News
Experiencing Ramadhan in Indonesia for the first time
Published
8 years agoon
By
Mitra WacanaSophia: In Australia, I worked with some people of Muslim faith. During Ramadan, they would usually take time off work and life would continue as normal for us non-Muslims. This year, I am living in Indonesia, a country where around 90% of the population is Muslim. All of my colleagues are Muslim and are fasting. I must admit I was nervous about Ramadan. I was worried it would be rude or inconsiderate of me to eat and drink at work. There are three mosques within earshot of my house, so I was worried I wouldn’t get any sleep over the noise. I’d also heard that many shops close during the day, so I was worried it would be difficult to get food.
I have to say so far, a few days into Ramadan, it has been a lovely time. There is a sense of peacefulness in the air. The mosques near my house have been more crowded, but I haven’t been disturbed at all. One morning I heard children in the street making noise, but I went straight back to sleep. I later learned they do this to wake people up for makan sahur, the pre-dawn meal which is eaten before imshak, when the alert sounds that it is almost time for subuh, the dawn prayer and the fast begins. In the afternoon, a siren sounds when it’s time to berbuka puasa, break the fast. My colleagues have been very empathetic and taken the time to explain all these things to me. Yesterday afternoon (Thursday 9 June 2016) I had a chat with my colleague Noto about the meaning and impact of Ramadan.
Wahyu Tanoto: There are two keys to fasting: no food or drink until Maghreb (sunset). Secondly, we have to control our desires for everything. If we break these rules, the fast doesn’t count. We are commanded by Allah to fast, but those who chose not to are free to do so. Fasting is about our personal relationship and responsibility to Allah. Those of us who fast believe we can increase our faith in Allah. Fasting gives us a sense of empathy towards those people who are not able to eat or have difficulty eating.
Ramadan also impacts the community socially and economically. There is an increase in trade. You will meet people on the street selling foods like dates, bananas, young coconuts and the Javanese specialty dessert called kolak, which can be made with banana, cassava and coconut. Supermarkets will also offer discounts. We are critical of this however because fasting is used by entrepreneurs to take advantage of our so-called “Capitalization of Ramadan”. Mitra Wacana will be talking on our talk show segments this month about how, in addition to our relationship with Allah, fasting affects relationships between people.
Sophia: As a foreign, non-Muslim person, how I can respect and enjoy Ramadan with my Muslim friends?
Wahyu Tanoto: All we ask of people who are not fasting is that they don’t eat in the open. Have your meal inside your home or if you eat at a warung (traditional food stall), stay inside.
[So far, to my relief, I’ve discovered several warung near my office that are open during the day and have plenty of tables and chairs to eat inside.]
Sophia: Can you tell me a little bit about the celebrations at the end of Ramadan (called Lebaran in Indonesia or Eid al fitr).
Wahyu Tanoto: The night before lebaran usually we will worship at the mosque or in an open space (because there’s not enough room for everyone in the mosque) until subuh. Then we will visit our parents, family and neighbors to offer greetings and ask forgiveness for any harm we may have caused over the past year. This tradition is called nyuwun ngapuro in Javanese. Then we will eat a big meal together. The most popular menu is opor ayam, a spicy chicken stew made with coconut milk and kupat, rice wrapped in woven palm leaves and cooked in coconut milk.
Sophia: So far, Ramadan has been a very pleasant and interesting time for me. I have tried to get into the spirit of it by joining my friends to berbuka puasa. I’ve also discovered that people don’t judge me for not knowing much about their faith and they are more than happy to explain things to me.
News
Apakah Perempuan Amerika dan Indonesia Sangat Berbeda?
Published
5 years agoon
18 February 2020By
Mitra Wacanaoleh Jacqueline Lydon – Volunteer di Mitra Wacana
Saya tumbuh dan besar di Amerika, saat ini tinggal di Indonesia sudah lima bulan, dan sudah tiga bulan ini magang di Mitra Wacana, saya terkejut ternyata adanya kesamaan kondisi antara perempuan di Indonesia dan Amerika.
Kalau dilihat sekilas, perempuan Amerika dan Indonesia mungkin memiliki perbedaan yang sepenuhnya berlawanan.
Saat membandingkan keduanya, biasanya orang-orang fokus pada perilaku dan penampilan perempuan. Perempuan dihakimi tentang cara mereka berpakaian, cara mereka bertindak, dan betapa independennya mereka, misalnya.
Orang Amerika mungkin menilai perempuan Indonesia berpakaian konservatif, tinggal di lingkungan rumah tangga, dan tampaknya tunduk pada suami mereka. Sementara itu, orang Indonesia mungkin menilai perempuan Amerika tidak menutupi tubuh mereka, merangsang secara seksual, tidak fokus pada peran domestik, atau terlalu keras dan menuntut.
