Opini
Mendidik Anak; Sebuah Catatan Orangtua…
Pengasuhan yang mengutamakan rasa asih akan membuat anak mempunyai harga diri dan rasa aman sehingga anak akan tumbuh dan berkembang dengan baik.
Published
6 years agoon
By
Mitra WacanaOleh A. Novi Hariyanti (Anggota Mitra Wacana)
“Kami tidak pernah melakukan kekerasan terhadapa anak”, “di sini tidak ada kekerasan terhadap anak mbak.”
Cuplikan pernyataan diatas sering disampaikan oleh beberapa peserta diskusi di komunitas, ketika membicarakan pola pengasuhan anak. Dan ketika ada petemuan komunitas yang menyangkut dengan pengasuhan anak, kebanyakan peserta diskusi adalah ibu-ibu, kalaupun ada bapak-bapak jumlahya sedikit.
Seringkali orangtua merasa tidak pernah melakukan kekerasan terutama terhadap anaknya. Dalam pandangan masyarakat bahwa yang disebut dengan kekerasan adalah tindakan yang melukai fisik si anak. Orangtua sering tidak sadar bahwa, mereka sering melakukan kekerasan terutama kekerasan psikis. Misalnya “Kalau tidak mau makan akan disuntik dokter nanti”, “Kalau main terus nanti diambil orang loh…..” Ungkapan tersebut sebenarnya maksudnya untuk kebaikan, yakni agar anaknya mau makan atau tidak bermain terus tapi sayangnya disertai ancaman.
Orangtua tidak sadar apa yang dikatakan justru “membangun” anak menjadi takut terhadap sesuatu yang selalu dikatakan oleh oangtua. Sebagai contoh, anak sering ditakut-takuti kalau gak mau makan nanti sakit dan kalau sakit disuntik dokter. Ketika anak sakit akan dibawa ke dokter anak menjadi takut dengan dokter karena dokter pasti akan menyuntik dan disuntik adalah peristiwa yang menyakitkan. Atau anak menjadi tidak “PD” (percaya diri) ketika anak pergi sendiri karena ketakutan terhadap orang lain merupakan ancaman karena sewaktu-waktu dapat mengambil dirinya. Hal itu karena orangtua sering menakut-nakuti anak agar lebih menurut.
Mengapa orangtua tidak memberikan alasan kenapa anak harus melakukan sesuatu? Orangtua sering tidak mempunyai energi atau waktu ketika harus menjelaskan kepada anak, mengapa anak membutuhkan makan, mengapa seoranga anak mempunyai batas waktu main. Supaya komunikasinya cepat dan tidak memunculkan serentetan pertanyaan dari anak, orangtua akan memberi penjelasan yang kadang tidak rasional dan menakut-nakuti anak.
Tantangan Pengasuhan Anak
Pada situasi masyarakat secara umum pengasuhan anak masih dilekatkan pada perempuan (walaupun laki-laki juga sudah mulai terlibat pada pengasuhan anak) maka tak jarang yang menjadi pelaku kekerasan adalah ibu, baik kekerasan fisik maupun psikis.
Menyimak dari serial film anak yang ditanyangkan di salah satu stasiun televisi, “Upin-Ipin” ada satu kisah ketika di sekolah Cik Gu menjelaskan tentang hari ibu. Pertanyaan Cik Gu, apa kesanmu terhadap ibu? Fizi menjawab “Ibu suka memukul, suka marah marah”. Jawaban “Jarjit satu dua tiga bila ibu marah aku segera lari takut dipukul”. Ingatan anak-anak tetang ibu mereka adalah ibu yang menakutkan, ibu yang suka marah dan memukul. Ingatan mereka bukan ibu yang penuh dengan kasih, penuh perhatian. Pastilah menyedihkan bila kesan anak terhadap ibu adalah ibu yang menakutkan.
Pasti menyakitkan perasaan banyak ibu ketika mengetahui bahwa yang diingat oleh anak-anak mereka adalah ibu yang “menakutkan”. Padahal setiap orangtua akan sangat menyayangi anaknya tanpa batas, hingga ada peribahasa “Cinta anak sepanjang galah, cinta ibu sepanjang masa”.
Tantangan pengasuhan anak pada masa kini semakin meningkat, dimana pengasuhan anak lebih banyak melekat pada ibu, sedangkan kebanyakan ibu-ibu jaman sekarang dituntut untuk aktif dan dinamis. Aktivitas para ibu menjadi banyak, seain bekerja di luar rumah, para ibu juga harus bekerja di dalam rumah untuk menyelesaikan pekerjaan domestiknya masih ditambah dengan kegiatan sosial di lingkungan. Sedangkan dari sisi anak, anak juga sudah mempunyai “kesibukan”, sekolah dari pagi hingga siang ada beberapa kemudian masih ditambah dengan les-les, nonton TV berjam-jam karena tayangan TV tidak kenal waktu menyuguhkan aneka film kartun anak yang dalam penayangannya tidak kenal waktu.
