web analytics
Connect with us

Opini

4.294 Anak Menjadi Penyintas Kekerasan…

Published

on

Waktu dibaca: 4 menit

Oleh Wahyu Tanoto (Kordinator Divisi Pendidikan Mitra Wacana)

Dalam beberapa peristiwa, jika anak tidak diberi “hukuman” yang bersifat fisik akan dianggap aneh atau keluar dari kebiasaan yang telah terlanjur mengakar (untuk tidak menyebut turun menurun), di ulang secara terus-menerus dengan berbagai dalil pembenaran. 

Alasan menghukum anak dengan menggunakan cara-cara kekerasan dengan dalih memberi pelajaran atau sebagai bentuk ungkapan perasaan kasih sayang terkadang dianggap sebagai perbuatan yang lumrah atau wajar. 

Persoalan tersebut semakin menjadi rumit manakala tindakan kekerasan sudah menjadi perilaku umum dan mampu memasuki ruang-ruang publik serta dapat menembus batas status; akademik, ekonomi, privat, sosial dan budaya. Bukan hanya di Indonesia, bahkan di seluruh dunia.

Dalam kehidupan sehari-hari kita kerap membaca, mendengar atau mengetahui ada anak yang di pukul, di jambak, di tampar, di jewer, di marahi, di banding-bandingkan, di siksa atau bahkan yang paling mengerikan hingga terjadi pembunuhan. Parahnya, para pelaku tindak kekerasan ini adalah orang yang dikenal atau diketahui oleh penyintas. Artinya dalam istilah lain penulis ingin menyatakan  bahwa anak benar-benar tidak seratus persen “aman” dari segala bentuk kekerasan; baik di ranah privat, rumah tangga maupun publik (baca; sekolah, pondok pesantren, situasi khusus, dan lain-lain).

Menurut Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) atau konvensi internasional yang mengatur hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan kultural anak-anak (1989), menyebutkan bahwa kekerasan terhadap anak mencakup semua bentuk kekerasan; fisik, psikis, cedera dan pelecehan, pengabaian atau perlakuan lalai, penganiayaan atau eksploitasi, termasuk pelecehan seksual. 

Kekerasan terhadap anak tidak hanya mencakup kekerasan fisik, akan tetapi juga  termasuk kekerasan seksual, psikis, pengabaian, dan eksploitasi. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi KHA melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. 

Ratifikasi tersebut merupakan komitmen negara memberikan jaminan atas pemenuhan hak dan perlindungan seluruh anak Indonesia. Meskipun begitu, masih ada yang perlu ditingkatkan dalam konteks implementasinya, sebagai contoh misalnya tentang keberadaan kabupaten/kota layak anak yang belum merata serta pemenuhan hak dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi terutama bagi kelompok muda (remaja).

Laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat  4.294 kasus kekerasan terhadap anak dilakukan oleh keluarga dan pengasuh pada 2011-2016. Dari temuan tersebut, kasus paling banyak terjadi pada 2013, yaitu 931 kasus kekerasan pada anak. Meskipun catatan menyebutkan bahwa jumlah ini terus menurun menjadi 921 kasus di 2014, 822 kasus di 2015, dan 571 kasus di 2016 bukan berarti tidak ada lagi kekerasan terhadap anak. Masih segar dalam ingatan kita beberapa waktu lalu pemerintah menyebut jika Indonesia darurat kekerasan (kejahatan) seksual saking banyaknya anak-anak yang menjadi penyintas.

Kasus kekerasan yang terjadi di rumah dan tempat pengasuhan ini berada di urutan kedua teratas, setelah persoalan anak terlibat kasus hukum yang tercatat sebanyak 7.698 kasus. Bila dirincikan, di 2016, misalnya, sebanyak 186 anak menjadi korban perebutan Hak Kuasa Asuh. Selain itu, 312 anak dilarang bertemu dengan orangtuanya dan 124 anak menjadi korban penelantaran ekonomi. Di lingkungan yang seharusnya menjadi tempat paling aman, anak justru sangat rentan menjadi korban kekerasan.

Data yang dilansir oleh KPAI tersebut semakin diperkuat oleh temuan dari Global Report 2017: Ending Violence in Childhood menyebutkan jika 73,7 persen anak-anak Indonesia yang berumur 1-14 tahun mengalami pendisiplinan dengan kekerasan (violent discipline) atau agresi (serangan) secara psikologis dan hukuman fisik di rumah (Scholastica Gerintya. 73,7 Persen Anak Indonesia Mengalami Kekerasan di Rumahnya Sendiri. https://tirto.id). Dari jumlah angka tersebut menjadi tanda jika anak-anak merupakan kelompok rentan mengalami kekerasan.

Dalam masyarakat yang masih kental dengan tradisi patriarkhi atau menganggap laki-laki lebih memiliki kuasa, tindakan kekerasan dalam berbagai bentuk perlu direduksi secara sistematis. Oleh karenanya, setiap elemen perlu memperhatikan permasalahan ini dengan serius secara berkelanjutan. Menurut hemat penulis, setiap tindakan kekerasan biasanya akibat dari niatan ingin menguasai atau memandang pihak lain lebih lemah. 

