Opini
ESTETIKA SATIRE DALAM CERPEN ULAR KARYA SALWA RATRI WAHYUNI
Published
6 months agoon
By
Mitra Wacana

Natalia Zebua mahasiswi jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas.
Dalam dunia sastra, estetika adalah unsur penting yang menjadi penentu kualitas dan keindahan sebuah karya. Estetika berasal dari bahasa Yunani yaitu aistetis yang berarti keindahan dan dalam konteks seni, estetika merujuk pada nilai-nilai keindahan, harmoni, serta rasa yang dihasilkan dari suatu ciptaan. Estetika tidak hanya dilihat dari segi bentuk atau gaya penulisan, tetapi juga dari makna dan pesan yang disampaikan secara halus maupun gamblang kepada pembaca. Dalam sastra, estetika menjadi jembatan antara pesan pengarang dan respons emosional pembaca. Salah satu bentuk estetika yang sering digunakan dalam karya sastra, terutama dalam konteks kritik sosial, adalah satire.
Satire adalah gaya penulisan yang menyampaikan kritik dengan cara menyindir, mengejek, atau menyampaikan ironi terhadap kondisi sosial, politik, atau budaya tertentu. Satire menjadi menarik karena kemampuannya membungkus kritik tajam dengan kemasan yang lucu, mengejutkan, bahkan absurd. Dalam cerpen Ular karya Salwa Ratri Wahyuni, estetika satire hadir dengan kuat dan menjadi inti dari pengalaman membaca yang tidak hanya menghibur, tetapi juga menggugah kesadaran.
Cerpen Ular bercerita tentang seorang tukang ojek online bernama Sentot yang mengalami nasib sial saat motornya dicuri. Ia kemudian pergi ke kantor polisi untuk membuat laporan, namun di sana ia justru menghadapi pelayanan yang sangat buruk, penuh sikap acuh tak acuh dan ketidaksopanan dari para polisi. Dalam kondisi frustrasi dan tanpa harapan, tiba-tiba seekor ular piton besar masuk ke kantor polisi dan menimbulkan kepanikan luar biasa. Para polisi yang sebelumnya garang dan merasa berkuasa mendadak menjadi tak berdaya, lari tunggang langgang menyelamatkan diri. Dalam kekacauan tersebut, tiga remaja yang sebelumnya ditahan karena tawuran justru ikut dibebaskan begitu saja, tanpa proses hukum lanjutan. Mereka pun keluar dan mampir ke warung mie ayam sambil menceritakan pengalaman mereka dengan nada heran dan geli.
Melalui alur yang sederhana namun sarat makna, Salwa Ratri Wahyuni menghadirkan kritik sosial yang tajam terhadap pelayanan publik, khususnya institusi kepolisian, dengan pendekatan estetika satire. Cerita ini mengungkapkan betapa institusi yang seharusnya melindungi rakyat justru menunjukkan sikap sewenang-wenang, tidak kompeten, bahkan pengecut saat berhadapan dengan situasi genting.
Satire paling kuat dalam cerpen ini diarahkan kepada institusi kepolisian yang digambarkan sebagai tidak profesional, malas, dan arogan. Polisi dalam cerita ini tidak menangani laporan Sentot dengan serius, mereka justru lebih banyak mengabaikan dan meremehkan. Ketika situasi mendesak datang seekor ular piton masuk ke kantor mereka malah panik, lari tunggang langgang, menunjukkan bahwa wibawa mereka selama ini hanyalah sebatas formalitas. Kejadian ini secara satiris menunjukkan bagaimana aparat penegak hukum bisa kehilangan otoritasnya saat menghadapi ancaman yang tidak bisa mereka kendalikan, bahkan jika itu hanya seekor binatang.
Meski membawa pesan serius, cerpen ini dikemas dengan cara yang ringan dan menghibur. Humor hadir secara alami dalam narasi, terutama dalam ironi yang timbul dari kontras antara sikap garang polisi dengan reaksi ketakutan mereka terhadap ular. Adegan polisi lari dari ular sambil meninggalkan tugas dan tahanan menciptakan efek humor yang kuat namun tetap menyampaikan kritik sosial yang tajam. Humor ini bukan semata-mata untuk menghibur, tetapi berfungsi sebagai perangkat estetika untuk menyampaikan pesan dengan lebih halus namun mengena.
