Publikasi
Graha Media Hargorejo Adakan Pelatihan Jurnalistik Warga
Published
3 years agoon
By
Mitra Wacana
Sebanyak 23 peserta mengikuti pelatihan jurnalistik warga di aula Balai Kalurahan Hargorejo, Kapanewon Kokap, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Minggu (19/2/2023). Pelatihan jurnalistik diselenggarakan atas kerja sama Mitra Wacana, Perpustakaan Swapustaka , dan Graha Media Hargorejo.
Ketua Panitia Pelatihan Jurnalistik, Dina Eki Pratiwi Putri, mengatakan hal tersebut pada pembukaan acara itu. Pelatihan Jurnalistik ini dibuka oleh Lurah Hargorejo yang diwakilkan oleh Carik, Siti Nura’eni.
Lebih lanjut Dina Eki Pratiwi Putri mengatakan tujuan pelatihan ini untuk meningkatkan kemampuan jurnalistik bagi warga Hargorejo. “Selain itu pelatihan ini bertujuan meramu informasi menjadi berita,” kata Dina Eki Pratiwi Putri.

Sambutan Siti Nur’aini (Carik Kalurahan Hargorejo)
Sedangkan Siti Nura’eni dalam pembukaannya mengatakan bahwa Kalurahan Hargorejo sudah memiliki website desa. Namun kendala yang dihadapi adalah kurangnya kontributor berita.
Siti Nura’eni menyambut baik adanya pelatihan jurnalistik ini. Ia mengharapkan pelatihan jurnalistik ini bisa menghasilkan kontributor berita untuk website desa. “Kami memiliki Kelompok Informasi Masyarakat (KIM) yang sudah berjalan kurang lebih 2 tahun, bisa meningkatkan kemampuan literasi dan pemberdayaan masyarakat,” kata Siti Nura’eni.
Pelatihan ini menghadirkan narasumber Drs H Heri Purwata, wartawan Republika (1993-2016) dan Dosen Jurnalistik UMY (2010-2021). Heri Purwata menyampaikan materi tentang reportase yang meliputi pengumpulan fakta, pengolahan fakta, dan penyiaran fakta.
Salah seorang peserta, Aulia Chaniago sangat mengapresiasi acara pelatihan jurnalistik tersebut. Ia mengharapkan dengan adanya pelatihan ini website Kalurahan Hargorejo lebih berkembang.
“Pelatihan ini sangat berguna bagi kami yang notabene masih pemula dalam hal penulisan. Saya akan menulis perkembangan pembangunan dan budaya Hargorejo,” kata Aulia Chaniago.
Sementara Ajru Fajriyah, peserta dan anggota panitia mengatakan pelatihan ini semua peserta bisa meramu informasi menjadi berita. Mereka diharapkan untuk menjadi contributor website Kalurahan Hargorejo. “Bu Carik tadi sudah menjanjikan bahwa setiap berita yang dimuat ada tanda jasa,” kata Ajru Fajriyah.



