Publikasi
Cerpen : Kebencian Malam

Published
4 months agoon
By
Mitra Wacana

Maryatul Kuptiah, Sekarang sedang menempuh pendidikan sebagai mahasiswa aktif jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas. Hobi menulis puisi, puisi dan cerpen.
Di penghujung tahun, detik- detik yang di hitung dengan hitungan jari di guyur hujan deras. Jalan tampak sunyi. Aspal basah di hujani, atas rahmat sang kuasa. Harusnya, saat itu semua orang berada di sebuah gubuk yang biasanya orang-orang menyebutnya ‘rumah’. Mata yang sibuk terpejam melawan kerasnya malam, selayaknya ingin merebahkan sekujur di tempat ternyaman mereka.
Malam pergantian tahun ini, sudah tanggal 1 Januari. Ada apa dengan alam yang seolah murung. Malam yang sudah gelap, jauh tampak lebih jelas tanpa sinar bulan purnama penuh sebagai penyambutan tamu baru. Air turun di mana-mana, orang-orang tak dapat di merayakannya. Tak ada asap yang mewarnai batas kota, rumah-rumah menutup rapat dari segala arah. Bersama kabut dan rintihan air hujan di sepanjang kota.
Suara gemuruh kilat membuatku menekap daun telinga, menarik selimut dan berdoa. Takut yang tak kunjung hilang, saat mendengar suara tajam dari langit itu. Mataku tertuju di jendela yang berada di sisi kiriku. Hal baiknya adalah gorden yang menjutai. Sehingga, cahaya kilat yang berakar itu tidak terlihat jelas olehku.
Satu jam berlalu, aku menunggu hujan yang tak kunjung reda. Rasa lelah sepanjang hari di tempat kerja membuat ku tertidur. Ponsel yang berada di saku pun bergetar dan membuatku terbangun.
“Nak Naini tidak pulang malam ini?” Tanya bik Arsih.
“Aku tidak bik, hujan deras. Malam ini sepertinya aku tidur di rumah sakit. Bibik tidurlah, tidak usah menungguku”. Jawabnya.
Dengan terpaksa, aku harus tidur di ruangan bersuhu nol sedikia derajat itu. Itu biasa untukku, tidak ku heran lagi. Kadag kala rasa bosan ini membuatku jengkel. Meskipun begitu, aku malas pulang kerumah. Pulang pun untuk apa, tak ada yang menunggu atau menyambutku. Di rumah itu hanya ada aku dan bik Arsih yang sudah ku anggap sebagai keluarga.
“Apa ku terobos saja hujan ini? Batinnya.
“Sepertinya, juga sudah mereda. Hanya rinai. Tapi… (melihat jam) ini sudah jam segini. Tapi kasihan bibik yang tinggal di rumah sendiri. Tak apa lah basah sedikit.” Kataku pelan.
Hari-hari mengabdi di tempat bagi orang-orang yang berharap akan manusia yang menjadi perantara Tuhan. Sesekali aku menggerutu akan apa yang aku lakukan sekarang. Padahal itu adalah keinginan ku sejak lama.
“Dulu ini yang aku mau, tapi sekarang ntah kenapa aku begitu muak. Aku lelah menghadapi hari-hari. Bahkan malam ku pun terusik.” Kataku dengan nada agak marah.
Sebelum aku berpikir, bahwa hal ini tidak akan menyangkut persoalan malam hari. Bagiku, malam begitu indah untuk di ganggu. Tapi nyatanya, aku sendiri yang merusaknya. Karena saat malam, tanpa terkecuali siapa pun pasti menantinya, utuk bisa merasakan apa saja. Anehnya, bagi beberapa orang, malam buruk bagi wanita. Selalu saja di sangkut pautkan dengan karakter manusia.
“Aku tak peduli apa yang dipikirkan orang tentangku, apa lagi mereka-mereka…”
Saat itu, malam sudah kembali. Langkahku diterangi oleh bulan sebagian purnama. Kala itu, jalan tak begitu sepi masih banyak yang lalu lalang. Gedung-gedung tinggi terlihat menyala dan berpenghuni yang megurangi sedikit ketakutanku.
“Huhh… hari ini begitu melelahkan. Sampai saja aku di rumah akan ku dorong raga ini untuk meninggalkan jiwaku sejenak.”
Memang lokasi rumah sakit tidak terlalu jauh dari rumahku. Tetap saja lelah jika harus berjalan kurang lebih 20 menit. Akhirnya, hanya beberapa langkah lagi. Tak sengaja, ia bertemu dengan seorang laki-laki tua.
“Baru pulang kah nak?.” Tanya bapak itu.
