Opini
Di Balik Senyum Para Pekerja Migran: Catatan dari Desa Rogojati

Published
6 months agoon
By
Mitra Wacana
Penulis : Ruliyanto
Selama lima hari penuh, saya berproses bersama dengan anak anak muda dari latar belakang yang berbeda-beda dan peduli dengan isu pekerja migran. Ada 15 peserta yang mengikuti Workshop dengan tema undersatanding the plight of the migrant worker and its impact on thir families yang selenggarakan pada 31 agustus – 5 september 2024 di salatiga dan wonosobo. Workshop yang diselenggarakan oleh ICF dan YMCI Indonesia membuka mata saya akan realitas yang jauh lebih kompleks dari sekadar angka statistik. Ketika seseorang memutuskan untuk bekerja di luar negeri maka banyak risiko yang menghadang mereka mulai dari pra keberangkatan, saat bekerja di luar negeri dan sampai dengan kepulangan ke negara asal.
Iming-Iming gaji besar dan sukses selalu digaungkan oleh calo atau perusahaan dalam menjerat korbannya. Kekerasan yang sering dialami oleh pekerja migran yang dilakukan oleh majikannya, Tidak ada jaminan bahwa ketika sesampainya di negara tujuan pekerja migran pasti akan sukses. Mereka memikul beban yang begitu berat mulai dari mewujudkan harapan dari keluarga yang ditinggalkan sampai bagaimana mereka harus bertahan bekerja di negeri orang dengan segala risikonya.
Salatiga, kota kecil di Jawa Tengah, menjadi titik awal perjalanan saya. Pihak penyelenggara memberikan kebebasan setiap anggotanya untuk ikut berperan mengelola workshop ini. setiap anggota bisa memilih perannya di setiap sesi mulai dari menjadi pembawa acara, moderator, sampai dengan memberikan review dari apa yang telah dilakukan selama seharian. Praktik baik ini menjadikan peserta merasa memiliki untuk mensukseskan kegiatan ini. Dalam serangkaian diskusi penyelenggara juga menghadirkan narasumber yang memiliki kepakaran di isu migran ini. Di sini, seluruh peserta menggali lebih dalam tentang sejarah migrasi di Indonesia, tantangan yang dihadapi para pekerja migran, hingga isu-isu HAM yang seringkali terabaikan. Salah satu sesi yang paling menarik adalah ketika kami mencoba mengaitkan isu migrasi dengan perspektif lintas agama. Diskusi ini membuka wawasan saya tentang bagaimana nilai-nilai keagamaan dapat menjadi kekuatan sekaligus tantangan dalam konteks migrasi. Ada banyak ayat ayat dari lintas agama yang menyebutkan tentang migrasi dan masih konteks sampai saat ini. apalagi jika dikaitkan dengan berbagai kejadian saat ini yang mengharuskan orang – orang bermigrasi demi keselamatan akibat konflik berkepanjangan.
Puncak dari workshop ini adalah kunjungan ke Desa Rogojati, Kecamata Sukohargjo Kabupaten Wonosobo. Di desa yang asri ini, kami bertemu dengan komunitas Desbumi Bumi Sejati, sebuah kelompok yang beranggotakan mantan pekerja migran dan keluarga pekerja migran yang masih di luar negeri. Mereka telah berhasil membangun berbagai program pemberdayaan, mulai dari produksi kerajinan hingga advokasi kebijakan.
Dalam kesempatan ini Saya ingin mengacapture pengalaman saat berdialog dengan anggota desbumi, pendamping desbumi dan pemerintah desa yang selalu mensuppor desbumi agar mendapatkan gambaran yang lebih koprehensif.
Saat berbincang dengan para anggota Desbumi, saya mendengar banyak sekali cerita yang mereka bagikan. Ada yang bercerita tentang kekerasan yang mereka dapatkan dari sang majika, ada pula yang berbagi kisah haru tentang solidaritas antar sesama pekerja migran. Namun yang paling membekas adalah perubahan perspektif yang mereka alami. Sebelum berangkat ke luar negeri, banyak di antara mereka yang memiliki prasangka terhadap pemeluk agama lain. Namun, pengalaman bekerja di negara asing telah membuka mata mereka tentang keragaman dan toleransi.
“Dulu, saya pikir semua orang Kristen itu jahat,” ujar salah seorang anggota Desbumi. “Tapi setelah tinggal bersama keluarga majikan saya yang beragama Kristen, saya sadar bahwa itu tidak benar. Mereka sangat baik dan perhatian kepada saya.”
Kisah-kisah seperti inilah yang membuat saya semakin tergerak untuk terlibat dalam isu pekerja migran. Mereka bukan sekadar angka statistik, melainkan individu-individu yang memiliki mimpi dan harapan. Mereka telah berjuang keras untuk keluarga mereka, namun seringkali harus menghadapi berbagai tantangan dan risiko.
Disela sela istirahat saya sempat ngobrol dengan pendamping dari kelompok Desbumi ini. Sartini atau tini panggilan akrabnya, kami berbincang seputar advokasi yang telah dilakukanya. dia bercerita bahwa dia mengadvokasi tidak hanya di wilayah rogojati saja tetapi seluruh wilayah di kabupaten wonosobo. Apabila ada kasus maka dia akan mengkoordinasikan terlebih dahulu dengan pihak keluarga korban, pemerintah desa sampai dengan stakholder terkait.
Saat berbincang dengan Etti Subiyaarti selaku kepala desa rogojati kecamatan sukoharjo kabupaten wonosobo. Dia bercerita bahwa desa menjadi ujung tombak dalam upaya pelindunga pekerja migran indoesia. Saat ini Desa Rogojati menyandang sebagai desa desmigratif dari Kementrian Ketenagakerjaan Republik Indonesia. Desmigratif merupakan program yang dirancang di Desa asal Pekerja Migran Indonesia untuk meningkatkan pelayanan dan pelindungan bagi Calon Pekerja Migran Indonesia yang akan bekerja ke luar negeri, meningkatkan kemandirian ekonomi dan kesejahteraan bagi keluarga Pekerja Migran Indonesia dan Pekerja Migran Indonesia Purna.
Pemeritah desa rogojati selalu memberikan edukasi, dukungan sosial, dan peluang ekonomi, mereka membantu para pekerja migran dan mantan pekerja migran untuk bangkit dan membangun masa depan yang lebih baik tanpa membeda – bedakan agama yang diyakininya.
Dia sesi akhir ini saya ingin menyampaikan bahwa isu migran ini merupakan isu bersama yang harus diperjuangkan. Pekerja Migran Indonesia di satu sisi mereka digaungkan sebagai pahlawan devisa karena mampu menyumbang 10% APBN negara kita, tetapi mirisnya hak hak atas pelindungan yang diberikan kepada mereka masih jauh dari kata pantas. Perlu perhatian yang serius dari negara dalam upaya memerdekakan Pekerja Migran Indonesia dari ketidakadilan. Migrasi adalah hak setiap warga negara, kita tidak bisa mencegah mereka untuk bermigrasi apalagi karena alasan mereka tidak mampu lagi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di negeri sendiri. Saya percaya bahwa setiap individu berhak atas kehidupan yang layak. Para pekerja migran, dengan segala perjuangan dan pengorbanannya, telah membuktikan bahwa mereka adalah manusia yang tangguh dan bermartabat. Mari kita bersama-sama membangun Indonesia yang lebih adil dan bermartabat bagi semua warga negaranya, termasuk para pekerja migran. Semoga kisah-kisah mereka menjadi inspirasi bagi kita semua untuk terus berjuang mewujudkan dunia yang lebih baik.
Opini
Bridging the Gap: Access to Justice for Women in Rural Indonesia

Published
4 days agoon
21 April 2025By
Mitra Wacana
Author: Sarah Crockett (Intern from Australia)
Article 27 of the 1945 Constitution affirmed that all citizens shall be equal before the law, underscoring a core principle of equality within the legal framework of Indonesia. This foundational concept is further reinforced through Article 28D(1); that every person shall be entitled to protection and equitable legal certainty as well as equal treatment before the law. This burdens the State to grant everyone the right to be equal before the law without any excuses. In 1984 Indonesia also ratified CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women). These laws, while well-intentioned, have frequently fallen short of their goals. Over the years, cases have shown how laws failed to facilitate the protection of women and the prevention of sexual harassment in Indonesia. A key aspect of this is the difficulty women experiencing in gaining access to justice following sexual crimes.
This issue of access to justice for women who have experienced sexual violence is heightened in rural areas. Rural regions are not only more isolated in a geographic sense, but the remoteness of location also creates a scarcity of certain assets. There are fewer resources like lawyers, education on the law and other legal aids. This can make it even more difficult to obtain legal counsel and cause confusion around whether individuals are entitled to legal assistance as well as where they can find it. Many women are unaware of their rights or what legal avenues are available to them to address instances of sexual assault. These areas also lack access to essential legal technology such as systems for digital record-keeping.
This gap can create inefficiencies in case handling, particularly in cases of sexual assault where the documentation of incidents is vital to the provision of evidence. The resulting inefficiencies stemming from outdated or ineffective record systems can lead to lost or mismanaged evidence, creating obstacles to timely and efficient legal justice and undermining the credibility of the legal system. Furthermore, a lack of adequate support systems for victims in rural areas, for example advocacy groups or mental health services, can increase feelings of isolation and helplessness resulting in reduced reporting. It is particularly vital that these issues are addressed as a significant portion of reported sexual assaults originate in rural regions. In a survey of 735 court decisions involving the sexual abuse of women 78.1% of cases were from rural region, although many cases go unreported.
Rural regions and more isolated communities tend to have even greater social stigma around female sexual assault than more urban areas. Traditional values in these areas can prioritize family honour and the reputation of the community over individual rights. An example of how this can manifest is the fact that women in rural regions who are assaulted are frequently pressured to marry their rapist to avoid social stigma by both their family and the police. In 2020 in East Nusa Tenggara a fifteen-year-old rape victim was married off by her parents to her seventy-year-old rapist. This stigma is amplified by cultural norms and patriarchal attitudes that place the burden of blame on victims. As a result, victims fear damage to their reputations or even backlash from their families.
Cultural norms may also encourage reconciliation over the pursuit of legal recourse. There is often pressure to avoid legal action to reduce the perceived shame this would bring the families of women who have experienced sexual assault. Victims may also feel that the outcomes they can expect for reporting will be unsatisfactory and therefore decline to pursue formal justice, particularly in rural areas. This stigmatization not only discourages individuals from seeking legal recourse but also affects their mental health and physical well-being. The stigma could extend to the legal process, where victims may face revictimization through insensitive questioning or biased treatment, reinforcing a culture of silence and underreporting. There is also a trend in rural areas of police lacking sensitivity training when dealing with victims of sexual assault, resulting in a bias against claimants and a culture of victim-blaming, further disincentivising victims from reporting.
In recent years, Indonesia experienced progressive development towards its laws and regulations on sexual violence. For years, the Wetboek van Stratrecht (WvS) has been the sole reference of law on sexual violence in Indonesia. In general, the Dutch-inherited criminal code is not sufficient to accommodate the fast-changing dynamics of criminal law in Indonesia. For years, Indonesia applied a very limited definition of sexual violence that often ending up causing harm to victims and restricted the effectiveness of legal enforcement. The retributive nature of Indonesia’s criminal law also puts aside the victim’s rights and interests which a massive application of restorative justice in Indonesia’s criminal law has tried to reform. Indonesia has now enacted Law Number 12 of 2022 on Sexual Violence which adopted a broader definition of sexual violence. The adoption of a broader definition of sexual violence could be seen from the inclusion of non-physical sexual harassment, marital sexual harassment, and online-based sexual violence.
Law Number 12 of 2022 also puts more focus on the victim compared to the old law as it is more perpetrator-oriented. The new law sets out a series of measures for the protection of the victim of sexual harassment such as medical and psychological guidance, restitution, rehabilitation, and also legal aid. The new law also recognises the importance of the victim’s own statements as well as digital evidence. However, despite the improvements shown by Law Number 12 of 2022, there have been a lot of obstacles in implementing the law. Law enforcement officers, especially police and prosecutors, are often poorly trained in handling sexual violence cases from a victim-centered perspective, resulting in many cases not being taken seriously or being overlooked. This also causes victims to doubt whether their cases would be taken seriously or if they would experience backlash for being the victims of sexual crimes.
The new law on sexual violence is expected to bring fresh air to the enforcement and eradication of sexual harassment in Indonesia. It is also in the spirit of applying the concept of restorative justice in Indonesia’s criminal law, while slowly leaving the long-adopted concept of retributive justice. In its formulation, the Government labelled Law Number 12 of 2022 on Sexual Violence as a more accommodating law and provides more care to the victim by introducing more definitions of sexual violence, legal aid to the victim, restitution, and a higher sanction to the perpetrator. Despite all the claims made by the Government of the Republic of Indonesia, the law is far from what seems to be the objective of the law. One of the most vital points in ensuring the success of the implementation of the law is the legal enforcer. As perfect as it is, the law will not be ideal if the enforcement is weak.
In addition, the enforcement of the law in online-based sexual violence remains ineffective. The digital infrastructure provided by the government in battling with online-based sexual violence is insufficient and cannot accommodate the fast-paced development of the internet. This can result in victims being left untreated and the existing systems for protection and prevention of online sexual violence are very minimal. Overall, further work is required in order to facilitate better access to justice for women in rural Indonesia.

Warga Baciro dan Organisasi Lintas Iman Rancang Langkah Pencegahan Intoleransi dan Radikalisme

Pembaharuan Akta Organisasi, Mitra Wacana Kunjungi Bakesbangpol Bantul Bangun Komunikasi
