Opini
Bias Jender Penanganan Kasus Prostitusi Daring Surabaya
Published
7 years agoon
By
Mitra Wacana
Oleh Arif Sugeng Widodo (Staff Divisi Pendidikan Mitra Wacana)
Beberapa hari ini, Indonesia dihebohkan oleh kasus prostitusi daring yang terjadi di Surabaya. Publik kembali terhenyak dengan berita tersebut yang menyebar luas di masyarakat; baik melalui televisi, portal berita, dan juga jejaring media daring. Polisi diberitakan telah mengamankan beberapa orang yang terdiri dari dua orang artis dan seorang laki-laki pengusaha yang diduga terlibat prostitusi online di sebuah hotel di Surabaya. Selain itu polisi juga telah mengamankan terduga mucikari yang menghubungkan antara konsumen dan pengguna jasa seksual tersebut. Berita tertangkapnya dua orang artis beserta laki-laki pengusaha tersebut ramai diperbincangkan. Hal tersebut bisa jadi karena melibatkan artis dan nilai transaksinya yang dianggap “wah”. Dalam perkembangan kasusnya, ternyata pemberitaan lebih ramai menyoroti sang artis, sedangkan mucikari dan laki-laki pengguna jasa tidak banyak yang membahasnya.
Ada tiga hal yang patut dicermati dalam kasus prostitusi daring tersebut. Pertama, berkaitan dengan identitas pihak-pihak yang diduga terlibat. Kedua, penanganan kasusnya yang mengaburkan adanya konsumen atau pengguna jasa. Inisial Identitas konsumen awalnya tidak muncul tapi setelah banyak yang mempertanyakan baru kemudian kepolisian merilis inisial konsumen tersebut. Laki-laki pengguna jasa ini hanya diperiksa beberapa jam sebelum akhirnya dibebaskan. Ketiga, tanggapan publik yang cenderung lebih banyak menghakimi artisnya dan sangatlah sedikit menelusuri dan membahas pengguna jasa tersebut. Publik lebih banyak menyoroti nilai transaksi yang dianggap terlalu mahal. Tiga hal tersebut menunjukkan dalam penanganan kasus prostitusi online ini sudut pandang patriarkhi masih cukup kuat.
Pertama, mengenai identitas artis yang beredar luas di media masa, media sosial dan juga aplikasi chatting. Pada awalnya identitas hanya menyebut inisial saja namun dalam perkembangannya menjadi sangat gamblang dengan menyebut nama artis yang bersangkutan. Sedangkan konsumen yang katanya seorang pengusaha sama sekali tidak terbahas bahkan inisialnya saja jarang muncul dalam pemberitaan. Media begitu vulgar mengungkapkan identitas artis, mereka tanpa segan-segan menyebut nama artis dengan jelas dan membuka ruang penghakiman sosial yang begitu kejam di dunia maya. Bisa jadi orang menganggap bahwa identitas yang gamblang ini akan memberikan efek jera pada para pelaku prostitusi daring. Jika dicermati, status hukum artis tersebut adalah saksi korban, sedangkan mucikari dan konsumen jika memakai Undang-undang No. 21 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) merupakan pihak yang dapat dijerat oleh hukum. Mestinya dua pihak yaitu mucikari dan konsumen lebih banyak dibahas, sedangkan identitas saksi korban tidak disebutkan secara vulgar apalagi oleh media-media mainstream yang memiliki kode etik ketat
Tentu, di zaman media daring ini informasi mudah tersebar, akan tetapi instansi, atau lembaga pemberitaan masih bisa memegang kode etik penulisan dengan hanya menyebut inisial tanpa harus secara vulgar menulis atau menyebut nama lengkap si artis walaupun secara faktual publik sudah tahu. Dalam pemberitaan yang beredar secara luas artislah sosok yang paling banyak dicerca dan dibicarakan, sedangkan mucikari dan pengguna jasa sangat minim pembahasan bahkan identitas aslinya tidak diketahui. Pemberitaan menjadi tidak berimbang, karena artis dianggap sebagai pihak yang paling bersalah. Artis yang bersangkutan bahkan melakukan permintaan maaf secara terbuka karena dirinya telah membuat gaduh. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa mucikari dan pengguna jasa tidak diperlakukan serupa? Kepolisian dalam penanganan perkara ini sungguh tidak berimbang ketika memperlakukan pihak-pihak yang terkait dengan prostitusi daring tersebut.
