web analytics
Connect with us

Opini

Anakku Mandiri

Published

on

Anakku Mandiri. Sumber gambar: https://www.slideshare.net

Oleh TM. Handayani

Bagaimana caranya mendidik anak menjadi mandiri? Berikut beberapa poin yang bisa dijadikan acuan, menurut terapis Lynn Lott dan Riki Intner dari California.

Semua anak memerlukan kesempatan untuk terlibat dalam kerja rumah tangga.
Jangan pernah menyepelekan anak hanya karna mereka terlalu kecil. Berikut beberapa pembagian tugas yang bisa dijadikan acuan, meskipun tidak ada pembatasan kaku sehingga tidak membatasi apa yang bisa dikerjakan anak.

Usia 2 – 3 tahun:
Alternatif tugasnya: membereskan dan merapikan mainan, memberi makan binatang piaraan, membersihkan tumpahan, mengembalikan sepatu pada tempatnya.
Usia 4 tahun:
Alternatif tugas: merapikan tempat tidur, menata meja, merapikan tanaman dan kebun, membantu memasukkan belanjaan ke dalam lemari.
Usia 5 tahun:
Membantu berbelanja, membuang sampah, membersihkan kamar.
Usia 6 tahun:
Menjemur pakaian, memasak menu sederhana, membereskan lemari, menyiapkan bekal makanan.
Usia 7 – 8 tahun:
Menerima telepon, mengurus sepeda, merapikan kamar, mencuci sepatu sekolah.
Usia 9 – 10 tahun:
Menyapu lantai, mencuci pakaian dan sepatu sendiri, menyapu halaman.

Hindari pembagian tugas menurut jenis kelamin

Akan lebih baik mengajari anak untuk melakukan aneka tugas yang berbeda-beda. Anak laki-laki juga bisa mencuci piring, memasak, melipat pakaian. Begitu juga anak perempuan bisa juga mencuci kendaraan atau membabat rumput. Anak-anak harus dilatih untuk menghadapi hidup dengan menghilangkan stereotip pembedan tugas perempuan dan laki-laki. Semakin banyak yang dipelajari, maka semakin mudah hidup mereka bila sudah mandiri.

Hindari mudah merasa kasihan

Bila kita merasa kasihan pada anak, dan mengerjakan tugas-tugas mereka, tanpa kita sadari, kita justru meremehkan anak karena menganggap mereka tidak mampu mengerjakan tanggung jawab mereka. Kita juga sudah tidak menghormati kesepakatan yang sudah kita sepakati dengan anak. Kita akan menjadi terbebani dan kesal. Diperlukan konsistensi terhadap keterlibatan anak, dengan aharapan anak akan berdalih dan melepas tanggung jawabnya. Misal: malas melipat selimut karena terburu-buru.

Menciptakan tradisi keluarga

Buatlah kegiatan yang menjadi tradisi dalam keluarga dimana seluruh keluarga hadir dan terlibat. Misalnya kumpul di waktu sore atau di malam Minggu, dimana anak bisa membantu menyiapkan makanan kecil dan minuman dan ayah atau ibu bisa memesan atau membuat makanan dan minumannya.

Bertanyalah kepada anak dan dengarkan pendapat mereka

Anak-anak sangat senang didengar dan ditanggapi. Coba dengar pendapat anak, baju apa yang akan dipakai untuk acara malam nanti? Atau apa pendapat anak tentang sekolahnya, teman-temannya atau yang lain.

Berikan mereka pilihan
Kamu mau pakai baju Cinderella dengan sepatunya? Atau pakai baju peri?

Bantulah anak memikirkan akibat dari tindakan mereka
Bila anak lupa menaruh sepatu pada tempatnya, maka akibat logis yang timbul adalah anak kebingungan mencari sesuatu dan akhirnya terlambat ke sekolah. Bantulah anak memahami akibat dari setiap akibat logis yang timbul dari kelalaiannya mengerjakan tugasnya.