Salwa Ratri Wahyuni tidak hanya menyindir aparat kepolisian, tetapi juga menggambarkan betapa masyarakat kecil seperti Sentot sering menjadi korban dari sistem birokrasi yang tidak adil dan lamban. Sentot, yang seharusnya mendapatkan perlindungan dan bantuan, justru diperlakukan dengan kasar dan tidak manusiawi. Hal ini mencerminkan kondisi nyata di masyarakat, di mana keadilan sering kali berpihak kepada mereka yang punya kuasa, sementara rakyat biasa harus menanggung ketidakadilan dan kelambanan birokrasi. Cerpen ini mengajak pembaca untuk merefleksikan kondisi tersebut melalui pendekatan sastra yang estetis dan satiris.
Ular piton dalam cerita ini bukan sekadar hewan yang menciptakan kekacauan, tetapi simbol dari perubahan tak terduga yang mengguncang tatanan yang mapan. Ular menjadi metafora dari kekuatan luar yang bisa menggoyahkan sistem yang korup dan penuh kepalsuan. Ia tidak berkata-kata, tidak berpihak, tetapi kehadirannya justru membuka mata bahwa struktur kekuasaan yang tampak kokoh sebenarnya rapuh dan bisa runtuh kapan saja. Simbolisme ini memperkaya nilai estetika cerita dengan memberikan kedalaman makna dan interpretasi filosofis kepada pembaca.
Penyelesaian konflik dalam cerpen ini juga menegaskan nilai estetika satire. Sentot akhirnya memilih pergi tanpa hasil dari kantor polisi, yang menggambarkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi hukum. Sementara itu, tiga remaja yang dibebaskan tanpa alasan yang sah menunjukkan bagaimana hukum bisa menjadi lelucon ketika dihadapkan pada situasi yang tidak biasa.
Dalam keseluruhan cerpen, Salwa Ratri Wahyuni berhasil menghadirkan estetika satire yang tajam namun elegan. Ia tidak menggurui, tidak menyerang secara langsung, tetapi menggunakan kekuatan cerita, karakter, simbol, dan humor untuk mengajak pembaca berpikir dan merasa. Estetika satire dalam cerpen Ular memperlihatkan bahwa sastra bisa menjadi alat yang ampuh untuk menyuarakan kritik dan memperjuangkan perubahan sosial.
Akhirnya, cerpen Ular adalah cermin dari kenyataan yang dipoles dengan gaya satire. Keindahannya tidak terletak pada romantisme atau kepahlawanan tokoh-tokohnya, melainkan pada kejujuran, dan keberaniannya dalam mengungkap realitas. Dengan estetika satire sebagai senjata, Salwa Ratri Wahyuni menunjukkan bahwa cerita pendek pun bisa mengguncang kesadaran dan mengundang renungan panjang.
You may like
Opini
Nasib Manuskrip Pasca Banjir: Upaya Penyelamatan dan Restorasi Budaya
Published
1 week agoon
8 December 2025By
Mitra Wacana

Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas2
Ungkapan “Sakali aia gadang, sakali tapian barubah.” bukan hanya sekedar pepatah Minangkabau, melainkan juga memori ekologis masyarakat terhadap alam. Banjir bukan hanya sekedar peristiwa alam, melainkan bagian dari sejarah yang terus berulang dan meninggalkan bekas pada masyarakat. Namun, perubahan yang ditinggalkannya bukan hanya pada bentang alam dan kehidupan sosial, tetapi juga pada jejak intelektual masa lalu masyarakat, salah satunya terekam dalam manuskrip.
Manuskrip merupakan tulisan yang ditulis menggunakan tangan pada lembaran-lembaran kertas, yang didalamnya berisi pemikiran orang-orang pada masa lampau. Sejalan dengan Baried (1985:54) manuskrip adalah medium teks berbentuk konkret dan nyata. Di dalam Manuskrip ditemukan tulisan-tulisan yang merupakan sebuah simbol bahasa untuk menyampaikan sesuatu hal tertentu. Manuskrip dapat dikatakan sebagai salah satu warisan nenek moyang pada masa lampau, berbentuk tulisan tangan yang mengandung berbagai pemikiran dan perasaan tercatat sebagai perwujudan budaya masa lampau. Sehingga akan sayang sekali jika pemikiran nenek moyang kita hilang akibat penanganan yang kurang tepat.