Kedua, dalam penangananan kasus prostitusi daring ini pihak kepolisian tampaknya menafikkan peran laki-laki pengguna jasa yang juga tertangkap basah. Perlakuan yang berbeda memberikan kesan tersebut. Laki-laki pengguna jasa bisa bebas sesukanya tanpa mendapat hukuman publik seperti yang diterima oleh sang artis. Konsumen tidak perlu menghadapi sorotan kamera dan rasa malu karena disaksikan seluruh rakyat Indonesia bahkan dunia. Keluarga si laki-laki ini tidak terimbas malu yang luar biasa karena si laki-laki ini dengan aman bebas tanpa wajahnya keliatan oleh publik. Apa yang membuat perlakuan terhadap pihak-pihak yang terkena kasus yang sama bisa berbeda? Apakah karena satu pihak merupakan artis yang terkenal maka apa yang ditangani polisi ini akan mendapatkan perhatian lebih dan mereka (polisi) mendapatkan sorotan maksimal telah menangani kasus “besar”?
Artis meminta maaf karena melakukan kekhilafan dan membuat gaduh seantero negeri di depan media. Seolah-olah, si artislah satu-satunya pihak yang paling patut dipersalahkan dan harus menanggung beban di hadapan jutaan pasangan mata. Bagaimana dengan konsumen atau laki-laki tersebut? Sangat mungkin saat ini sedang jalan-jalan, duduk santai dengan keluarganya atau bahkan mengobrolkan kasus ini dengan pasangannya serta ikut mencaci-maki si artis dan tidak ada seorangpun yang tahu bahwa dia adalah laki-laki yang tertangkap. Identitas konsumen ini hanyalah pihak kepolisian yang mengetahuinya.
Sebagaimana diberitakan oleh laman https://cnnindonesia.com pernah ramai diberitakan kasus prostitusi daring pada 2015, Bareskrim POLRI melalui kepala Subdirektorat Perjudian dan Asusila Direktorat Tindak Pidana Umum KOMBES Umar Fana menyatakan bahwa para pengguna jasa prostitusi akan dikenakan pidana jika terbukti telah menggunakan jasa tersebut, yaitu pasal 12 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang. Mungkinkah POLDA Jawa Timur lupa menjerat laki-laki pengguna jasa tersebut? Menurut hemat penulis, kepolisian sedang diuji dalam penangan kasus prostitusi daring di Surabaya ini. Beranikah polisi menjerat pengguna jasa prostitusi ini?
Ketiga, tanggapan publik yang lebih banyak membahas dan menghakimi artis. Publik cenderung memakai cara berpikir yang patriarchal atau mengunggulkan laki-laki, Bahwa dalam kasus “esek-esek” yang paling patut dipersalahkan adalah perempuan. Publik akan melihat dan menilai profil artis, selanjutnya bisa ditebak yaitu menghujat dan melakukan penghakiman. Mereka tidak menyadari jika si artis ditangkap bersama seorang laki-laki. Secara moral seharusnya si laki-laki juga diperlakukan sama; dihujat, disalahkan, dihakimi dan dikulik latar belakang kehidupannya. Akan tetapi yang muncul tentang sosok laki-laki ini hanyalah soal kemampunnya membayar tarif prostitusi daring ini. Si laki-laki tidak dipersalahkan secara moral namun dinilai salah karena melakukan transaksi dengan nilai yang dianggap terlalu mahal.