Tolong dan Terima kasih

Gunakan bahasa tolong untuk setiap bantuan yang kita minta, dan jangan lupa ucapkan terimakasih sesudahnya. “Terima kasih ya nak, ayah atau ibu senang berkat bantuanmu, kebun menjadi lebih rapi dan cepat selesai”. Melibatkan anak-anak dalam tugas-tugas rumah tangga, berarti membantu mereka belajar bagaimana merencanakan, mengatur waktu, bekerja dalam suasana memberi dan menerima, menjadi bagian dalam tim, dan belajar dari kesalahan. Adalah realistis memandang perubahan sebagai sebuah proses dan berpusat pada kemajuan, tapi bukan pada kesempurnaan. Mulailah dengan langkah kecil dan bersyukur atas setiap kemajuan yang dicapai.

Anakku Kok Nilainya Jelek

Semua orang tua menginginkan anaknya memiliki prestasi, baik untuk menguasai sesuatu keterampilan atau berprestasi di sekolah. Namun orang tua lah yang menentukan tolok ukur prestasi dan jenis keterampilan yang baik untuk anaknya. Akibatnya banyak orang tua mengeluh karena anaknya kurang bersemangat dan gagal dalam kegiatan yang semestinya ditekuni. Sebenarnya semua anak dapat berprestasi asal orang tua mengetahui dan memberdayakan minat anak.

Pentingnya Minat

Minat atau interest merupakan sumber motivasi yang mendorong anak untuk melakukn apa yang ia inginkan bila ia bebas memilih. Minat turut menentukan keunikan pribadi masing-masing anak karena dianggap sebagai sesuatu yang dipilih anak untuk menunjukkan eksistensi dirinya. Munculnya minat melibatkan mental anak secara kognitif maupun afektif. Secara kognitif, jika kegiatan yang dilakukan anak merupakan tempat anak beljaar tentang hal-hal yang menimbulkan rasa ingin tahu. Termasuk dalam kegiatan ini adalah mempelajari bidang studi tertentu di sekolah. Secara afektif, jika kegiatan yang dilakukan memberikan pengalaman emosional yang meyenangkan.

Minat bersifat egosentris. Karena, macam minat pada setiap anak berbeda tergantung kebutuhan dan apa yang dirasa menguntungkan anak. Minat bisa muncul secara kebetulan ketika anak menemukan bahwa sesuatu begitu menarik perhatian mampu meniru dari orang sekitar yang dicintai. Dengan munculnya minat, anak terdorong melakukan apasaja yang ia inginkan. Daya dorong yang ditimbulkan oleh minat sangat kuat. Akan memberikan kepuasan dan kebahagiaan baginya jika anak dapat mengekspresikannya dalam suatu kegiatan.

Minat memainkan peran penting dalam kehidupan seseorang, terutama pada masa kanak-kanak. Minat turut menentukan bentuk aspirasi anak, dapat menjadi daya dorong yang kuat untuk mempelajari sesuatu dan menambah kegembiraan pada setiap kegiatan yang ditekuni.

Mengenali Minat Anak

Tidak mudah mengenali minat anak karena ada perbedaan antara minat sesungguhnya dengan kesenangan sementara. Oleh karena itu, orang tua harus rajin mengamati keseharian anak. Minat bisa lebih bertahan, semakin sering diekspresikan pada kegiatan, minat tersebut semakin kuat. Berbeda dengan kesenangan yang intensitasnya dapat menurun atau kemudian menjadi bosan.

Dua kesulitan yang dihadapi orang tua dalam menemukan minat anak yaitu, pertama dari diri anak sendiri yang belum menemukan minatnya. Dan yang kedua, tidak semua anak menyatakan minatnya. Untuk dapat menemukan minatnya, anak-anak harus dapat kesempatan melihat, menjelajah, bahkan terjun dalam berbagai lingkungan dan kegiatan.