Terkadang waktu menjadi hal yang mahal untuk ibu dan anak berkomunikasi. Sering yang terjadi komunikasi satu arah yaitu komuniksi peritah. Ibu meminta anak untuk segera melakukan ini dan itu, sedangkan anak melakukan komunikasi dengan merengek-rengek yang pada akhirnya ibu menjadi jengkel dan menyerahkan kepada anak untuk melakukan sesuatu yang disukainya. Komunikasi yang berkualitas akhirnya sulit untuk dibangun. Komunikasi yang berkualitas adalah komunikasi yang memberikan ruang untuk bisa saling mendengarkan dan mengungkapkan perasaan. Sekali lagi memang waktu menjadi persoalan berharga.
Pola Asuh yang Asih
Bila diamati pengasuhan masa kini memang mulai ada pergeseran, pada era tahun 80-an orang tua (ibu atau bapak) sering terlihat memukuli anaknya sampai para tetangga mengetahui bahwa si anak sedang dihajar oleh orang tuanya.
Pada tahun 2000-an yang terjadi adalah orang tua cenderung mengabulkan permintaan anak. Ada beberapa faktor yang pada akhirnya orang tua memenuhi keinginan si anak, 1) orang tua merasa mampu untuk memeberikan apa yang diinginkan anak. 2) Daripada anak menangis dan merengek-rengek terus maka orang tua mengiyakan keinginan si anak. 3) Orang tua sudah bekerja keras maka orang tua ingin memberikan apa yang diinginkan si anak.
Orang tua lebih memberikan hal-hal yang bersifat material dan kurang menyentuh yang bersifat afeksi. Afeksi adalah relasi atau interaksi yang lebih menekankan pada perasaan. Bagaimana kemampuan orang tua untuk bisa mendekatkan diri pada anak kemudian memberikan masukan pada anak tentang sesuatu. Sebagai contoh ketika anak sedang menonton film di TV orang tua juga ikut menonton kemudian bila ada hal-hal yang kurang pantas pada film tersbeut orang tua akan memeberika masukan pada anak dan mendengarkan komentar atau pertanyaan anak. Bila anak melakukan kesalahan, teguran yang disampaikan tidak perlu membentak atau menjadi marah pada anak. Bila anak diberi pengertian, anak akan mempunyai daya serap yang luar biasa dan yang terpenting adalah anak jadi mempunyai harga diri. Karena orang tua tidak pernah menyalahkan anak, anak merasa berada dekat dengan orang tuanya.
Penutup
Pengasuhan anak memang idealnya dilakukan secara seimbang oleh bapak dan ibu, bila dilakukan secara seimbang anak akan menjadi dekat dengan keduanya dana anak belajar tentang kerjasama dalam rumah. Di tengah tantangan para orang tua yang sibuk di luar rumah, orang tua tetap harus memberikan waktu yang berkualitas pada anak agar anak merasa nyaman berada di dekat orang tua mereka. Sentuhan afeksi menjadi penting untuk membangun suasana kekeluargaan yang penuh dengan kedamaian. Bahwa pengasuhan anak tidak perlu dengan menakut-nakuti anak, membentak anak atau bahkan melakukan pemukulan atau hal lain yang mengakibatkan sakit fisik.Karena hal itu akan membuat anak menjadi tidak punya harga diri. Pengasuhan yang mengutamakan rasa asih akan membuat anak mempunyai harga diri dan rasa aman sehingga anak akan tumbuh dan berkembang dengan baik.
Opini
Dasar-Dasar Ilmu Hukum (2) : Urgensi, Pengertian dan Kaidah Hukum
Published
3 weeks agoon
12 September 2024By
Mitra WacanaDewasa ini, diera kompleksitas kehidupan umat manusia, keberadaan hukum ditengah-tengah masyarakat tentu sangat dibutuhkan. Selain sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan, kebahagiaan, dan kepastian hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, hukum juga bisa menjadi instrumen dalam mewujudkan masyarakat yang maju dan sejahtera _(tool of social engineering)_ dalam berbagai aspek, termasuk dalam aspek sosial, ekonomi, dan politik.
Secara filosofis historis, keberadaan hukum ditengah-tengah masyarakat memang tidak dapat berdiri sendiri. Artinya, hukum memiliki relasi yang erat dengan kehidupan masyarakat itu sendiri. Berkaitan dengan ini, kita mengenal adagium yang berbunyi Ubi Societas Ibi Ius (dimana ada masyarakat disitu ada hukum). Dalam kenyataannya, hukum senantiasa mengikuti perkembangan pola perilaku yang ada dalam masyarakat, begitupun sebaliknya. Menurut Drs. Sudarsono, S.H., Keterhubungan antara hukum dan masyarakat bertalian erat dengan adanya beberapa kebutuhan dasar manusia yang harus dilindungi oleh hukum. Diantaranya adalah kebutuhan fisiologis (makan-minum), kebutuhan keamanan, kerja sama, kehormatan diri, dan kebutuhan eksistensial. (Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, 1991 : hal. 46).
Lebih lanjut, Sudikno Mertokusumo dalam bukunya berjudul Mengenal Hukum Suatu Pengantar mengetengahkan bahwa sejatinya manusia adalah makhluk yang sepanjang hidupnya dibarengi oleh berbagai macam kepentingan. Dan konsekuensi logis sebagai penyandang kepentingan, manusia menginginkan agar kepentingan-kepentingannya terlindungi dari bahaya yang mengancamnya. Oleh karena itu dibutuhkan adanya hukum atau pedoman hidup yang bisa mengatur secara proporsional kehidupan masyarakat, hal ini dilakukan untuk menghindari adanya tingkah laku seorang manusia yang secara potensial maupun aktual merugikan manusia lain. (Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, 2010 : 6).
Berdasarkan urgensi yang telah diuraikan diatas, kita bisa menarik suatu konklusi dengan mengartikan hukum sebagai sekumpulan pedoman hidup yang mengatur tata tertib suatu masyarakat secara seimbang dengan tujuan melindungi kepentingan masyarakat yang ada. Berkaitan dengan hal ini, Sudikno menjelaskan bahwa hukum adalah keseluruhan kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dengan suatu sanksi bagi yang melanggarnya. Lebih lanjut, hukum menurut Jeffrey Brand adalah aturan yang disepakati secara bersama untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya. (Jeffrey Brand, Philosphy Of Law, 1976 : hal. 58).
Menurut Drs. C. Utrecht, S.H., Hukum adalah himpunan peraturan yang berisi perintah-perintah dan larangan-larangan yang mengurus tata tertib suatu masyarakat yang harus ditaati oleh masyarakat tersebut. Pengertian ini hampir sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Rosceo Pound yang mengartikan hukum sebagai keseluruhan norma-norma yang mengikat hubungan kepentingan antar manusia dalam masyarakat. Dalam kenyataannya memang, ada banyak sekali definisi hukum dari para ahli yang mewarnai perkembangan ilmu hukum, namun para ahli tersebut juga memberikan definisi yang berbeda-beda. Sehingga tidak ada satu definisi yang bisa diafirmasi secara mutlak sebagai definisi tunggal tentang hukum.
Sebagaimana yang telah di uraikan sebelumnya, bahwa untuk mewujudkan kondisi masyarakat yang tertib dan berkeadilan, dibutuhkan suatu pedoman hidup atau kaidah sosial yang disepakati secara bersama-sama sebagai patokan dalam bertingkah laku. Pada hakikatnya, kaidah sosial merupakan perumusan suatu pandangan mengenai perilaku atau sikap yang seharusnya dilakukan dan sikap yang tidak seharusnya dilakukan dalam masyarakat. (Soedjono Dirjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, 1987 : hal. 9). Dalam kehidupan masyarakat, paling tidak ditemukan empat kaidah sosial, masing-masing adalah kaidah agama, kaidah kesusilaan, kaidah kesopanan, dan kaidah hukum. Bila kaidah agama dan kaidah kesusilaan bersifat otonom (berasal dari dalam diri manusia), maka kaidah kesopanan dan kaidah hukum bersifat heteronom (berasal dari luar diri manusia).
Secara sederhana, ada dua alasan mengapa kaidah hukum masih dibutuhkan padahal sudah ada tiga kaidah sosial sebelumnya. Alasan pertama, sanksi kaidah sosial lainnya (kaidah agama, kaidah kesusilaan, dan kaidah kesopanan) dianggap kurang tegas dan kurang dirasakan secara langsung. Dimana disisi lain sanksi adalah elemen esensial dalam upaya menegakkan hukum. Atas dasar kelemahan ketiga kaidah sosial tersebut, sehingga kaidah hukum diperlukan agar kepatuhan masyarakat terhadap hukum dapat terimplementasi secara optimal. Sebagaimana adagium obedientia est legis essential (kepatuhan merupakan inti dari hukum). Alasan yang kedua adalah kaidah hukum dibutuhkan secara normatif untuk melindungi kepentingan pribadi dan masyarakat secara proporsional. (Dasar-Dasar Ilmu Hukum, 2021 : hal. 12).