Boleh jadi, publik menganggap wajar si laki-laki pengusaha ini bermain di dunia “esek-esek”. Publik mungkin berkata “orang kaya mah bebas”. Dan laki-laki pengguna jasa prostitusipun bebas tanpa beban dan rasa malu. Dia bisa pergi bebas jalan-jalan ke mall, bioskop atau bahkan ke tempat ibadah. Laki-laki ini, mungkin masih bisa menasihati orang lain untuk tidak berbuat asusila. Dia secara sosial dan psikologis masih bisa merdeka tanpa mendapat cap laki-laki hidung belang. Berbeda dengan artis yang akan mendapatkan cap negatif yang tersimpan dalam ingatan publik sebagai pelaku prostitusi. Begitulah dunia yang patriarkhal, sesalah-salahnya laki-laki, masih bisa mendapatkan angin segar kebebasan dari cap negatif yang memenjarakan seseorang secara sosial.
Bias jender dalam menanggapi kasus prostitusi daring ini muncul karena alam bawah sadar kita masih memberikan keistimewaan kepada laki-laki, dan memposisikan pihak perempunlah yang patut dipersalahkan. Kesadaran terhadap penanganan yang mencerminkan keadilan dan kesetaraan terhadap kasus ini patut didorongkan pada pihak kepolisian. Penanganan kasus-kasus seperti ini mestinya tidak lagi mendiskreditkan perempuan dan menafikkan peran laki-laki pengguna jasanya. Pendidikan jender sepertinya harus lebih merata menyentuh dunia media daring yang kadang begitu kejam memberikan label-label negatif yang bisa ditanggung seumur hidup oleh pihak-pihak tertentu, terutama perempuan.
You may like

PAMERAN ARSIP KERTAS 2025: SETARA – MEREKAM PEREMPUAN DALAM RUANG DEMOKRASI

Mitra Wacana Mendukung Konferensi Asia, Satukan 16 Negara Menentang Perdagangan Manusia yang di Adakan oleh Talitha Kum Asia di Jakarta.

Perempuan Indonesia Merajut Solidaritas: Suara dari Akar Rumput untuk Keadilan dan Kemanusiaan
Opini
Peran Sastra Populer dalam Meningkatkan Literasi di Kalangan Remaja
Published
7 days agoon
7 November 2025By
Mitra Wacana

Penulis : Fatin Fashahah, Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas
Sastra populer sering dipandang rendah, dianggap hanya untuk hiburan, dangkal, atau terlalu komersial. Sikap seperti ini muncul dari pendapat bahwa karya populer tak setara dengan karya-karya yang biasanya dipelajari di bangku perkuliahan. Padahal, bagi banyak remaja, sastra populer justru menjadi pintu pertama untuk mulai suka membaca. Mengabaikan atau mengecilkan peran sastra populer berarti menutup kesempatan bagi generasi muda untuk jatuh cinta pada dunia tulisan.
UNESCO menyebut Indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya diangka 0,001% atau dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo) dalam laman resminya juga pernah merilis hasil Riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Fakta ini menunjukkan bahwa masih rendahnya minat membaca rekreasi di banyak kelompok usia.
Namun, ketika pembaca terutama remaja diberi kebebasan memilih bacaan yang sesuai selera dan pengalaman mereka, minat membaca bisa saja meningkat. Dengan kata lain, relevansi isi buku terhadap kehidupan pembaca muda sangat menentukan apakah mereka akan terus membaca atau tidak. Sastra populer seperti buku young adult, novel roman remaja, dan cerita fantasi ringan sering kali menawarkan tema dan tokoh yang mudah dipahami remaja karena ceritanya seringkali dihubungkan dengan kehidupan remaja, sehingga mereka lebih tertarik untuk membaca.
Selain itu, sastra populer lebih mudah diakses lewat platform digital, cerita-cerita di aplikasi dan situs bacaan daring seperti Ipusnas, google play book, wattpad, karyakarsa dll. membuat remaja menemukan teks yang mereka suka kapan saja dengan mudah. Bentuk online juga mendorong interaksi pembaca bisa memberi komentar, berdiskusi, atau bahkan menulis kembali cerita mereka sendiri. Pengalaman berinteraksi seperti ini memberi dorongan kuat untuk terus membaca dan menulis. Beberapa karya yang awalnya populer di dunia maya kemudian diterbitkan secara cetak atau diadaptasi menjadi film dan serial menunjukkan bahwa bacaan populer punya peran penting dalam membangun ekosistem budaya yang lebih luas.