Dalam konteks kekerasan terhadap anak dengan pelaku orang tua, sering kali ada anggapan yang diyakini kebenarannya bahwa anak adalah “properti” atau hak milik orang tua. Dalam konteks ini bukanlah informasi baru jika orangtua atau keluarga yang dekat dengan penyintas juga memiliki kecenderungan sebagai pelaku kekerasan terhadap anak.

Permasalahan lain yang semestinya kita perhatikan yaitu masih adanya hubungan timpang atau jauh dari nilai-nilai kesetaraan dan keadilan juga menjadi penyebab makin maraknya kasus-kasus kekerasan terhadap anak. Oleh karena itu menurut hemat penulis, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa kekerasan adalah CANDU, sekali saja kita melakukan tindakan kekerasan maka biasanya akan mendorong melakukan kekerasan lainnya.

Boleh jadi, ketika seseorang (baca; orang tua) beralasan sedang mendidik namun menggunakan cara-cara tindak kekerasan, sesungguhnya sebagian besar dari para pelaku kekerasan entah sadar atau tidak telah melakukan perbuatan yang melampaui batas kemanusiaan. Bagaimana mungkin agar kita terlihat berwibawa, tampak gagah, tampil tegas, dihormati atau bahkan agar dipatuhi melakukan tindak kekerasan? Justru sebaliknya yang terjadi adalah ketakutan yang dibungkus dengan ketaatan. 

Meminjam istilah Kahlil Gibran menyebut jika Anakmu Bukanlah Anakmu. Dalam bahasa lain, anak-anak “menumpang” lahir melalui orangtua, tinggal, makan dan tidur bersama orang tua, namun mereka bukanlah milik kita. Artinya, setiap anak atau bahkan setiap individu memiliki cara pandang sendiri. Sebagai orang tua kita hanya dapat menyajikan pilihan-pilihan, menawarkan sudut pandang, mengisi dengan pengetahuan-pengetahuan, namun membuat keputusan bukanlah hak mutlak orang tua. Karena, setiap individu memiliki otoritas untuk menetukan kebijakan yang terbaik bagi dirinya sendiri.

Apapun tujuan dan alasannya, dampak kekerasan terhadap anak tidak boleh dianggap sepele atau dipandang sebelah mata. Apalagi sampai memakluminya. Jika tindak kekerasan dibiarkan, menurut hemat penulis sedikitnya akan ada empat (4) area yang dapat mempengaruhi proses tumbuh kembang jika anak mengalami tindak kekerasan, yaitu; kesehatan fisik, psikis, seksual, ekonomi dan sosial. Jika kita menyadari bahwa setiap individu memiliki risiko yang sama menjadi pelaku atau penyintas maka kita juga memiliki tanggung jawab yang sama untuk bersama-sama membagikan pesan, narasi pencegahan kekerasan terhadap anak.

Lalu bagaimana caranya agar kita mampu menghindari pola kekerasan? Pertama, pola pikir, pola asuh yang memproduksi kekerasan semestinya kita tidak menerimanya sebagai tindakan yang benar dan wajar. 

Penulis berpendapat bahwa ketika ada pola pikir (pengetahuan) yang tidak di ubah dalam mendidik anak yang penuh kekerasan maka lambat laun pola ini dikhawatirkan menjadi kebiasaan yang dianggap benar, meskipun salah.  Kedua, menghindari perilaku yang memberikan label “nakal” (biasanya terhadap anak aktif), karena hal ini secara tidak langsung sedang melakukan upaya mematikan kreativitas anak. Pola sikap yang memberikan label negatif terhadap anak biasanya akan berdampak anak-anak meniru perilaku tersebut. 

Bayangkan jika anak mencontoh semua bentuk perilaku salah orang tua, maka anak-anak juga akan melakukan hal yang sama terhadap orang lain. Kita semua memahami bahwa anak-anak adalah peniru terbaik segala bentuk perilaku orangtuanya. Ketiga, tidak melakukan kekerasan dengan dalih apapun (terutama bagi orang tua); baik sebagai hukuman maupun demi kesiplinan apalagi sekedar sebagai pelampiasan atas amarah. Jika tindakan kekerasan dengan dalih pembenaran dilakukan, maka sesungguhnya kita sedang menciptakan kekerasan yang berulang. Jika hal ini yang terjadi maka diperlukan upaya lebih maksimal dalam pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap anak.

Memang, perlindungan terhadap anak merupakan tanggung jawab bersama namun dalam konteks regulasi dan implementasinya negara (baca;pemerintah) memiliki kewajiban lebih karena memiliki sumber daya yang luar biasa lengkap, terutama terkait dengan struktur kelembagaan yang telah tersedia dari pusat hingga daerah. 

