Penelitian
Layanan Kesehatan dan Darurat Kekerasan Seksual pada Anak
Published
2 years agoon
By
Mitra WacanaLayanan Kesehatan dan Darurat Kekerasan Seksual pada Anak
(Analisis Kebijakan Pelayanan Kesehatan pada Anak Korban Kekerasan Seksual dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 25 tahun 2014)
Latar Belakang
Anak merupakan individu yang rentan menjadi korban kekerasan, baik itu kekerasan fisik, psikis, seksual, dan sosial. Jumlah kekerasan terhadap anak masih tinggi dan mayoritas berbentuk kekerasan seksual. Seperti yang dikatakan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) bahwa kekerasan terhadap anak sebanyak 11.952 kasus dengan kekerasan seksual sebanyak 7.004 kasus. Hal ini berarti 58,6 persen kasus kekerasan terhadap anak adalah kasus kekerasan seksual (Ramadhan, 2022).
Kekerasan terhadap anak menunjukkan bahwa kondisi anak belum sepenuhnya terlindungi. Padahal anak merupakan individu yang juga memiliki hak keberlangsungan hidup tanpa menerima diskriminasi dan kekerasan. Pada Konvensi Hak-hak Anak yang dilakukan oleh PBB mengatur yang harus dilakukan negara agar anak dapat tumbuh dengan baik, dilindungi, diberikan kebebasan berpendapat, dan diperlakukan adil. Salah satu aturan tersebut ada pada pasal 34 yang berbunyi “tiap anak berhak dilindungi dari eksploitasi dan penganiayaan seksual, termasuk prostitusi dan keterlibatan dalam pornografi” (unicef.org).
Indonesia sendiri memiliki undang-undang yang mengatur perlindungan anak. Seperti undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak, bahwa anak perlu dijamin dan dilindungi hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta dapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Kekerasan terhadap anak akan berdampak pada tumbuh kembang anak baik secara psikis atau fisik yang berpengaruh terhadap kehidupan anak selanjutnya. Kekerasan seksual, misalnya, akan berdampak pada fisik seperti sakit kepala, otot tegang, dan perut nyeri. Dampak psikologis berupa cemas, marah, sedih, frustasi, dan merasa dikucilkan. Dampak terhadap perilaku, berupa pola makan dan tidur terganggu, malas bergerak, agresif, dan sering menunda pekerjaan. Dampak secara kognitif berupa sulit fokus, kurang konsentrasi, mudah lupa, sulit membuat keputusan, dan pikiran berulang (Kembaren, 2022).
Dari sekian banyak kasus kekerasan dan dampaknya yang signifikan terhadap anak, maka membutuhkan pelayanan kesehatan yang baik pada korban kekerasan terhadap anak (KtA). Untuk memastikan regenerasi dan kesehatan masyarakat terjamin sebagai wujud life course approach of health. Kebijakan pelayanan kesehatan pada korban kekerasan terhadap anak sebenarnya sudah terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) nomor 25 tahun 2014 tentang Upaya Kesehatan Anak. Peraturan ini menyebutkan bahwa terdapat fasilitas pelayanan terhadap korban kekerasan terhadap anak (KtA) yang disediakan oleh lembaga pelayanan kesehatan.
Fasilitas yang diberikan dalam peraturan ini diantaranya penyuluhan dampak kekerasan terhadap tumbuh kembang anak, penanganan kasus darurat medis, konseling dan kesehatan jiwa, pemeriksaan fisik dan status mental, pemeriksaan penunjang berupa laboratorium, rekam medis, kunjungan rumah, pencatatan pelaporan, pembuatan visum, pemberian rujukan medis, dan bantuan untuk rujukan hukum dan psikososial (Permenkes, 2014). Berbagai kegiatan layanan kesehatan yang disebutkan dalam peraturan Menteri akan dilaksanakan oleh lembaga kesehatan di setiap kabupaten seperti Puskesmas, rumah sakit, dan pusat krisis terpadu (PKT).