Penolakan terhadap sastra populer sering kali datang dari dua alasan utama. Pertama, alasan estetika, anggapan bahwa karya populer kurang bermutu secara sastra. Kedua, alasan moral atau konten bahwa beberapa cerita mengandung nilai yang dipertanyakan. Kritik seperti ini tidak salah jika tujuannya untuk memperbaiki kualitas karya. Namun, cara menanggapinya yang kurang tepat bisa membuat minat membaca remaja menjadi surut, seharusnya kita bukan melarang atau merendahkan bacaan tersebut. Akan lebih baik jika pembaca pemula diajarkan bagaimana cara membaca yang kritis. Dengan membimbing remaja membaca secara kritis, kita membantu mereka mengenali kekuatan dan kelemahan sebuah teks, sehingga pengalaman membaca menjadi lebih bermakna.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan minat membaca remaja diantaranya. Pertama, perpustakaan sekolah dan umum perlu menata koleksi yang seimbang baik karya klasik dan akademik berdampingan dengan bacaan populer. Pendekatan ini mengakui bahwa pembaca punya selera berbeda, dan memberi ruang bagi remaja yang sedang mencari gaya baca dan minat mereka. Kedua, guru dan pustakawan harus dilatih untuk memfasilitasi diskusi yang mengaitkan tema populer dengan konsep sastra dasar. Misalnya, dari sebuah novel populer, kita bisa mengajak pembaca membahas tokoh, alur, sudut pandang, atau pesan yang tersirat yanga terdapat di dalam novel tersebut. Langkah sederhana ini bisa mengubah bacaan ringan menjadi bahan belajar yang efektif.
Ketiga, adanya kegiatan klub baca dan lomba menulis berbasis minat yang bisa menghubungkan pembaca muda dengan mentor dan teman sebaya. Suasana komunitas yang saling mendukung membuat kegiatan membaca terasa lebih menyenangkan. Selain itu, adanya lomba menulis membuat remaja merasa diberi ruang kreatif untuk mengekspresikan dirinya. Keempat, harus ada kerja sama antara sekolah dengan platform digital. Hal ini penting untuk menyediakan akses yang aman dan terkurasi. Akses digital tanpa bimbingan bisa berisiko negatif dengan memperkenalkan konten yang kurang sesuai untuk pembaca dibawah umur. Oleh karena itu, peran pendidik dan orang tua tetap penting dalam menumbuhkan minat membaca terutama pembaca anak-anak dan remaja.
Secara budaya, sikap berhati-hati atau keraguan terhadap sastra populer sering kali membuat masyarakat melewatkan cerita-cerita yang sebenarnya dekat dengan kehidupan banyak orang, khususnya para remaja dari berbagai latar belakang. Karya populer dapat menjadi ruang untuk bereksperimen dengan bahasa, identitas, dan pengalaman sehari-hari. Ketika karya semacam ini dibahas di sekolah atau komunitas, karya tersebut berpotensi memperkaya imajinasi serta cara pandang masyarakat, terutama di kalangan generasi muda. Dengan demikian, sastra populer tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga menjadi bagian dari wacana budaya yang turut membentuk cara berpikir dan berinteraksi dalam kehidupan sosial.
Kesimpulannya, alih-alih memandang sastra populer secara sebelah mata, akan lebih bermanfaat jika masyarakat mencoba melihat potensinya dalam meningkatkan minat baca dan memperkuat budaya literasi. Pendekatan yang inklusif dapat dimanfaatkan untuk menjadikan daya tarik sastra populer sebagai pintu masuk bagi pembaca pemula. Tentu saja, hal ini tetap perlu disertai dengan bimbingan dan adanya pengenalan terhadap keterampilan membaca kritis serta jenis bacaan yang lebih beragam. Dengan begitu, kebiasaan membaca tidak hanya meningkat, tetapi juga dapat mendorong perkembangan kemampuan berpikir dan berbahasa generasi muda.










