Berita
EDUKASI PENGARUSTAMAAN GENDER DAN PENCEGAHAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Published
7 months agoon
By
Mitra Wacana
Oleh Sri Lestari, Eni Nur Chayati, Bayu Santosa Mahasiswa Magang Universitas Widya Mataram Yogyakarta
Rumah tangga merupakan organisasi terkecil dalam kehidupan masyarakat, interaksi dalam rumah tangga diharapkan memberi ketenangan dan kenyamanan, namun pada kenyataaannya masih banyak terjadi kekerasan dalam kehidupan berumah tangga. Pengarustamaan Gender menjadi isu krusial dalam mewujudkan kesetaraan gender.
Selanjutnya, sosialisasi yang dilaksanakan pada Selasa, 29 Oktober 2024 di Kapanewon Panjatan, Kulon Progo, Mitra Wacana mencoba menyentuh isu yang masih dianggap ‘remeh’ dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Masyarakat enggan terlibat dalam permasalahan rumah tangga orang lain dan cenderung mengabaikan kasus KDRT yang tampak di lingkungan sekitar mereka. Maka dari itu, sosialisasi ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan pemahaman anggota PKK di Kulon Progo terhadap pencegahan kekerasan dalam rumah tangga.
Pihak Kapanewon Panjatan bekerja sama dengan Mitra Wacana untuk menyampaikan materi PUG dan Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Sosialisasi PUG dan Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dilaksanakan pada Rabu, 29 Oktober 2024 di Kantor Kapanewon Panjatan, Kabupaten Kulon Progo serta dihadiri kelompok PKK yang beranggotakan para ibu rumah tangga dari perwakilan desa masing-masing.
Pemantik pertama, Mona Iswandari, membuka acara dengan sharing interaktif bersama kelompok PKK sebagai pemahaman dasar terkait Pengarusutamaan Gender. Penyadaran akan kesetaraan gender kelompok PKK direfleksikan lewat cerita kegiatan dan partisipasi yang dilakukan para ibu PKK selama ini.
Setelah beberapa menit sesi sharing berlangsung, materi dilanjutkan oleh Wahyu Tanoto. Materi sosialisasi yang meliputi, definisi PUG, hak-hak korban KDRT, kewajiban masyarakat dalam isu KDRT, dan hak-hak korban KDRT disampaikan secara interaktif dan dikemas sedemikian rupa agar mudah dipahami. Anggota PKK yang hadir sangat antusias dalam mengikuti sosialisasi yang dilakukan oleh Mitra Wacana.
Beberapa peserta merespon materi yang disampaikan oleh Mitra Wacana, salah satunya respon dari Ibu Yuni yang bertanya “Bagaimana cara kita menyikapi salah satu tetangga kita yang mengalami kasus KDRT yang tidak mau lapor dan kita yang tidak memilik wewenang untuk melapor ke pihak berwajib?”.
Pemateri merespon beberapa langkah yang harus diambil dalam menyikapi KDRT “Ada beberpa hal yang perlu dilakukan dalam menyikapi kasus KDRT seperti tidak menyalahkan dan menghakimi korban, memberikan rasa aman kepada korban, menemani korban visum ke puskesmas atau intansi yang berwenang, dan memberikan bantuan ekomoni kepada korban”.
Pentingnya PUG adalah perempuan dan laki-laki kepentinganya bisa ditampung, sehingga keduanya dapat menikmati hasil pembangunan secara perimbang. Masyarakat wajib peduli kepada korban KDRT mulai dari mencegah, menolong, dan mengajukan proses pengajuan perlindungan. Masyarakat juga diharapan tidak menjadi pelaku atau korban kekerasan dalam rumah tangga tetapi menjadi pencegah tindakan KDRT.
Berita
Perempuan Indonesia Merajut Solidaritas: Suara dari Akar Rumput untuk Keadilan dan Kemanusiaan