Naila Rahma, mahasiswa jurusan Tadris Bahasa Indonesia di Fakultas Adab dan Bahasa, Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta.
Di era digital saat ini, citra kampus dibangun tidak hanya lewat prestasi akademik atau fasilitas yang megah, tetapi juga melalui unggahan di media sosial terutama Instagram. Setiap kegiatan mahasiswa, lomba, dan juga potret keseharian diabadikan untuk memperkuat “Branding” lembaga atau kampus.
Namun, di balik tampilan yang estetik itu, ada fenomena yang sering luput dari perhatian, yaitu akun resmi kampus seperti Instagram yang cenderung menampilkan wajah-wajah yang dianggap menarik secara visual, yang sering diiming-imingi sebagai “Si cantik dan si ganteng.” Sementara itu, mahasiswa lain yang sama-sama berkontribusi, jarang mendapat ruang.
Sebagai mahasiswa, tentu kita senang melihat kampus sendiri tampil secara rapi dan modern di media sosial. Tetapi, jika setiap unggahan hanya menonjolkan satu tipe wajah dan gaya, secara perlahan akan muncul persepsi yang tidak baik. Kampus akan tampak ekslusif, seolah hanya diisi oleh mereka yang tampilannnya “Instagramable.”
Padahal, kenyataan yang terjadi lebih dari itu. Kampus memiliki berbagai ragam tipe mahasiswa, ada yang berprestasi di bidang akademik dan non akademik, ada yang aktif di organisasi sosial, dan juga ada yang diam-diam menginspirasi lewat karya kecilnya.
Fenomena seperti ini tidak akan bisa terlepas dari budaya visual di era digital. Dijelaskan oleh Rahman (2021) dalam penelitianya, bahwa strategi komunikasi digital kampus sering kali lebih berfokus pada pembentukan citra dibanding pada keberagaman.
Ketika media sosial kampus lebih sering menampilkan wajah-wajah visual tertentu, yang akan terbentuk bukan hanya citra lembaga, tetapi juga standar ideal dari “Mahasiswa kampus tersebut.” Akibatnya, media sosial yang seharusnya menjadi ruang representatif malah berubah menjadi etalase selektif.
Penelitian yang dilakukan oleh Rahman (2021) mengenai representasi perguruan tinggi di media sosial juga menunjukkan bahwa komunikasi digital kampus lebih berfokus pada tampilan visual yang dianggap “Menarik” dan “Mengesankan”. Namun, hal ini akan menimbulkan dampak yang cukup besar. Akan ada mahasiswa yang mulai merasa minder karena dirinya tak sesuai dengan standar visual yang ditampilkan di sosial media. Ada juga yang mengukur nilai dirinya dari seberapa sering dia muncul di feed kampus. Pola pikir yang seperti ini dapat menimbulkan kesan eksklusif terhadap identitas mahasiswa.
Padahal, akun kampus seharusnya bisa menjadi ruang inklusif yang mengakui keberagaman mahasiswanya, bukan malah menutupinya dengan filter dan sudut pengambilan gambar yang seragam. Ketika akun resmi kampus hanya menampilkan “Tipe ideal,” pesan yang tersampaikan ke publik pun tidak sepenuhnya netral dan dipandang kalau citra kampus ditentukan oleh tampilan fisik, bukan isi pikirannya. Hal ini bisa berbahaya dalam waktu jangka panjang karena membentuk persepsi eksklusif yang tidak mencerminkan realitas mahasiswa secara utuh.
Maka, sudah saatnya kampus memikirkan kembali strategi komunikasinya di media sosial. Mendorong akun resmi kampus untuk menampilkan keberagaman mahasiswa bukan berarti mengorbankan estetika, melainkan memperluas narasi. Hal seperti ini disampaikan juga oleh Handayani (2022) dalam Jurnal Komunikasi Indonesia, konten visual yang beragam justru memperkuat keterlibatan penonton karena menghadirkan kedekatan dan representasi yang lebih nyata.
Sesuatu yang di unggah bisa memuat tentang mahasiswa yang menang perlombaan akademik maupun non akademik, kemudian mahasiswa yang aktif di komunitas sosial, ataupun yang berkarya di luar kampus. Dengan begitu, setiap postingan yang diunggah tidak hanya menarik secara visual, tetapi juga bermakna secara sosial.
Admin yang memegang media sosial kampus pun memiliki peran penting. Mereka tidak hanya sekadar pembuat konten, tetapi juga penjaga citra kampus. Dengan menampilkan keberagaman mahasiswa, berarti menunjukkan bahwa kampus menghargai setiap individu, tanpa melihat warna kulit, bentuk tubuh, gaya berpakaian, atau latar sosialnya. Justru dari situlah nilai keindahan yang sebenarnya, yaitu pada keberagaman yang nyata, bukan pada keseragaman yang dibuat-buat.
Di tengah budaya visual yang saat ini semakin mendominasi, kampus perlu untuk kembali pada esensi pendidikan yang mampu membentuk mahasiswa berpikir kritis, empatik, dan terbuka. Keindahan sejati kampus tidak terletak pada seberapa “Estetik” unggahannya, tetapi pada seberapa luas ruang yang diberikan kepada mahasiswanya untuk terlihat dan diakui.
Mungkin bukan masalah besar jika akun kampus menampilkan wajah visual yang menarik. Namun, perlu diingat kembali, bahwa di balik setiap unggahan yang tampak sempurna, selalu ada cerita lain yang layak untuk disorot. Karena, keberagaman bukan hanya sekadar konten, tetapi ia adalah cermin dari siapa kita sebagai komunitas akademik.

Si Cantik, Si Ganteng, dan Kampus Kita

Mitra Wacana Hadiri Rapat Koordinasi Organisasi Kemasyarakatan Kabupaten Bantul