Namun, kebijakan ini masih jauh dari jangkauan masyarakat. Korban kekerasan terhadap anak tidak sepenuhnya mendapatkan layanan kesehatan. Berdasarkan data SIMFONI Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dari seluruh laporan yang masuk sejak tahun 2019 sampai September 2021, korban yang mendapat 1 jenis layanan sebanyak 55,0%, yang mendapatkan 2 jenis layanan 24,1%, 3 jenis layanan 8,5%, 4 jenis layanan 5,1% dan lebih dari 4 jenis layanan sebanyak 7,3%. Sedangkan jenis layanan lain yang banyak diterima anak korban kekerasan adalah layanan kesehatan sebanyak 22,7%, bantuan hukum 14,4%, rehabilitasi sosial 11,0%, penegakan hukum 7,3%, reintegrasi sosial 2,3%, pemulangan 1,3% dan pendampingan tokoh agama 0,9% (kemenpppa.go.id, 2021).
Dari data tersebut menunjukkan minimnya anak sebagai korban kekerasan yang menerima layanan kesehatan, hanya sejumlah 22,7%. Meski layanan kesehatan menjadi layanan paling tinggi yang diterima oleh korban. Namun, ini data ini masih minim. Layanan kesehatan sangatlah penting untuk keberlangsungan hidup anak. Berdasarkan data UNICEF sedikitnya 120 juta anak perempuan di bawah usia 20 tahun (1 dari 10) telah dipaksa melakukan hubungan seks atau melakukan tindakan seksual lainnya meskipun angka sebenarnya bisa lebih tinnggi (unicef.org).
Layanan kesehatan yang sudah disediakan oleh pemerintah pun tidak berhenti pada kebijakan. Terdapat implementasi di lembaga layanan kesehatan yang perlu memenuhi kualifikasi pelayanan pada anak korban kekerasan. Anak korban kekerasan perlu mendapatkan layanan kesehatan yang baik agar tetap terlindunngi. Oleh karena itu, kebijakan dan implementasi layanan kesehatan untuk anak korban kekerasan khususnya kekerasan seksual penting untuk dikaji lebih lanjut.
Rumusan Masalah
Dari berbagai latar belakang tersebut, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa kebijakan layanan kesehatan masih tidak mampu mengakomodir anak korban kekerasan seksual? Bagaimana implementasi kebijakan layanan kesehatan untuk korban KtA khususnya terhadap korban kekerasan seksual?
Kekerasan Seksual terhadap Anak dan Peran Layanan Kesehatan dalam Perspektif Korban
Anak seringkali mengalami pemiskinan tidak dalam bentuk moneter, seperti akses terhadap pendidikan, kesehatan, gizi, air dan sanitasi, serta perlindungan anak. Sebagai kelompok yang tergolong rentan, anak harusnya memiliki akses yang baik terhadap sumber daya. Sesuai dengan hasil CRC (Child Right Convention) pasal 24 bahwa tiap anak berhak mendapatkan standar kesehatan dan perawatan medis yang terbaik, air bersih, makanan bergizi, dan lingkungan tinggal yang bersih dan aman. Semua orang dewasa dan anak-anak perlu punya akses pada informasi kesehatan (unicef.org).
Dari hasil konvensi, bahwa layanan kesehatan harus mampu memayungi kebutuhan kesehatan anak kalangan manapun. Termasuk kesehatan anak korban kekerasan seksual. CRC pada pasal 26 juga menyatakan bahwa tiap anak berhak mendapatkan bantuan sosial yang bisa membantunya bertumbuh-kembang dan hidup dalam kondisi baik. Pemerintah perlu memberikan uang tambahan kepada anak dan keluarga miskin dan yang membutuhkan.
Hasil konvensi tentang hak-hak anak yang telah disepakati secara global tentu perlu dilaksanakan di setiap negara termasuk Indonesia. Kebijakan sosial Indonesia perlu menyoroti hak-hak anak dan bertanggung jawab memberikan perlindungan pada anak. Termasuk pada yang akhir-akhir banyak terjadi adalah kekerasan seksual pada anak. Dimana anak korban kekerasan sesual memerlukan akses terhadap layanan kesehatan, baik layanan kesehatan psikologis ataupun fisik.
Mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan tahun 2014 nomor 25, sejauh ini pelayanan kesehatan untuk korban kekerasan jauh dari jangkauan. Pertama, kebijakan ini sulit dijangkau oleh masyarakat miskin. Permenkes tersebut bertententangan dengan peraturan presiden nomor 82 tahun 2018 pasal 52 tentang jaminan kesehatan yang mengatakan bahwa pemerintah tidak memberikan jaminan kesehatan untuk korban kekerasan seksual. Sedangkan mayoritas kekerasan yang terjadi pada anak adalah kekerasan seksual yang membutuhkan biaya, seperti visum, layanan konseling, dan cek laboratorium.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) pun tidak menjamin layanan kesehatan untuk anak korban kekerasan. Sehingga, akses layanan kesehatan tidak bisa dijangkau secara pribadi dan bebas biaya oleh anak korban kekerasan. Jikapun nanti bebas biaya, akan ada regulasi panjang yang harus dilewati korban, misalnya mengadukan kekerasan ke dinas terkait seperti perlindungan anak kemudian ke kepolisian baru nanti dilanjutkan ke layanan kesehatan untuk mendapatkan layanan gratis. Sedangkan proses seperti visum bersifat perlu disegerakan dan tidak semua korban ingin melaporkan kejadiannya pada lembaga perlindungan khususnya masyarakat desa yang masih tertutup.
Akses kesehatan yang tidak dapat dijangkau anak menengah ke bawah menimbulkan masalah ganda. Karena pelaku kekerasan terhadap anak khusunya untuk kekerasan psikis ataupun fisik termasuk kekerasan seksual, adalah dari orang terdekat, seperti orangtua, keluarga, dan teman sepermainan (Ariyulinda, 2013). Anak sebagai korban kekerasan dari orang terdekat dengan kondisi ekonomi rendah akan mendapatkan beban ganda, yakni beban ekonomi untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan tekanan dari orang terdekat.
Regulasi yang panjang pun tidak hanya menyulitkan korban dalam mendapatkan pelayanan kesehatan, akan tetapi juga membuat korban semakin menderita. Pasalnya, setiap lembaga harus mendapatkan penjelasan dari korban, seperti mulai dari pelaporan awal korban kepada lembaga layanan pengaduan, kemudian di dinas P2TP2A, kepolisian, dan dilembaga kesehatan. Sehingga, penjelasan korban yang harus diulang-ulang merupakan kekerasan terhadap korban. Seperti hasil wawancara peneliti kepada Wahyo Tanoto salah satu pendamping korban kekerasan di Mitra Wacana Yogyakarta
“Dan ketika dijalankan, birokratisnya luar biasa. Bagi petugasnya sendiri dia harus membuat catatan sedemikian rupa yang sedetail-detail itu dan korban dibuat harus bercerita berulang-ulang dengan kejadian yang dia alami, ada seorang yang diperkosa misalnya, ditanya psikolog cerita, lapor polisi, ditanya lagi, lapor dinas, ditanya lagi, jadi, dia sebenernya secara psikologis mendapatkan kekerasan secara sosial. Belum lagi ketika media semakin memberitakan, kan semakin banyak orang tahu. Dan tidak bisa dijamin orang yang diceritain itu bisa menyimpan rahasia. Tapi misalnya seperti kepolisian, demi ekspose hukum, kan dibuka, meskipun inisial tapi nama sekolah disebutkan, akirnya masih bisa dicari” (Sumber: Wahyu Tanoto. Wawancara pada tanggal 07 desember 2022).
Kedua, kebijakan menteri kesehatan ini tidak menyertai layanan informasi dalam kebijakannya. Sehingga, jumlah anak korban kekerasan yang menerima layanan kesehatan sedikit sekali. Tidak semua masyarakat mengetahui layanan kesehatan pada anak korban kekerasan seksual, baik di puskesmas atau rumah sakit. Dalam peraturan Menteri hanya mencantumkan penyuluhan dampak kekerasan terhadap anak dan ini belum masif dilakukan oleh lembaga pelayanan kesehatan.
Berikut data dari Survey Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR), akses layanan dilihat dari pengetahuan dan kebutuhan layanan anak korban kekerasan, layanan kesehatan menempati layanan paling tinggi yang dibutuhkan korban.
Sumber: Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) di Indonesia
Kesadaran akan pentingnya dan kebutuhan anak korban kekerasan terhadap layanan kesehatan, merepresentasikan bahwa kebutuhan paling dasar dari korban kekerasan seksual adalah layanan kesehatan. Informasi layanan kesehatan terkait penanganan anak korban kekerasan seksual dibutuhkan oleh masyarakat agar korban memiliki keterbukaan akses dalam menerima pelayanan kesehatan baik fisik dan psikologis.
