web analytics
Connect with us

Opini

Mendidik Anak; Sebuah Catatan Orangtua…

Pengasuhan yang mengutamakan rasa asih akan membuat anak mempunyai harga diri dan rasa aman sehingga anak akan tumbuh dan berkembang dengan baik.

Published

on

Mendidik anak. Sumber gambar:TemanTakita.com
A. Novi Hariani

A. Novi Hariani

 Oleh A. Novi Hariyanti (Anggota Mitra Wacana)

“Kami tidak pernah melakukan kekerasan terhadapa anak”, “di sini tidak ada kekerasan terhadap anak mbak.”

 

Cuplikan pernyataan diatas sering disampaikan oleh beberapa peserta diskusi di komunitas, ketika membicarakan pola pengasuhan anak. Dan ketika ada petemuan komunitas yang menyangkut dengan pengasuhan anak, kebanyakan peserta diskusi adalah ibu-ibu, kalaupun ada bapak-bapak jumlahya sedikit.

Seringkali orangtua merasa tidak pernah melakukan kekerasan terutama terhadap anaknya. Dalam pandangan masyarakat bahwa yang disebut dengan kekerasan adalah tindakan yang melukai fisik si anak. Orangtua sering tidak sadar bahwa, mereka sering melakukan kekerasan terutama kekerasan psikis. Misalnya “Kalau tidak mau makan akan disuntik dokter nanti”, “Kalau main terus nanti diambil orang loh…..” Ungkapan tersebut sebenarnya maksudnya untuk kebaikan, yakni agar anaknya mau makan atau tidak bermain terus tapi sayangnya disertai ancaman.

Orangtua tidak sadar apa yang dikatakan justru “membangun” anak menjadi takut terhadap sesuatu yang selalu dikatakan oleh oangtua. Sebagai contoh, anak sering ditakut-takuti kalau gak mau makan nanti sakit dan kalau sakit disuntik dokter. Ketika anak sakit akan dibawa ke dokter anak menjadi takut dengan dokter karena dokter pasti akan menyuntik dan disuntik adalah peristiwa yang menyakitkan. Atau anak menjadi tidak “PD” (percaya diri) ketika anak pergi sendiri karena ketakutan terhadap orang lain merupakan ancaman karena sewaktu-waktu dapat mengambil dirinya. Hal itu karena orangtua sering menakut-nakuti anak agar lebih menurut.

Mengapa orangtua tidak memberikan alasan kenapa anak harus melakukan sesuatu? Orangtua sering tidak mempunyai energi atau waktu ketika harus menjelaskan kepada anak, mengapa anak membutuhkan makan, mengapa seoranga anak mempunyai batas waktu main. Supaya komunikasinya cepat dan tidak memunculkan serentetan pertanyaan dari anak, orangtua akan memberi penjelasan yang kadang tidak rasional dan menakut-nakuti anak.

Tantangan Pengasuhan Anak

Pada situasi masyarakat secara umum pengasuhan anak masih dilekatkan pada perempuan (walaupun laki-laki juga sudah mulai terlibat pada pengasuhan anak) maka tak jarang yang menjadi pelaku kekerasan adalah ibu, baik kekerasan fisik maupun psikis.

Menyimak dari serial film anak yang ditanyangkan di salah satu stasiun televisi, “Upin-Ipin” ada satu kisah ketika di sekolah Cik Gu menjelaskan tentang hari ibu. Pertanyaan Cik Gu, apa kesanmu terhadap ibu? Fizi menjawab “Ibu suka memukul, suka marah marah”. Jawaban “Jarjit satu dua tiga bila ibu marah aku segera lari takut dipukul”. Ingatan anak-anak tetang ibu mereka adalah ibu yang menakutkan, ibu yang suka marah dan memukul. Ingatan mereka bukan ibu yang penuh dengan kasih, penuh perhatian. Pastilah menyedihkan bila kesan anak terhadap ibu adalah ibu yang menakutkan.