 

Opini ini juga tayang di Kompasiana https://www.kompasiana.com/cupitu7grafi/5c2dce5c43322f62a714bbb2/kekerasan-terhadap-anak

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opini

Bentuk-Bentuk Kekerasan di Tempat Kerja

Published

on

Sumber: Freepik

Waktu dibaca: 2 menit

Oleh Wahyu Tanoto

Menurut studi yang dilakukan oleh Equal Employment Opportunity Commission (EEOC) pada 2016 di Amerika Serikat, sekitar 75% orang yang mengalami pelecehan di tempat kerja tidak melaporkan kejadian kepada manajer, supervisor, atau perwakilan serikat pekerja. Salah satu alasan utama adalah karena merasa takut akan keamanan kerja serta takut kehilangan sumber pendapatan mereka. Selain itu ada beberapa faktor lain, seperti:

  1. Faktor relasi kuasa. Salah satu pihak memiliki kekuatan, posisi atau jabatan yang lebih tinggi atau dominan dibandingkan korban. Misalnya, antara bos dengan karyawan.
  2. Kebijakan perlindungan pekerja masih tidak jelas. Absennya perlindungan terhadap korban dapat menyebabkan korban merasa takut untuk melapor karena khawatir pelaku akan balas dendam dan melakukan kekerasan yang lebih parah.
  3. Mekanisme penanganan kasus kekerasan seksual yang tidak tersedia. Misalnya, perusahaan belum memiliki Standard Operating Procedure (SOP) mengenai kekerasan seksual, sehingga tidak ada jalur pelaporan atau sanksi yang jelas.
  4. Budaya yang kerap menyalahkan korban, seperti: “Kamu sih ke kantor pakai baju seperti itu!” “Kamu ngapain memangnya sampai bos marah begitu?”

Namun, kemungkinan lain adalah karena banyak orang belum memahami atau tidak yakin perilaku apa saja yang melanggar batas dan dapat dikategorikan sebagai pelecehan atau kekerasan. Maka dari itu, yuk kita bahas apa saja bentuk-bentuk pelecehan dan kekerasan di tempat kerja!

Kekerasan verbal

Kekerasan verbal termasuk ucapan yang merendahkan, melakukan gerakan yang ofensif, memberikan kritik yang tidak masuk akal, memberikan cercaan atau komentar yang menyakitkan, serta melontarkan lelucon yang tidak sepantasnya. Beberapa contohnya adalah:

  • Mengirim email dengan lelucon atau gambar yang menyinggung identitas seseorang, seperti identitas gender, orientasi seksual, ras, atau agama.
  • Berulang kali meminta kencan atau ajakan seksual, baik secara langsung atau melalui pesan.
  • Membuat komentar yang menghina tentang disabilitas seseorang.
  • Mengolok-olok aksen berbicara (logat) seseorang.

Kekerasan psikologis

Perilaku berulang atau menjengkelkan yang melibatkan kata-kata, perilaku, atau tindakan yang menyakitkan, menjengkelkan, memalukan, atau menghina seseorang. Ini termasuk:

  • Mengambil pengakuan atas pekerjaan orang lain.
  • Menuntut hal-hal yang mustahil.
  • Memaksakan tenggat waktu (deadline) yang tidak masuk akal pada karyawan tertentu.
  • Secara terus-menerus menuntut karyawan untuk melakukan tugas-tugas merendahkan yang berada di luar lingkup pekerjaannya.

Kekerasan fisik

Pelecehan di tempat kerja yang melibatkan ancaman atau serangan fisik, termasuk sentuhan yang tidak diinginkan. Misalnya:

  • Menyentuh pakaian, tubuh, baju, atau rambut orang lain.
  • Melakukan penyerangan fisik. Misalnya: memukul, mencubit, atau menampar.
  • Melakukan ancaman kekerasan.
  • Merusak properti pribadi. Misalnya: mengempeskan ban kendaraan, melempar ponsel orang lain.

Kekerasan berbasis digital

Ini merupakan berbagai bentuk kekerasan atau pelecehan yang dilakukan di ranah daring (online), seperti:

  • Memposting ancaman atau komentar yang merendahkan di media sosial.
  • Membuat akun palsu dengan tujuan merundung seseorang secara online.
  • Membuat tuduhan palsu.
  • Menyebarkan foto atau rekaman orang lain yang bersifat privat atau bernuansa seksual.

Kekerasan seksual

  • Rayuan seksual yang tidak diinginkan.
  • Melakukan sentuhan yang tidak pantas atau tidak diinginkan.
  • Melontarkan lelucon bernuansa seksual.
  • Membagikan media pornografi.
  • Mengirim pesan yang bersifat seksual.
  • Pemerkosaan dan kegiatan seksual lain yang dilakukan dengan paksaan.
  • Meminta hubungan seksual sebagai imbalan atau promosi pekerjaan.

Jika kamu atau teman kerjamu mengalami salah satu atau beberapa bentuk kekerasan seperti yang disebutkan di atas dan membutuhkan bantuan lembaga layanan, kamu bisa cek website https://carilayanan.com/ atau belipotbunga.com ya. Jangan ragu untuk segera mengontak lembaga layanan, karena mereka ada untuk membantu kamu!

Sumber

 https://carilayanan.com/kekerasan-di-tempat-kerja/

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending

EnglishGermanIndonesian