Kesempatan ini tidak mungkin diperoleh apabila orang tua membatasi lingkungan dan kegiatan anak. Juga jika sejak awal orang tua turut menentukan kegiatan yang dirasa baik untuk anaknya. Sehingga waktu anak akan habis untuk mengikuti kegiatan tersebut dan kehilangan kesempatan untuk bereksplorasi. Untuk anak yang lebih kecil, perlu diamati kesehariannya misalnya, apasaja yang sering diperbincangkan, apa pilihan bukunya, apa hal-hal yang terus menerus ditanyakan, benda yang dikumpulkan anak dan sering mengajaknya berkomunikasi.

Merespon dan Mengembangkan Minat

Begitu orang tua menemukan minat anak, orang tua semestinya menghargai dan mendukungnya dengan menunjukkan persetujuan dan membantu mengekspresikan minat anak. Anak akan merasa senang jika apa yang diminatinya “direstui” orang tuanya. Ingat, bahwa dalam keadaan minat anak besar pada sesuatu, anak berada pada “siap belajar” saat inilah kesempatan emas anak untuk merih prestasi dan kebahagiaan dalam hidupnya. Tidak diharapkan apabila orang tua menilai bahwa kegiatan tertentu yang diminati anak tidak menguntungkan bahkan mendesak anaknya supaya tertarik pada kegiatan yang menurut orang tua baik dan bergengsi. Lain halnya jika minat anak menyimpang dari norma sosial, orang tua yang demokratis, melalui komunikasi menyadarkan akan dampak negati dari minatnya.

Anak yang dipaksa mengikuti kegiatan yang tidak menarik atau membosankan akan memunculkan sikap dan perilaku yang akan mengganggu penyesuaian sosial dan pribadi anak. Anak menjadi tidak serius dengan aktivitas yang tidak disukainya, cenderung kurang memperhatikan dan ujung-ujungna aktivitas itu jadi kurang maksimal karena dilakukan dengan setengah hati.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Bridging the Gap: Access to Justice for Women in Rural Indonesia

Published

on

Sumber foto: Freepik

Author: Sarah Crockett (Intern from Australia)

Article 27 of the 1945 Constitution affirmed that all citizens shall be equal before the law, underscoring a core principle of equality within the legal framework of Indonesia. This foundational concept is further reinforced through Article 28D(1); that every person shall be entitled to protection and equitable legal certainty as well as equal treatment before the law. This burdens the State to grant everyone the right to be equal before the law without any excuses. In 1984 Indonesia also ratified CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women). These laws, while well-intentioned, have frequently fallen short of their goals. Over the years, cases have shown how laws failed to facilitate the protection of women and the prevention of sexual harassment in Indonesia. A key aspect of this is the difficulty women experiencing in gaining access to justice following sexual crimes.

This issue of access to justice for women who have experienced sexual violence is heightened in rural areas. Rural regions are not only more isolated in a geographic sense, but the remoteness of location also creates a scarcity of certain assets. There are fewer resources like lawyers, education on the law and other legal aids. This can make it even more difficult to obtain legal counsel and cause confusion around whether individuals are entitled to legal assistance as well as where they can find it. Many women are unaware of their rights or what legal avenues are available to them to address instances of sexual assault. These areas also lack access to essential legal technology such as systems for digital record-keeping.

This gap can create inefficiencies in case handling, particularly in cases of sexual assault where the documentation of incidents is vital to the provision of evidence. The resulting inefficiencies stemming from outdated or ineffective record systems can lead to lost or mismanaged evidence, creating obstacles to timely and efficient legal justice and undermining the credibility of the legal system. Furthermore, a lack of adequate support systems for victims in rural areas, for example advocacy groups or mental health services, can increase feelings of isolation and helplessness resulting in reduced reporting. It is particularly vital that these issues are addressed as a significant portion of reported sexual assaults originate in rural regions. In a survey of 735 court decisions involving the sexual abuse of women 78.1% of cases were from rural region, although many cases go unreported.