Pasti menyakitkan perasaan banyak ibu ketika mengetahui bahwa yang diingat oleh anak-anak mereka adalah ibu yang “menakutkan”. Padahal setiap orangtua akan sangat menyayangi anaknya tanpa batas, hingga ada peribahasa “Cinta anak sepanjang galah, cinta ibu sepanjang masa”.

Tantangan pengasuhan anak pada masa kini semakin meningkat, dimana pengasuhan anak lebih banyak melekat pada ibu, sedangkan kebanyakan ibu-ibu jaman sekarang dituntut untuk aktif dan dinamis. Aktivitas para ibu menjadi banyak, seain bekerja di luar rumah, para ibu juga harus bekerja di dalam rumah untuk menyelesaikan pekerjaan domestiknya masih ditambah dengan kegiatan sosial di lingkungan. Sedangkan dari sisi anak, anak juga sudah mempunyai “kesibukan”, sekolah dari pagi hingga siang ada beberapa kemudian masih ditambah dengan les-les, nonton TV berjam-jam karena tayangan TV tidak kenal waktu menyuguhkan aneka film kartun anak yang dalam penayangannya tidak kenal waktu.

Terkadang waktu menjadi hal yang mahal untuk ibu dan anak berkomunikasi. Sering yang terjadi komunikasi satu arah yaitu komuniksi peritah. Ibu meminta anak untuk segera melakukan ini dan itu, sedangkan anak melakukan komunikasi dengan merengek-rengek yang pada akhirnya ibu menjadi jengkel dan menyerahkan kepada anak untuk melakukan sesuatu yang disukainya. Komunikasi yang berkualitas akhirnya sulit untuk dibangun. Komunikasi yang berkualitas adalah komunikasi yang memberikan ruang untuk bisa saling mendengarkan dan mengungkapkan perasaan. Sekali lagi memang waktu menjadi persoalan berharga.

Pola Asuh yang Asih

Bila diamati pengasuhan masa kini memang mulai ada pergeseran, pada era tahun 80-an orang tua (ibu atau bapak) sering terlihat memukuli anaknya sampai para tetangga mengetahui bahwa si anak sedang dihajar oleh orang tuanya.
Pada tahun 2000-an yang terjadi adalah orang tua cenderung mengabulkan permintaan anak. Ada beberapa faktor yang pada akhirnya orang tua memenuhi keinginan si anak, 1) orang tua merasa mampu untuk memeberikan apa yang diinginkan anak. 2) Daripada anak menangis dan merengek-rengek terus maka orang tua mengiyakan keinginan si anak. 3) Orang tua sudah bekerja keras maka orang tua ingin memberikan apa yang diinginkan si anak.

Orang tua lebih memberikan hal-hal yang bersifat material dan kurang menyentuh yang bersifat afeksi. Afeksi adalah relasi atau interaksi yang lebih menekankan pada perasaan. Bagaimana kemampuan orang tua untuk bisa mendekatkan diri pada anak kemudian memberikan masukan pada anak tentang sesuatu. Sebagai contoh ketika anak sedang menonton film di TV orang tua juga ikut menonton kemudian bila ada hal-hal yang kurang pantas pada film tersbeut orang tua akan memeberika masukan pada anak dan mendengarkan komentar atau pertanyaan anak. Bila anak melakukan kesalahan, teguran yang disampaikan tidak perlu membentak atau menjadi marah pada anak. Bila anak diberi pengertian, anak akan mempunyai daya serap yang luar biasa dan yang terpenting adalah anak jadi mempunyai harga diri. Karena orang tua tidak pernah menyalahkan anak, anak merasa berada dekat dengan orang tuanya.