“Iya, Pak. Kebetulan rumahku di sebrang jalan itu, Pak?”
Tanpa mengetahui alas anku, bapak itu langsung saja mengatakan.
“Apa kau tidak malu nak? Bukanlah anak seorang wanita? Pulang selarut ini tidak dilihat baik oleh siapapun.” Ketus bapak itu dengan mata melotot.
“Aku menunggu hujan reda, Pak. Ketika ku lihat sudah reda, aku pulang.” Jawabku pelan.
“(menggelengkan kepala) ada baiknya besok pagi kau pulang.”
Dengan wajah tertunduk, hatiku rasanya seperti selembar kertas yang kusut setelah remas-remas. Aku tak berkata-kata apa saat itu, hanya mengangguk dan berkata iya.
“Tapi saya seorang dokter, Pak”. Jawabku sedikit membentak.
“Sungguh hal yang wajar, jika seorang dokter pulang larut malam pak. Sibuk banget merawat pasien membuat ku lupa apakah ada siang dan malam.” Balas ku sedikit keras.
“Tidak ada alasan. Bapak tak mau hanya karena kamu pulang larut malam. Kompleks lingkungan ini jadi kotor”.
Lidahku kelu, tak bekutik untuk sepatah katapun. Bola mata kuliah lirih akan ucapan bapak itu.
“Apakah aku seburuk itu?” (Tanya batinku).
Rasa lelah yang terpendam seketika melayang bersama kata per kata yang keluar dari mulut bapak itu. Aku tak ingin berpikir tentang apa-apa lagi, meskipun apa yang di katakan itu menusuk hati. Aku terus saja berjalan walau dengan wajah murung.
“Kalau di bilang sedih ketika ada orang yang meragukan karekaterku. Itu hak mereka. Tapi… apakah dokter yang pulang malam itu buruk? Hmm.. entah salah ku, atau alam yang sedang tak berpihak kepadaku.”
Saat kaki ku tepat di depan pintu, aku tak berpikir apa-apa selain tidur. Terpejam lah mata ini, tak ingin memikirkan perkataan bapak itu. Tapi masih saja terpikir olehku setiap ucapan yang dilontarkan bapak itu kepada ku beberapa menit yang lalu.
“Apa salahnya bapak itu mendengarkan penjelasan ku. Sebelum ia menuduhku yang tidak-tidak. Entah apa yang di pikirkan bapak itu. Matanya saat melihatku seolah-olah aku adalah sampah.”
Hampir sekitar 3 menit aku termenung, namun akhirnya rasa kesalku kalah dengan rasa lelahku.
****
Keesokan paginya, kebetulan aku mendapatkan jadwal shift pagi. Rasa lelah yang belum tuntas, tapi boleh buat apa. Ini adalah resiko setiap apa yang kamu lakukan mau tidak mau harus menerima dengan lapang dada. Berusaha lupa, akan kejadian malam pergantian tahun itu. Alam lagi-lagi mengajakku bercanda dengan manusia-manusia yang menganggap diri mereka adalah orang berdarah putih.
Kejadian itu tak ada ceritakan kepada siapapun. Terkecuali bapak itu dan aku untuk menjalani hari-hari seperti biasanya. Mencoba tersenyum dengan orang-orang yang harus ku berikan senyuman.
Pagi Minggu di tanggal 1 dengan tahun yang baru, cuaca tampak cerah. Tak seperti kemarin, yang tampak murung. Alam memiliki tangan yang menggandengku dengan terangnya hari ini. Ia memberiku semangat.
“Berarti kemarin itu memberikan tanda untukku, akan ketemu bapak itu”. Ucapku.
“Tapi sudahlah, itu cerita kemarin”. Lanjutnya.
“Dok, pasien ruangan mawar 2 darurat (bergegas)”.
Di antara kamar-kamar dalam lowongan rumah sakit, terpikir dibenakku kenapa aku harus memikirkan apa yang orang lain katakan. Melakukan apapun tak harus di ketahui banyak orang. Biarlah sang kuasa yang menilai bagaimana aku. Akhirnya, ku tutup cerita kemarin dengan kebaikan hari ini dan selanjutnya.
You may like
Catatan Kilas Balik Perjalanan Perkumpulan Mitra Wacana 2024
IMPLEMENTASI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN MELALUI PUSAT PEMBELAJARAN PEREMPUAN DAN ANAK (P3A) OLEH LSM MITRA WACANA DI KULON PROGO
Catatan Program Partisipasi Perempuan untuk Mencegah Ekstremisme Kekerasan Di Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta 2018
Berita
Warga Baciro dan Organisasi Lintas Iman Rancang Langkah Pencegahan Intoleransi dan Radikalisme