Rural regions and more isolated communities tend to have even greater social stigma around female sexual assault than more urban areas. Traditional values in these areas can prioritize family honour and the reputation of the community over individual rights. An example of how this can manifest is the fact that women in rural regions who are assaulted are frequently pressured to marry their rapist to avoid social stigma by both their family and the police. In 2020 in East Nusa Tenggara a fifteen-year-old rape victim was married off by her parents to her seventy-year-old rapist. This stigma is amplified by cultural norms and patriarchal attitudes that place the burden of blame on victims. As a result, victims fear damage to their reputations or even backlash from their families.

Cultural norms may also encourage reconciliation over the pursuit of legal recourse. There is often pressure to avoid legal action to reduce the perceived shame this would bring the families of women who have experienced sexual assault. Victims may also feel that the outcomes they can expect for reporting will be unsatisfactory and therefore decline to pursue formal justice, particularly in rural areas. This stigmatization not only discourages individuals from seeking legal recourse but also affects their mental health and physical well-being. The stigma could extend to the legal process, where victims may face revictimization through insensitive questioning or biased treatment, reinforcing a culture of silence and underreporting. There is also a trend in rural areas of police lacking sensitivity training when dealing with victims of sexual assault, resulting in a bias against claimants and a culture of victim-blaming, further disincentivising victims from reporting.

In recent years, Indonesia experienced progressive development towards its laws and regulations on sexual violence. For years, the Wetboek van Stratrecht (WvS) has been the sole reference of law on sexual violence in Indonesia. In general, the Dutch-inherited criminal code is not sufficient to accommodate the fast-changing dynamics of criminal law in Indonesia. For years, Indonesia applied a very limited definition of sexual violence that often ending up causing harm to victims and restricted the effectiveness of legal enforcement. The retributive nature of Indonesia’s criminal law also puts aside the victim’s rights and interests which a massive application of restorative justice in Indonesia’s criminal law has tried to reform. Indonesia has now enacted Law Number 12 of 2022 on Sexual Violence which adopted a broader definition of sexual violence. The adoption of a broader definition of sexual violence could be seen from the inclusion of non-physical sexual harassment, marital sexual harassment, and online-based sexual violence.

Law Number 12 of 2022 also puts more focus on the victim compared to the old law as it is more perpetrator-oriented. The new law sets out a series of measures for the protection of the victim of sexual harassment such as medical and psychological guidance, restitution, rehabilitation, and also legal aid. The new law also recognises the importance of the victim’s own statements as well as digital evidence. However, despite the improvements shown by Law Number 12 of 2022, there have been a lot of obstacles in implementing the law. Law enforcement officers, especially police and prosecutors, are often poorly trained in handling sexual violence cases from a victim-centered perspective, resulting in many cases not being taken seriously or being overlooked. This also causes victims to doubt whether their cases would be taken seriously or if they would experience backlash for being the victims of sexual crimes.

The new law on sexual violence is expected to bring fresh air to the enforcement and eradication of sexual harassment in Indonesia. It is also in the spirit of applying the concept of restorative justice in Indonesia’s criminal law, while slowly leaving the long-adopted concept of retributive justice. In its formulation, the Government labelled Law Number 12 of 2022 on Sexual Violence as a more accommodating law and provides more care to the victim by introducing more definitions of sexual violence, legal aid to the victim, restitution, and a higher sanction to the perpetrator. Despite all the claims made by the Government of the Republic of Indonesia, the law is far from what seems to be the objective of the law. One of the most vital points in ensuring the success of the implementation of the law is the legal enforcer. As perfect as it is, the law will not be ideal if the enforcement is weak.

In addition, the enforcement of the law in online-based sexual violence remains ineffective. The digital infrastructure provided by the government in battling with online-based sexual violence is insufficient and cannot accommodate the fast-paced development of the internet. This can result in victims being left untreated and the existing systems for protection and prevention of online sexual violence are very minimal. Overall, further work is required in order to facilitate better access to justice for women in rural Indonesia.

 

Continue Reading

Trending