Manuskrip-manuskrip yang tersimpan di surau, rumah gadang, perpustakaan nagari, maupun kediaman para ninik mamak sering kali menjadi korban dari bencana alam, salah satunya banjir. Karena setelah banjir tersebut mulai surut, nasib manuskrip itu dipertaruhkan. Ketika banjir menyapu perkampungan, kertas-kertas manuskrip itu basah oleh air, menyebabkan tulisan pada teks-nya bisa saja pudar. Pada titik inilah penanganan awal menjadi penentu apakah sebuah naskah masih mungkin diselamatkan atau justru rusak.
Sayangnya, banyak masyarakat yang tidak mengetahui cara penanganan darurat manuskrip basah. Di beberapa tempat, manuskrip yang terendam justru dijemur langsung di bawah terik matahari yang bisa menyebabkan lembarannya menempel. Ada pula yang mengeringkannya di dekat api untuk mempercepat proses pengeringan, padahal suhu panas justru membuat tinta luntur dan kertas mengerut. Bahkan dalam situasi panik, sebagian manuskrip dibersihkan dengan kain kasar atau disikat karena dianggap kotor, yang pada akhirnya merobek halaman-halaman yang sebenarnya masih mungkin diselamatkan. Kecerobohan kecil seperti itu sering kali menjadi perbedaan antara manuskrip yang dapat bertahan dan punah.
Untuk itu, perlunya peran dan dukungan pemerintah dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya penanganan dan perawatan manuskrip yang benar, karena manuskrip seringkali berada di tengah-tengah masyarakat. Sehingga, detik-detik pertama setelah air surut sepenuhnya bergantung pada pengetahuan masyarakat setempat. Pemerintah dapat melibatkan masyarakat baik individu maupun lembaga dalam merawat dan melestarikan manuskrip.
Sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan edukasi tentang perawatan manuskrip yang baik dan benar sehingga manuskrip yang ada seringkali rusak sebelum sempat di digitalisasi. Padahal langkah-langkah sederhana seperti memisahkan halaman yang menempel, mengeringkan naskah di tempat teduh dan berangin, atau menyerap air dengan tisu tanpa tekanan berlebihan, bisa menjadi penyelamat sebelum tim konservator datang. Edukasi inilah yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah daerah, perpustakaan, dan lembaga kebudayaan.
Bencana banjir sudah berulang kali terjadi, bahkan dari dahulu kala. Hal tersebut seharusnya menjadi pengingat bahwa pengetahuan mengenai perawatan naskah manuskrip sangat penting, tidak hanya bagi satu pihak saja tetapi diperlukan kerjasama dari berbagai pihak. Kerja sama antara pemerintah, akademisi, komunitas budaya, dan masyarakat adalah kunci dalam menjaga keberlangsungan manuskrip. Pemerintah dapat mengambil peran sebagai penyedia edukasi, tentang bagaimana penanganan darurat terhadap manuskrip, serta menyediakan peralatan yang menunjang penyelamatan manuskrip. Sementara masyarakat, sebagai pihak terdekat dengan naskah, menjadi penentu apakah pengetahuan teoretis itu dapat dijalankan dengan benar di lapangan.
Jika manuskrip adalah kunci yang menyimpan ingatan suatu peradaban, maka penyelamatannya adalah urusan berbagai pihak, baik pemerintah, lembaga, masyarakat adat, dll. Banjir boleh mengubah bentuk geografis daerah, tetapi bukan berarti ia bisa menghapus jejak pemikiran para leluhur yang sudah diwariskan begitu lama. Karena pada akhirnya, yang membuat suatu masyarakat bertahan bukan hanya rumah dan infrastruktur yang diperbaiki, ataupun peradaban yang dibangun ulang, tetapi juga tentang cerita, gagasan, ilmu dan identitas yang mereka wariskan melalui lembaran-lembaran kertas tua.

Mitra Wacana Hadiri Rapat Koordinasi Organisasi Kemasyarakatan Kabupaten Bantul

Mitra Wacana Ikuti Orasi Budaya Hari HAM FISB UII