Ketiga, tatalaksana permenkes ini pun tidak hanya sulit dijangkau oleh anak dengan ekonomi rendah, tetapi banyak puskemas di daerah yang juga belum menjangkaunya. Dibuktikan dari minimnya sumber daya puskesmas untuk menangani anak korban kekerasan, seperti fasilitas, sumber daya manusia atau tenaga medis, dan tata kelola ataupun SOP puskesmas itu sendiri. Seperti yang terjadi di Yogyakarta, terdapat penelitian dilakukan pada tiga puskesmas, diantaranya puskesmas Umbulharjo I, Mergangsan, dan Mantrijeron. Tidak ada ruangan khusus yang disediakan Puskesmas dalam penanganan KtP/A. Dari ketiga Puskesmas, ruangan yang disediakan adalah ruangan Unit Gawat Darurat (UGD), Balai Pengobatan Umum (BPU), KIA (Kesehatan Ibu dan Anak), dan ruang psikolog (Nuzuliana & Istiyati, 2020).
Selain di Jogja, penelitian lainnya di kota padang yang dilakukan kepada tiga puskesmas, diantaranya Puskesmas Andalas, Anak Air, dan Air Tawar. Hasil telaah dokumen, observasi, wawancara didapatkan bahwa ketersediaan sumber daya manusia masih belum mencukupi karena karena tenaga terlatih yang ada dimasing-masing puskesmas KtA di Kota Padang masih 1 orang (Shartika et al., 2019).
Seperti yang terjadi pada korban kekerasan berbasis online yang diadvokasi oleh Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) di Kabupaten Sumenep. Berdasarkan hasil wawancara peneliti, KPI melakukan advokasi pada anak korban bullying dan KBGO. Kedua korban tidak medapatkan akses layanan kesehatan misalnya dari puskesmas karena kebutuhan korban adalah konseling. Sedangkan puskesmas sendiri tidak memiliki fasilitas untuk pelayanan kesehatan psikis.
“Mereka tidak sampai ke palayanan di puskesmas, sementara pelayanan yang kita butuhkan ini, kan mental health ya, Cuma puskesmas masih tidak memiliki pelayanan ke arah psikologis” (Sumber Wawancara: Nunung Fitriana, tanggal 06 Desember 2022)
Tidak adanya layanan kesehatan yang baik terhadap anak korban kekerasan seksual akan menyebabkan pada pembiaran-pembiaran korban. Konseling dilakukan dengan cara sederhana sesuai dengan kemampuan tokoh masyarakat seperti yang terjadi di desa-desa. Dalam kasus seperti yang terjadi di Sumenep akhirnya anak korban kekerasan tidak mendapatkan layanan kesehatan dengan baik.
Ketidaksiapan pemerintah dalam layanan kesehatan kepada anak korban kekerasan juga terlihat dari sumber daya manusia yang belum berperspektif korban dalam menangani kasus. Seperti yang terjadi pada kasus kekerasan seksual terhadap anak Sekolah Menengah Atas (SMA) yang hamil diluar nikah dan terdampak IMS (Infeksi Menular Seksual) karena diperkosa oleh mahasiswa yang memang pada dasarnya seks aktif.
“Kasus lain kemudian yang didampingi temennya, ada anak SMA korban kekerasan seksual yang sampai terdampak penyakit IMS (infeksi menular seksual) ini kami bawanya bukan ke klinik pemerintah. Karena dia pernah memiliki pengalaman periksa sendiri mandiri langsung ke spesialis kulit dan kelamin dia langsung ada istilah begini, saya ingat betul dia nilang. “loh mas aku periksa terus kok doktere ngomong gini gimana, wes tobat wae ngunu koe (udah tobat aja kamu).” Seolah-olah dia yang salah. Terus kami periksa ke klinik komunitas. Pilihan dia tidak mau menerima layanan pemerintah karena dokternya mengatakan itu pada korban” (Sumber wawancara : Wahyu Tanoto, tanggal 07 Desmber 2022).
Pernyataan pelayan kesehatan pada pusat layanan kesehatan terhadap anak korban kekerasan masih tidak menggunakan penanganan dari perspektif korban. Harusnya, korban menjadi prioritas penanganan apalagi terjadi pada anak. tidak semakin disalahkan dan memperburuk kondisi mental korban.
