tema yang diangkat terasa sangat relevan dengan kondisi saat ini: Pencegahan Intoleransi, Radikalisme, dan Ekstremisme, khususnya dalam konteks digital yang kian kompleks.

Di tengah derasnya arus informasi yang membanjiri lini masa kita setiap hari, bentuk penyebaran paham radikal dan intoleran pun telah berubah wajah. Jika dahulu radikalisme menyebar lewat mimbar, buku, atau ceramah, kini ia menjelma lewat algoritma media sosial. Platform seperti TikTok, Telegram, YouTube, dan sejenisnya telah menjadi ladang subur penyebaran kebencian, prasangka, dan ide-ide ekstrem. Ironisnya, konten-konten ini sering kali dikemas dengan sangat menarik—visual yang apik, narasi yang meyakinkan, dan dibungkus dalam bahasa anak muda yang akrab—sehingga sulit dikenali sebagai ancaman sejak awal.

Kita sering kali lupa bahwa intoleransi tidak muncul begitu saja. Ia tumbuh pelan-pelan dari kegagalan kita menghargai perbedaan. Dalam kehidupan sehari-hari, bentuknya bisa beragam: penolakan pembangunan rumah ibadah, larangan atribut keagamaan di ruang publik, atau bahkan kos-kosan yang secara terang-terangan hanya menerima penghuni dari agama tertentu. Sekilas tampak sepele, tapi di baliknya tersembunyi cara pandang eksklusif yang tak memberi ruang pada keragaman.

Lebih jauh lagi, radikalisme dan ekstremisme berkembang dalam tiga tahap yaitu cara pandang, sikap, dan tindakan. Ketika seseorang merasa paling benar, mulai mudah melabeli orang lain sebagai “kafir”, dan menolak hidup berdampingan, itu adalah tanda-tanda awal dari bahaya yang lebih besar. Dalam konteks sosial, hal ini kerap diperparah oleh ketimpangan ekonomi, rasa terpinggirkan, dan sentimen bahwa identitas kelompoknya sedang diserang. Perasaan-perasaan inilah yang kerap menjadi bahan bakar bagi radikalisme, terutama ketika disulut oleh informasi yang tidak benar.

Media sosial memperburuk situasi ini. Algoritma hanya menunjukkan apa yang ingin kita lihat, memperkuat bias, mempersempit pandangan, dan menutup ruang dialog. Akibatnya, pengguna terjebak dalam echo chamber yang memperkuat keyakinan sendiri tanpa pernah mendapat perspektif lain. Ditambah lagi dengan maraknya hoaks dan ujaran kebencian, polanya menjadi semakin mengkhawatirkan.

Yang membuat situasi semakin rumit adalah jenis-jenis hoaks yang kini semakin canggih. Ada hoaks yang menyamar sebagai humor atau satire, ada pula yang mencampur informasi palsu dengan fakta, bahkan ada yang memanipulasi video agar terlihat benar. Hoaks semacam ini bukan sekadar kebohongan biasa—ia bisa menjadi pemicu konflik sosial yang besar. Kita pernah melihat dampaknya, seperti pada konflik Ambon atau insiden Tolikara. Satu informasi menyesatkan bisa berubah menjadi bara api dalam hitungan jam.

Melawan semua ini jelas tidak cukup hanya dengan seruan toleransi. Diperlukan langkah yang lebih konkret, seperti memperkuat literasi digital masyarakat, mengajarkan cara memilah informasi, serta membongkar cara berpikir eksklusif yang sering menjadi akar masalah. Kita juga perlu lebih kritis terhadap narasi-narasi publik—termasuk kebijakan pemerintah—yang mengandung bias atau diskriminasi terhadap kelompok tertentu.

Yang kita butuhkan adalah ruang-ruang inklusif yang tidak sekadar menerima keberagaman, tetapi juga merayakannya. Ruang di mana setiap orang, dari latar belakang apa pun, merasa aman dan dihargai. Ini bukan hal utopis. Ini bisa dimulai dari kebiasaan sederhana: memilih informasi yang kita baca, membagikan konten yang memperluas wawasan, dan berhenti menyebarkan kabar yang belum jelas kebenarannya.

Pada akhirnya, dunia digital memang tidak bisa kita hindari. Tapi kita masih punya kendali atas cara kita bersikap di dalamnya. Kita bisa memilih untuk curiga satu sama lain, atau memilih untuk saling belajar dan memahami. Di era ini, pilihan itu hadir dalam bentuk yang sangat sederhana—apa yang kita klik, siapa yang kita ikuti, dan konten seperti apa yang kita bagikan.

Maka, mari kita bijak dalam menyaring informasi. Karena dari situlah inklusivitas bisa tumbuh, diskriminasi bisa dicegah, dan keberagaman bisa menjadi kekuatan, bukan ancaman. Ini bukan hanya soal dunia maya—ini soal bagaimana kita membentuk masyarakat yang adil dan damai di dunia nyata.

Penulis : Oksafira

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending