Opini
Diskursus Ketidakadilan Gender
Published
7 years agoon
By
Mitra Wacana
Oleh Dwi Amanah Rahmawati Mahardhika (Mahasiswi Magang UNY)
Dari tahun ke tahun, menurut pendapat penulis bahwa ketidakadilan gender semakin marak terjadi di kalangan masyarakat. Perbedaan gender sebenarnya tidak akan menjadi masalah apabila tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan baik bagi kaum laki-laki dan terutama kaum perempuan. Gender pada umumnya merupakan sebuah serangkaian karakteristik yang terikat kepada dan membedakan maskulinitas dan feminitas. Karakteristik tersebut dapat mencakup jenis kelamin, hal yang ditentukan berdasarkan jenis kelamin, atau identitas gender. Perbedaan-perbedaan biologis atas jenis kelamin (sex) sering kali dialihkan menjadi perbedaan-perbedaan sosial atas golongan kelamin.
Rata-rata ketidakadilan gender sering dialami oleh kaum perempuan, mengingat asumsi dari masyarakat sendiri bahwa kodrat perempuan; sebagai contoh memasak. Coba kita sadari, bahwa tidak seharusnya seorang perempuan memasak didapur. Bahkan pekerjaan memasak pun dapat dilakukan oleh kaum laki – laki. Hal ini dapat disimpulkan, seorang laki – laki pun bisa memasak di rumah tanpa harus perempuan yang memasak, begitu pula sebaliknya. Sebagai contoh lain, laki- laki bisa mencari nafkah dan mendidik anak dirumah. Begitu pula dengan perempuan, dia bisa bekerja diluar juga mendidik anak dirumah.
Gender tercipta untuk melengkapi tugas dari kaum laki- laki dan perempuan yang tidak bisa diselesaikan sendiri. Akan tetapi, kebanyakan masyarakat mengatakan bahwa kodrat seorang perempuan hanya mengurusi urusan rumah tangga, seperti memasak dan mengurus anak dirumah. Kodrat dan gender sangatlah berbeda. Kodrat merupakan sesuatu ketentuan yang tidak bisa ditukar maupun dirubah. Disinilah gender berfungsi, ketika seorang perempuan tidak bisa memenuhi peran-peran di ranah rumah tangga, laki- laki-pun bisa mengambil peran tersebut untuk menyelesaikannya. Sayangnya, Masih banyak masyarakat yang tidak memiliki pemahaman tersebut, sehingga menghambat perempuan dalam berkarir dan lebih terfokus hanya pada pekerjaan rumah tangga saja.
Berikut beberapa ketidakadilan gender yang sering dialami perempuan di kalangan masyarakat:
a) Marginalisasi
Marginalisasi adalah usaha membatasi atau pembatasan. Proses marginalisasi banyak sekali terjadi dalam masyarakat dan negara yang menimpa kaum laki-laki dan perempuan. Namun salah satu bentuk marginalisasi yang dialami oleh perempuan disebabkan oleh gender yang terjadi dalam masyarakat. Marginalisasi terhadap perempuan bias berasal dari kebijakan pemerintah, tafsiran agama, keyakinan, tradisi, dan kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan. Marginalisasi terhadap kaum perempuan juga terjadi dalam rumah tangga, masyarakat atau kultur, dan negara. Marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi sejak di rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga yang laki-laki dan perempuan. Marginalisasi juga diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir keagamaan.
b) Subordinasi
Pandangan terhadap gender ternyata bisa menimbulkan subordinasi terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu irasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil sebagai pemimpin, mengakibatkan munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting atau di bawah. Mereka cenderung kurang mengeksplore kemampuan yang mereka miliki.
c) Stereotip
Secara umum stereotip adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu golongan tertentu. Stereotip itu selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Salah satu jenis stereotip adalah stereotip yang bersumber dari pandangan gender. Banyak sekali ketidak adilan terhadap jenis kelamin tertentu terutama perempuan yang bersumber dari penandaan (stereotip) yang dilekatkan kepada mereka. Misalnya, penandaan yang berawal dari asumsi bahwa perempuan bersolek adalah untuk memancing perhatian lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan stereotip ini.
Berdasarkan konsep gender, maka perempuan sering distereotipkan memiliki sifat lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat yang dapat dipertukarkan, ada anak laki – laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, ada juga perempuan yang kuat, rasional, perkasa. Jadi dapat disimpulkan, bahwa stereotip tidak hanya bersifat negatif, namun juga dapat bersifat positif, misalnya stereotip yang bersifat positif adalah perempuan distereotipkan sebagai seorang yang rajin. Sebaliknya stereotip perempuan yang bersifat negatif, misalnya perempuan distereotipkan sebagai orang yang lemah. Dalam kaitannya dengan ketidakadilan gender, stereotip yang dibahas dalam tulisan ini adalah stereotip yang bersifat negatif.
d) Kekerasan
Kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun salah satu kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh anggapan gender.
Wujud kekerasan pada perempuan bisa berupa fisik, psikis, baik verbal maupun non verbal. Kekerasan fisik, seperti kebijaksanaan pemerintah dalam program keluarga berencana, mendahulukan perempuan menggunakan alat kontrasepsi yang belum mereka ketahui akibatnya. Perkosaan dan pembunuhan perempuan dalam masyarakat yang terjadi dalam rumah tangga, ketika suami memaksa dengan kekerasan fisik kepada istrinya untuk melayani kebutuhan seksualnya, contoh lainnya misalkan tindakan penggerayangan (yang tidak diharapkan) pelecehan dengan kekerasan fisik terhadap perempuan, pemenjaraan anak perempuan dalam keluarga, penganiayaan anak perempuan, dan pemukulan istri oleh suami. Berbagai bentuk kekerasan psikis seperti pelecehan, senda gurau jorok yang melecehkan perempuan, permintaan hubungan seks di tempat umum, serta ancaman seks lainnya.
e) Beban kerja
Anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Konsekuensinya, banyak kaum perempuan yang harus bekerja keras dan lama untuk membersihkan rumah, mengepel lantai, mencuci baju, memasak hingga memelihara anak dan mempersiapkan segala keperluan suami atau laki-laki di rumah. Apalagi di kalangan keluarga miskin, dimana perempuan biasanya harus bekerja untuk menafkahi keluarga. Tentunya beban ganda harus ditanggung oleh perempuan sendiri. Sementara laki-laki lebih sesuai bekerja di luar rumah, dalam arti mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan perempuan dan keluarganya.
You may like
Opini
Peran Sastra Populer dalam Meningkatkan Literasi di Kalangan Remaja
Published
6 days agoon
7 November 2025By
Mitra Wacana

Penulis : Fatin Fashahah, Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas
Sastra populer sering dipandang rendah, dianggap hanya untuk hiburan, dangkal, atau terlalu komersial. Sikap seperti ini muncul dari pendapat bahwa karya populer tak setara dengan karya-karya yang biasanya dipelajari di bangku perkuliahan. Padahal, bagi banyak remaja, sastra populer justru menjadi pintu pertama untuk mulai suka membaca. Mengabaikan atau mengecilkan peran sastra populer berarti menutup kesempatan bagi generasi muda untuk jatuh cinta pada dunia tulisan.
UNESCO menyebut Indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya diangka 0,001% atau dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo) dalam laman resminya juga pernah merilis hasil Riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Fakta ini menunjukkan bahwa masih rendahnya minat membaca rekreasi di banyak kelompok usia.
Namun, ketika pembaca terutama remaja diberi kebebasan memilih bacaan yang sesuai selera dan pengalaman mereka, minat membaca bisa saja meningkat. Dengan kata lain, relevansi isi buku terhadap kehidupan pembaca muda sangat menentukan apakah mereka akan terus membaca atau tidak. Sastra populer seperti buku young adult, novel roman remaja, dan cerita fantasi ringan sering kali menawarkan tema dan tokoh yang mudah dipahami remaja karena ceritanya seringkali dihubungkan dengan kehidupan remaja, sehingga mereka lebih tertarik untuk membaca.
Selain itu, sastra populer lebih mudah diakses lewat platform digital, cerita-cerita di aplikasi dan situs bacaan daring seperti Ipusnas, google play book, wattpad, karyakarsa dll. membuat remaja menemukan teks yang mereka suka kapan saja dengan mudah. Bentuk online juga mendorong interaksi pembaca bisa memberi komentar, berdiskusi, atau bahkan menulis kembali cerita mereka sendiri. Pengalaman berinteraksi seperti ini memberi dorongan kuat untuk terus membaca dan menulis. Beberapa karya yang awalnya populer di dunia maya kemudian diterbitkan secara cetak atau diadaptasi menjadi film dan serial menunjukkan bahwa bacaan populer punya peran penting dalam membangun ekosistem budaya yang lebih luas.
Penolakan terhadap sastra populer sering kali datang dari dua alasan utama. Pertama, alasan estetika, anggapan bahwa karya populer kurang bermutu secara sastra. Kedua, alasan moral atau konten bahwa beberapa cerita mengandung nilai yang dipertanyakan. Kritik seperti ini tidak salah jika tujuannya untuk memperbaiki kualitas karya. Namun, cara menanggapinya yang kurang tepat bisa membuat minat membaca remaja menjadi surut, seharusnya kita bukan melarang atau merendahkan bacaan tersebut. Akan lebih baik jika pembaca pemula diajarkan bagaimana cara membaca yang kritis. Dengan membimbing remaja membaca secara kritis, kita membantu mereka mengenali kekuatan dan kelemahan sebuah teks, sehingga pengalaman membaca menjadi lebih bermakna.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan minat membaca remaja diantaranya. Pertama, perpustakaan sekolah dan umum perlu menata koleksi yang seimbang baik karya klasik dan akademik berdampingan dengan bacaan populer. Pendekatan ini mengakui bahwa pembaca punya selera berbeda, dan memberi ruang bagi remaja yang sedang mencari gaya baca dan minat mereka. Kedua, guru dan pustakawan harus dilatih untuk memfasilitasi diskusi yang mengaitkan tema populer dengan konsep sastra dasar. Misalnya, dari sebuah novel populer, kita bisa mengajak pembaca membahas tokoh, alur, sudut pandang, atau pesan yang tersirat yanga terdapat di dalam novel tersebut. Langkah sederhana ini bisa mengubah bacaan ringan menjadi bahan belajar yang efektif.
Ketiga, adanya kegiatan klub baca dan lomba menulis berbasis minat yang bisa menghubungkan pembaca muda dengan mentor dan teman sebaya. Suasana komunitas yang saling mendukung membuat kegiatan membaca terasa lebih menyenangkan. Selain itu, adanya lomba menulis membuat remaja merasa diberi ruang kreatif untuk mengekspresikan dirinya. Keempat, harus ada kerja sama antara sekolah dengan platform digital. Hal ini penting untuk menyediakan akses yang aman dan terkurasi. Akses digital tanpa bimbingan bisa berisiko negatif dengan memperkenalkan konten yang kurang sesuai untuk pembaca dibawah umur. Oleh karena itu, peran pendidik dan orang tua tetap penting dalam menumbuhkan minat membaca terutama pembaca anak-anak dan remaja.
Secara budaya, sikap berhati-hati atau keraguan terhadap sastra populer sering kali membuat masyarakat melewatkan cerita-cerita yang sebenarnya dekat dengan kehidupan banyak orang, khususnya para remaja dari berbagai latar belakang. Karya populer dapat menjadi ruang untuk bereksperimen dengan bahasa, identitas, dan pengalaman sehari-hari. Ketika karya semacam ini dibahas di sekolah atau komunitas, karya tersebut berpotensi memperkaya imajinasi serta cara pandang masyarakat, terutama di kalangan generasi muda. Dengan demikian, sastra populer tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga menjadi bagian dari wacana budaya yang turut membentuk cara berpikir dan berinteraksi dalam kehidupan sosial.
Kesimpulannya, alih-alih memandang sastra populer secara sebelah mata, akan lebih bermanfaat jika masyarakat mencoba melihat potensinya dalam meningkatkan minat baca dan memperkuat budaya literasi. Pendekatan yang inklusif dapat dimanfaatkan untuk menjadikan daya tarik sastra populer sebagai pintu masuk bagi pembaca pemula. Tentu saja, hal ini tetap perlu disertai dengan bimbingan dan adanya pengenalan terhadap keterampilan membaca kritis serta jenis bacaan yang lebih beragam. Dengan begitu, kebiasaan membaca tidak hanya meningkat, tetapi juga dapat mendorong perkembangan kemampuan berpikir dan berbahasa generasi muda.