Dalam beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak menimbulkan dapak psikologis yang berkepanjangan. Contoh kasus yang terjadi pada Adira (bukan nama sebenarnya) yang medapatkan kekerasan seksual saat sebelum memasuki usia sekolah. Pelaku pertama adalah pegawai toko orang tuanya dan pelaku kedua saudaranya sendiri. Kekerasan seksual mempengaruhi kehidupannya selanjutnya bahkan pernikahannya karena mengalami trauma berkepanjangan.
“Aku nggak bisa membela diriku sendiri atau aku kadang nggak tahu apa yang aku mau dari sebuah hubungan. Aku membiarkan saja orang mau apa terhadapku karena mungkin dari kecil diperlakukan seperti itu ya” Adira (bbc.com)
Adira mengaku ia bahkan memiliki masalah dalam pekerjaannya dan ia memilih untuk konsultasi ke psikolog. Pada saat itu ia menyadari bahwa kekerasan seksual yang pernah dialaminya memberikan perubahan dalam hidupnya dari banyak aspek. Bahkan ia ketakutan dan memiliki kecurigaan ketika melihat seorang laki-laki sedang menggendong anak perempuan.
Kasus lain terjadi pada perempuan di NTT berinisial D (29) yang pernah mengalami kekerasan seksual yaitu pemerkosaan saat usianya umur 11 tahun. Dan ia harus menjalani pernikahan yang tidak diinginkannya karena kehamilan yang tidak diinginkan (Unwonted Pregnancy). Setelah itu, kekerasan demi kekerasan menimpanya seperti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Ia juga mengalami trauma dan membutuhkan waktu lama untuk penyembuhan. Ia melaporkan kasus tersebut tetapi ia tidak melanjutkannya karena ia tidak memiliki cukup uang dan memilih menjadi pekerja migran (Gustiana, 2022).
Beberapa kasus di atas merupakan kekerasan seksual yang terjadi pada anak dan kemudian memiliki dampak berkepanjangan pada kehidupan korban. Mulai korban yang mengalami trauma, kekerasan yang terus beruntun, hingga kegagalan dalam membangun keluarga, termasuk pada perekonomian dan pengalaman-pengalaman lainnya. Anak korban kekerasan seksual semakin menderita dalam kehidupan selanjutnya tanpa adanya pelayanan yang serius terhadap kondisi kesehatannya khusunya kesehatan psikologis.
Kebijakan Pelayanan Kesehatan pada Anak Korban Kekerasan Seksual dari Perspektif Social Development
Penyempurnaan kebijakan kesehatan pada anak korban kekerasan perlu menjadi perhatian dan prioritas dalam pusat pelayanan kesehatan di tengah semakin tingginya angka kekerasan pada anak. Karena kebijakan kesehatan menjadi salah satu penunjang penting menuju terciptanya pembangunan sosial. Anak dengan korban kekerasan yang tidak ditangani dengan baik akan berpengaruh terhadap kualitas anak. Kualitas anak akan berpengaruh kepada sosial ekonomi dan produktifitas anak.
Dalam perspektif pembangunan sosial dalam kebijakan, indikator angka harapan hidup (ahh) salah satu pendorong produktifitas masyarakat. Angka harapan hidup dinilai dari kualitas kesehatan individu. Dimana nantinya produktifitas individu akan meningkatkan ekonomi membuka peluang investasi dan karir. Secara luas, dalam perspektif pembangunan, kebijakan sosial dimaknai sebagai kebijakan kesejahteraan sosial yang berpengaruh kepada kualitas hidup manusia (Fedryansyah, 2016).
Kekerasan seksual yang terjadi pada anak menimbulkan gangguan kesehatan mental dan fisik berkepanjangan. Seperti beberapa kasus yang dijelaskan sebelumnya. Gangguan kesehatan baik fisik dan mental memiliki hubungan erat dengan kualitas hidup seseorang yang berpengaruh kepada produktifitas dan ekonomi. Dalam hal ini, kesehatan menjadi indikator penting dalam pembangunan sosial.
Kesehatan adalah kebutuhan esensial masyarakat sebagai penunjang kesejahteraannya. Hal ini berkorelasi dengan tujuan esensi pembangunan sosial yakni kesehateraan rakyat sebagaimana ditentukan oleh rakyat itu sendiri dan sebagai dampaknya terciptanya suatu lembaga-lembaga (termasuk nilai-nilai masyarakat, perilaku individu, dan motivasi) (Paiva, 1977).
Kesimpulan
Kebijakan pelayanan kesehatan terhadap anak korban kekerasan seksual belum dilaksanakan dengan baik. Peraturan Menteri Kesehatan terkait penanganan korban kekerasan terhadap anak belum memiliki ilmplikasi yang cukup signifikan. Masih banyak anak korban kekerasan yang sebenarnya membutuhkan pelayanan kesehatan tidak mendapatkannya dan justru semakin menderita.
Mulai dari kerterjangkauan akses, panjangnya regulasi untuk mendapatkan pelayanan gratis, fasilitas, dan sumber daya yang tidak memadai membuat anak korban kekerasan seksual tidak tertangani secara kesehatan dengan baik dan masih belum berperspektif korban. Akhirnya, meskipun terdapat NGO, lembaga tersebut akan mengadvokasi dengan keterbatasan sumber day ajika harus bekerjasama dengan leyanan kesehatan pemerintah. Apalagi hak ini terjadi di pedesaan dengan masyarakat yang perekonomiannya menengah ke bawah.
Kebijakan dalam Peraturan Menteri Kesehatan seperti penuh ketidaksiapan untuk menangani dan memberikan pelayanan kepada anak korban kekerasan. Kebijakan ini tidak bersifat komprehensif yang memberikan penguatan-penguatan dari sektor lain agar terlaksana dengan baik. Kebijakan yang terkesan hanya untuk memenuhi desakan masyarakat karena jumlah kekerasan pada anak yang semakin tinggi.
Referensi
Jurnal
Ariyulinda, N. (2013). Penanganan Kekerasan terhadap Anak melalui UU tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU tentang Perlindungan Anak. Rechtsvinding, 1–5.
Fedryansyah, M. (2016). Kebijakan Sosial Dalam Pembangunan. Share : Social Work Journal, 6(1). https://doi.org/10.24198/share.v6i1.13159
Nuzuliana, R., & Istiyati, S. (2020). Gambaran pelaksanaan program penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak pada Puskesmas di Yogyakarta. Jurnal Kebidanan, 9(2), 103. https://doi.org/10.26714/jk.9.2.2020.103-114
Paiva, J. F. X. (1977). A Conception of Social Development. Social Service Review, 51(2), 327–336. https://doi.org/10.1086/643500
Shartika, N. P., Yetti, H., & Yusda, I. (2019). Analisis Penyelenggaraan Puskesmas Tatalaksana Kekerasan terhadap Anak (KtA) dalam Penanganan Kekerasan Anak di Kota Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 8(2), 245. https://doi.org/10.25077/jka.v8i2.998
Website
Anonim. (2022) Kisah korban Kekerasan Seksual Saat Usia Dini di Indonesia- ‘Trauma yang Akan Dibawa Sampai Mati. bbc.com. diakses pada tanggal 05 Desember 2022.
Budi, Muhammad Ainul. (2022). Ekonomi dan Internet Dominasi Fkator Kekerasan Pada Anak. radarjember.jawapos.com. diakses pada tanggal 12 Oktober 2022.
Gustiana, Susi. (2022). Kisah Pilu Korban Kekerasan Seksual Sumbawa, Trauma Hingga Harus Melahirkan di Usia Dini. regional.kompas.com. Diaskes pada tanggal 05 Desember 2022.
Kembaren, Lohargo. (2022). Kekerasan Seksual Pada Anak. yankes.kemkes.go.id. diakses pada tanggal 11 Oktober 2022.
Konvensi Hak Anak: Versi Anak-Anak. unicef.org. Diakses pada tanggal 05 Desember 2022.
Ramadhan, Ardito (2022). Kementerian PPPA: 11.952 Kasus Kekerasan terhadap Anak Terjadi Sepanjang 2021, Mayoritas Kekerasan Seksual. nasional.kompas.com. diakses pada tanggal 05 desember 2022.
Siaran Pers Kemenppa. (2021). Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Tinggi, Menteri Bintang Optimalkan Layanan Terpadu dan Koprehensif. kemenpppa.go.id. diakses pada tanggal 12 Oktober 2022.
Sexual Violence Against Children. Unicef.org. Diakses pada tanggal 05 Desember 2022.
Unicef.org/Indonesia/id. Diakses pada tanggal 06 Desember 2022.
Penelitian
Analisis Kepatuhan Pemerintah Kabupaten Kulon Progo terhadap Rezim Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women Tahun 2021
Published
9 months agoon
4 January 2024By
Mitra Wacana