Published
1 week agoon
2 June 2025By
Mitra Wacana
Oleh Nurmalia Ika Widiasari, S.H., MKn (Dewan Pengurus Mitra Wacana)
Jakarta, 24 Mei 2025 — Di tengah tantangan kesetaraan gender dan ketidakadilan sosial yang masih mengemuka di Indonesia, para perempuan dari berbagai penjuru tanah air berkumpul di lantai 4 Grha Pemuda Katedral Jakarta dalam forum diskusi bertajuk “Perempuan Indonesia Merajut Solidaritas Bersama.” Acara ini merupakan serial ketiga dari Bonum Commune Forum (BCF) yang diselenggarakan oleh Keuskupan Agung Jakarta dan 5P Global Movement. Mitra Wacana hadir sebagai tamu istimewa dan duduk di barisan depan forum tersebut.
Mengusung semangat Hari Perempuan Internasional bertema “For All Women and Girls: Rights. Equality. Empowerment,” forum ini menegaskan bahwa perjuangan perempuan bukan sekadar selebrasi simbolik, melainkan panggilan untuk aksi nyata. Acara dibuka dengan sambutan hangat dan selingan humor oleh Inaya Wahid, aktivis dan seniman, yang menghidupkan suasana diskusi sejak menit pertama.
Tiga narasumber utama hadir dengan cerita dan perjuangan yang menyentuh. Sumini, pengelola hutan adat dari Aceh, membagikan kisah perjuangannya menjaga hutan dengan pendekatan damai. “Kami tidak melawan para pembakar hutan dengan kekerasan, kami ajak makan, lalu berdialog,” ungkapnya, sambil menegaskan bahwa keberlanjutan lingkungan bisa dimulai dari tindakan kecil dan konsisten.
Suster Laurentina, yang dikenal sebagai “Suster Cargo,” membagikan realitas pahit para Buruh Migran (BM) asal NTT. Ia menyinggung banyaknya BM yang meninggal di luar negeri tanpa perlindungan hukum yang memadai. “Kadang saya disebut perempuan kurang kerjaan karena urus jenazah. Tapi ini panggilan hati,” tegasnya, yang disambut tawa haru peserta ketika ia menjawab guyonan Inaya dengan spontan dan jenaka.
Sementara itu, Octavia Wuri dari Sekolah Tanpa Batas menuturkan perjuangannya mendirikan sekolah inklusif bagi anak-anak difabel dan marjinal. Ia nyaris menyerah, hingga seorang siswanya mengaku ingin bunuh diri. “Saat itu saya tahu, saya tidak bisa berhenti,” katanya, lirih namun penuh daya.
Diskusi semakin kuat ketika penanggap seperti Karlina Supeli dan Andar Nubowo menekankan pentingnya memperluas solidaritas lintas isu dan gender. Karlina menyoroti bahwa perubahan sosial bisa memakan waktu hingga 2000 tahun jika tidak ada intervensi nyata. Sedangkan Andar menyebut tiga perempuan pembicara sebagai “Power Rangers perubahan.”
Isu-isu penting seperti larangan pendirian rumah ibadah, diskriminasi Ahmadiyah, hingga pembongkaran makam juga mengemuka dalam sesi tanya jawab. Inaya Wahid merespons dengan tegas bahwa perjuangan Gusdurian adalah membela yang minoritas dan terpinggirkan, karena “mereka yang kerap dilupakan negara.”
Forum ditutup dengan pernyataan solidaritas dari peserta lintas iman, termasuk Pak Kusbini yang menyampaikan duka atas wafatnya Paus dan harapan atas pemilihan Paus Leo. “Kita mungkin tidak seiman, tapi kita sejalan dalam perjuangan kemanusiaan,” ujarnya mantap.
Kegiatan ini menjadi bukti bahwa suara perempuan dari akar rumput adalah kunci untuk membangun Indonesia yang inklusif, adil, dan berkelanjutan.

Menertawakan Kekuasaan Lewat Bunyi: Analisis Estetika Kontekstual Cerpen Dodolitdodolitdodolibret

Kebangkitan “Malam” oleh Elie Wiesel: Memoar yang Hampir Terlupakan