Published
34 minutes agoon
25 April 2025By
Mitra Wacana
Yogyakarta, 24 April 2025 – Dalam upaya memperkuat ketahanan sosial berbasis komunitas, Mitra Wacana menyelenggarakan lokalatih bertajuk “Menyusun Langkah-Langkah Pencegahan Intoleransi, Radikalisme, dan Ekstremisme (IRE)” di Aula Kelurahan Baciro, Kemantren Gondokusuman. Kegiatan ini merupakan bagian dari program “Merajut Kolaborasi Lintas Iman”, yang digagas sebagai respons atas meningkatnya potensi konflik berbasis identitas yang terjadi di tengah masyarakat.
Forum ini dihadiri 30 orang dari perwakilan pemuda, perempuan, tokoh agama, serta pemangku kepentingan dari berbagai organisasi dan latar belakang agama / kepercayaan yang berbeda. Seluruh peserta duduk bersama dalam suasana dialogis dan sebagai forum strategis untuk menyusun langkah-langkah konkret pencegahan IRE. Di tengah tantangan keberagaman dan derasnya arus informasi digital, pendekatan partisipatif berbasis komunitas menjadi kunci dalam menjaga harmoni sosial.
Highlight kegiatan ini semua peserta berproses Bersama secara kolaboratif menyusun tools deteksi dini dan mekanisme pengaduan jika terjadi indikasi IRE di tengah masyarakat. Forum ini juga menjadi ruang aman untuk berbagi pengalaman, memperkuat solidaritas sosial, serta menggali nilai-nilai lokal yang mampu meredam potensi konflik berbasis identitas.
Wiji Nurasih, perwakilan anak muda dari komunitas Gusdurian, menyampaikan pandangannya dengan penuh semangat. “Sebagai anak muda yang tergabung di komunitas dan bertugas di divisi media dan kampanye, saya dan teman-teman mengkampanyekan pesan-pesan perdamaian lintas iman dan golongan melalui media sosial kami.” Wiji juga menekankan pentingnya berpikir kritis agar tidak mudah terjebak dalam narasi kebencian yang marak di dunia digital.
Pernyataannya mencerminkan sikap aktif anak muda yang tidak hanya menghindari penyebaran ujaran kebencian, tapi juga mengambil peran sebagai penyebar pesan damai. Ia percaya bahwa perubahan bisa dimulai dari kebiasaan kecil, seperti tidak ikut-ikutan mengomentari konten negatif dan lebih selektif dalam membagikan informasi.
Sementara itu, Lutfiah dari komunitas Perempuan Ahmadiyah mengajak peserta untuk merawat sikap bijak dalam menyikapi perbedaan. “Kita perlu menyikapi dan memahami kondisi yang ada dengan bijak, tanpa memberikan respons yang berlebihan. Dengan cara ini, kita dapat membangun rasa saling percaya di antara semua pihak,” ucapnya. Menurutnya, semangat “Love for all, hatred for none” harus menjadi prinsip utama dalam membangun kehidupan sosial yang harmonis.
Dalam sesi pemaparan, perwakilan dari Densus 88 menyampaikan bahwa media sosial menjadi salah satu kanal utama penyebaran ideologi radikal. Dipaparkan bahwa lebih dari 60% simpatisan ISIS asal Indonesia diketahui terpapar konten ekstremis dari media sosial. “Media sosial menjadi pemicu munculnya banyak pelaku teror tunggal (LONEWOLF) yang terpapar secara mandiri tanpa keterlibatan jaringan langsung,” ungkap Pak Umar dari Densus 88 AT DIY. Ia menegaskan bahwa deteksi dini dan literasi digital menjadi sangat penting untuk membendung arus penyebaran ideologi kekerasan.
Dari sisi masyarakat sipil, Wahyu Tanoto dari Mitra Wacana menekankan pentingnya keterlibatan semua lapisan masyarakat dalam upaya pencegahan. “Menangani IRET bukan perkara mudah, deteksi dini saja sudah menjadi tantangan besar. Karena itu, pencegahannya tak bisa hanya mengandalkan satu pihak,” jelasnya. Ia menambahkan, peran perempuan dan nilai-nilai lokal adalah benteng utama dalam menjaga ketahanan sosial dari pengaruh ekstremisme.
Lokalatih ini tidak hanya menjadi forum refleksi, tapi juga ruang aksi. Para peserta menyusun strategi bersama yang meliputi langkah-langkah pencegahan berbasis komunitas, rancangan tools deteksi dini, serta alur pengaduan ketika muncul indikasi Intoleransi Radikalisme dan Ekstremisme (IRE). Hasil diskusi kelompok yang dipresentasikan menunjukkan betapa kuatnya semangat kolaboratif warga Baciro dalam menjaga keharmonisan sosial.
Koordinator program pencegahan IRE dari Mitra Wacana, Ruliyanto, menjelaskan urgensi kegiatan ini. “Forum ini penting untuk mengaktifkan kembali peran komunitas dalam menjaga harmoni sosial. Harapan kami, dari sini lahir langkah-langkah nyata yang bisa diimplementasikan di lingkungan masing-masing,” ujarnya. Ia menambahkan, output utama dari kegiatan ini adalah terbentuknya panduan deteksi dini IRE, mekanisme pengaduan, dan jejaring kolaboratif lintas sektor untuk merespons ancaman IRE secara cepat dan inklusif.
Dengan pendekatan berbasis komunitas, kegiatan ini menjadi cerminan bahwa perlindungan terhadap keberagaman adalah tanggung jawab bersama. Baciro hari ini memberi pesan kuat: harmoni tidak datang begitu saja, tapi dibangun dari dialog, partisipasi, dan keberanian untuk berdiri di sisi perdamaian.

Warga Baciro dan Organisasi Lintas Iman Rancang Langkah Pencegahan Intoleransi dan Radikalisme

Pembaharuan Akta Organisasi, Mitra Wacana Kunjungi Bakesbangpol Bantul Bangun Komunikasi