Apa yang saya catat sejak berada di sini adalah yang pertama, bahwa perbedaan-perbedaan ini kurang terlihat daripada yang saya pikirkan, dan kedua, bahwa mereka tampaknya berasal dari budaya dan norma sosial yang berbeda. Ada berbagai cara untuk memahami gender dan peran gender, namun perempuan di Amerika dan Indonesia menginginkan keamanan, rasa hormat, dan memiliki suara.
Ada banyak kesamaan antara perilaku dan masalah perempuan di kedua negara.
- 51,9% perempuan Indonesia adalah pekerja, dibandingkan dengan 57,1% perempuan Amerika.
- 17,4% dari parlemen Indonesia adalah perempuan, dibandingkan dengan 23,9% dari legislatif Amerika.
- Perempuan Indonesia terpilih pertama kali sebagai presiden pada tahun 2001, sementara belum ada seorang perempuan yang pernah menjadi presiden di Amerika.
- Perempuan pertama yang bergabung dengan mahkamah agung Indonesia, Sri Widoyati Wiratmo Soekito, dilantik pada tahun 1968, sedangkan perempuan pertama yang bergabung dengan mahkamah agung Amerika adalah Sandra Day O’Connor pada tahun 1981, sekitar 15 tahun kemudian.
Ada banyak masalah — dari pelecehan seksual hingga pemerkosaan — yang memiliki dampak luas pada perempuan di kedua negara, tetapi sulit untuk memiliki statistik yang akurat karena banyak perempuan tidak (atau tidak bisa) melaporkan insiden ini. Tetapi berdasarkan apa yang dilaporkan, jelas bahwa ini adalah masalah utama di kedua negara.
- 3 dari 5 perempuan Indonesia dan 81% perempuan Amerika telah mengalami pelecehan seksual
- 15% perempuan Indonesia dan lebih dari 1 dari 3 perempuan Amerika melaporkan menjadi korban kekerasan seksual atau pemerkosaan
- 16% perempuan Indonesia dan sekitar 25% perempuan A.S. telah melaporkan menjadi korban kekerasan pasangan intim (kekerasan fisik, seksual, atau psikologis dari pacar atau pasangan)
Dua negara dengan sikap dan perilaku perempuan dilihat sangat berbeda, mengejutkan bahwa ada persamaan keberhasilan dan perjuangan perempuan.
Baru tahun lalu, sebuah jajak pendapat di Amerika menemukan bahwa hanya 29% perempuan Amerika yang mengidentifikasi sebagai feminis. (Feminis: seorang yang percaya laki-laki dan perempuan harus punya hak sama). Di kedua negara, ada gerakan feminis dan anti-feminis (di Amerika, “meninism”; di Indonesia, “Indonesia tanpa feminisme”). Dalam kedua gerakan tersebut, suara perempuan ditekan; perempuan yang mengadvokasi diri mereka sendiri sering dianggap terlalu menuntut, dan masalah mereka diabaikan.
Mengapa ada begitu banyak penilaian untuk pilihan perempuan di kedua negara?
Sebagian dari hal tersebut didasarkan pada stereotip, yang terus dibangun tentang perempuan yang bertindak berbeda. Perempuan di setiap negara diajarkan bahwa peran budaya, perilaku, dan nilai-nilai mereka adalah pilihan yang lebih baik, dan jika mereka berpegang teguh pada itu, mereka akan menghindari masalah yang dihadapi oleh perempuan dalam budaya yang berbeda. Misalnya, untuk perempuan di Amerika, diajarkan bahwa menjadi lebih asertif akan membantu mereka mencapai lebih banyak perwakilan politik, dan perempuan di Indonesia diajarkan bahwa berperilaku sopan akan membantu mereka menghindari kekerasan atau pelecehan seksual. Namun kesamaan dalam statistik membuktikan bahwa bukan perilaku perempuan yang menyebabkan masalah ini, dan nasihat budaya untuk perempuan tidak akan menyelesaikan masalah.
Tentu saja, tidak ada jawaban sederhana untuk masalah sistemik ini. Tapi, penyebab utama seksisme di seluruh dunia adalah patriarki — sistem yang telah dibangun untuk memperkuat laki-laki dan memperlemah perempuan. Sistem patriarki inilah yang telah menciptakan gagasan menyalahkan korban — untuk menghakimi dan menyalahkan perempuan atas penindasan yang mereka alami alih-alih sistem yang menyeluruh.
Daripada melihat pilihan perempuan atau menilai mereka, kita harus melihat sistem patriarki yang lazim di kedua negara.
Menurut saya, kita perlu berhenti fokus pada perilaku perempuan dan sebaliknya fokus pada cara masyarakat menilai dan menindas semua perempuan, dan kemudian kita harus membangun solidaritas untuk memecah sistem itu. Cita-cita bagaimana seorang perempuan seharusnya dan harus bertindak mungkin berbeda di kedua budaya, tetapi hal yang universal bahwa perempuan harus bebas dari kekerasan dan diperlakukan dengan bermartabat dan hormat.
Editor: Arif Sugeng W