Penutup

Pengasuhan anak memang idealnya dilakukan secara seimbang oleh bapak dan ibu, bila dilakukan secara seimbang anak akan menjadi dekat dengan keduanya dana anak belajar tentang kerjasama dalam rumah. Di tengah tantangan para orang tua yang sibuk di luar rumah, orang tua tetap harus memberikan waktu yang berkualitas pada anak agar anak merasa nyaman berada di dekat orang tua mereka. Sentuhan afeksi menjadi penting untuk membangun suasana kekeluargaan yang penuh dengan kedamaian. Bahwa pengasuhan anak tidak perlu dengan menakut-nakuti anak, membentak anak atau bahkan melakukan pemukulan atau hal lain yang mengakibatkan sakit fisik.Karena hal itu akan membuat anak menjadi tidak punya harga diri. Pengasuhan yang mengutamakan rasa asih akan membuat anak mempunyai harga diri dan rasa aman sehingga anak akan tumbuh dan berkembang dengan baik.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Perempuan 24 Jam, Kisah Seorang Istri dalam The Great Indian Kitchen

Published

on

Pesta telah usai. Musik berhenti. Tawa dan ucapan selamat menguap bersama bunga-bunga yang mulai layu di atas meja. Akan tetapi ada cerita lain di tengah kemeriahan resepsi pernikahan, hidup seorang perempuan justru baru saja dimulai. Bukan dari kamar tidur atau ruang keluarga, tetapi dari dapur.

Dapur, Awal Penjara Domestik?

Dalam film The Great Indian Kitchen, pagi pertama setelah menjadi istri bukan tentang bahagianya bulan madu atau merencanakan masa depan, melainkan dihadapkan dengan rutinitas tanpa henti. Dimulai bangun tidur dilanjutkan memasak, menyuguhkan teh, mencuci piring, menyapu, mengepel, menjemur, menyiapkan peralatan ibadah, bahkan mengulurkan sikat gigi untuk mertuanya. Semua itu berulang setiap hari, tanpa jeda.

Oiya, film ini dirilis di platform Neestream pada 15 Januari 2021. Film tersebut mendapatkan pujian dan meraih sejumlah penghargaan dalam Kerala State Film Award, termasuk Film Terbaik, Skenario Terbaik untuk Jeo Baby, dan Penata Suara Terbaik untuk Tony Babu.

Sang sutradara, Jeo Baby, tidak menambahkan bumbu musik dramatis atau dialog untuk menggugah emosi penonton. Justru melalui keheningan dan repetisi itulah kita bisa merasakan. “Wah tentu hal ini bukan pekerjaan rumah. Suatu rutinitas yang menjelma menjadi penjara bagi perempuan.”

Repetisi dan Tubuh Perempuan yang Kelelahan

Saya menonton sambil gemas campur jengkel. Bukan karena ada adegan kekerasan. Tapi karena tidak ada ruang bernapas, tidak ada jeda sama sekali. Bahkan saat malam hari, ketika kondisi fisik si istri sudah sempoyongan nyaris roboh, ia tetap harus “melayani” suaminya. Tidak ada ruang untuk berkata, “Aku capek.” Bahkan tidak ada kesempatan untuk berkeluh kesah pada suami.

Lebih miris lagi ketika ada adegan istri sedang menjalani siklus biologis menstruasi, yang semestinya bisa menjadi ruang untuk sekedar menghela napas dan istirahat, justru diasingkan. Dianggap kotor dan najis. Tidak layak menyentuh dapur, tidak layak menyentuh siapa pun.

Hemat saya, setiap adegan dalam film ini terasa menyakitkan karena terlalu nyata. Terlalu akrab, terlalu dekat dengan kehidupan banyak perempuan yang saya jumpai setiap hari. Boleh jadi termasuk perempuan di rumahmu, yang kau panggil ibu atau bahkan istri.

Saya bertanya-tanya, seberapa sering kita, para laki-laki, benar-benar memahami beban domestik? Maksud saya bahwa “mengurus rumah” itu sungguh melelahkan. Karena, melipat baju bukan sekedar menumpuk kain jadi rapi. Tapi tentang mengulang-ulang rutinitas yang orang anggap remeh. Karena dapur bukan cuma tentang memproses dan menghidangkan makanan, tapi bisa jadi ruang terkecil yang mengurung “tubuh dan waktu” seorang perempuan.

Dan, ketika perempuan mulai bicara tentang ingin istirahat, ingin waktu untuk diri sendiri, atau tidak ingin hanya jadi “pelayan keluarga”, kenapa ada sebagian dari kita tersinggung? Atau merasa diserang? Padahal, mungkin saja kita belum pernah bertanya kepada istri, “Apa kamu lelah? Kamu bahagia? Atau apa kamu pengen dibantu…,?”

Guyonan “waktu 24 jam itu kurang” yang sering kita dengar dari para perempuan ternyata bukan lelucon belaka. Agaknya lebih pas jika disebut sebagai jeritan yang dibungkus tawa agar tidak dianggap mengeluh. Karena sejak kecil, perempuan diminta (didoktrin) untuk melayani. Harus tahan banting, dipaksa tetap diam meskipun remuk.

Maka ketika tiba waktunya menikah, banyak dari mereka langsung “aktif mode otomatisnya”. Bersikap lembut, menyambut suami sepulang aktivitas, nyiapin kopi, memasak, mengurus anak, menyetrika baju, menemani suami, bahkan mematikan lampu sebelum tidur. Semuanya dikerjakan seolah-olah sebagai kewajiban kodrati. Bagaimana jika nggak bisa? Rasa bersalah langsung datang tanpa diundang.

Mulai dari Berbagi Beban

Ironisnya, saat perempuan mulai memiliki kesempatan di ruang publik seperti sekolah, bekerja, aktif di komunitas, pekerjaan rumah tidak otomatis berubah menjadi tanggung jawab bersama. Mereka harus menjalani dua shift; pagi-siang di luar rumah, malam di dalam rumah. Tanpa gaji, tanpa tunjangan, bahkan tanpa ucapan terima kasih.

Bagaimana dengan laki-laki? Saat ada yang mulai terjun ke dapur untuk memasak, atau menyapu, menjemur pakaian, dan mencuci terkadang malah dianggap “kurang jantan”. Seolah pekerjaan rumah tangga seperti sebagai ancaman buat maskulinitas.

Padahal, sejujurnya kita sama-sama terjebak. Perempuan sedang memendam kelelahan sedangkan laki-laki juga dikurung oleh stereotip dominasi. Tapi anehnya, hanya perempuan yang terus diminta untuk kuat, sabar, dan tidak mengeluh.

Saya menulis ini bukan untuk menyalahkan siapa pun. Tapi mengajak setiap orang untuk bertanya pada diri sendiri, pada teman-teman laki-laki, atau siapa pun yang ingin (atau sedang) membangun rumah tangga. “Apakah kamu sudah siap untuk berbagi beban?”

Hemat penulis, cinta bukan hanya tentang kata-kata manis dan janji hidup bahagia. Namun, tentang keberanian mengambil peran kepada orang yang dicintai, dan dengan ringan mengucapkan, “Sini aku yang mengerjakan, supaya kamu bisa istirahat.”

Kesadaran Baru Bisa Dimulai dari Dapur

Perubahan tidak harus menunggu revolusi. Kadang cukup dari satu piring yang dicuci bersama. Satu sapu yang dipegang tanpa disuruh. Satu kalimat kecil yang keluar dari mulut laki-laki secara sadar, “Sudah sana kamu istirahat, biar aku yang beresin.”

Sebab mungkin, kemerdekaan pertama yang bisa dirasakan perempuan dalam rumah tangga adalah saat tubuhnya tidak lagi dianggap mesin. Saat secara sadar mendapatkan ruang untuk jadi manusia biasa, yang bisa lelah, bisa istirahat, dan boleh berkata, “Hari ini aku ingin diam saja.”

Dan buat para laki-laki, mari jujur. Mungkin yang bikin kamu ngerasa “terancam” itu bukan karena pekerjaan rumahnya, tapi karena kamu belum pernah benar-benar ikut hidup bareng, cuma numpang dilayani. Jadi, sudahkah kamu hari ini bantu cuci piring? Kalau belum, ya… Semoga kamu bukan bagian dari masalah.

Wahyu Tanoto
Pengurus Perkumpulan Mitra Wacana

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending