Arsip
Kebijakan Desa dalam Pencegahan Trafficking
Published
12 years agoon
By
Mitra WacanaMitra Wacana WRC bekerjasama dengan radio Eltira Senin, 19 Mei yang lalu menyelenggarakan talkshow radio dengan narasumber Bapak Suyono, Kepala Desa Nomporejo Galur Kulon Progo dan Soni Marsana dari Mitra Wacana WRC.
Situasi Desa yang tidak banyak menyediakan lapangan pekerjaan, menyebabkan para pemuda merantau bahkan sampai ke luar negeri. keadaan ini diperparah lagi oleh gempuran media yang menjejali anak muda dengan berbagai informasi tentang kemewahan yang hanya mungkin dimiliki oleh orang kaya sehingga menambah daya tarik para pemuda untuk meneguhkan tekad mencari uang dengan cara apapun, tanpa memikirkan resiko yang mungkin bisa terjadi. Celah ini digunakan oleh orang atau kelompok yang tidak bertanggung jawab untuk menjerumuskan mereka ke dalam kejahatan perdagangan orang.
Atas upaya gerakan perempuan mendorong Pemerintah Republik Indonesia untuk serius menanggani kasus perdagangan orang, akhirnya terbit UU RI Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Keseriusan itu diikuti di tingkat daerah, beberapa Provinsi telah mengeluarkan Perda khusus tentang trafficking seperti Lampung, Sulawesi Utara, Sumatera Utara, Kalimantan Barat dan beberapa kabupaten/kota. Upaya penanggulangan perdagangan orang ditindaklanjuti dengan ratifikasi atas Konvensi PBB melawan kejahatan transnasional dan Protokol Palermo, menjadi UU no 14 tahun 2009.
Salah satu bentuk trafficking adalah pengiriman buruh migran perempuan di bawah umur dan melanggar ketentuan peraturan. Isu buruh migran atau yang dikenal dengan sebutan tenaga kerja Indonesia (TKI) menjadi isu penting pedesaan. Desa menjadi unit pemerintahan terkecil yang terhubung langsung dengan kelompok pekerja yang rentan ini. Erakan Desa secara tidak langsung dilibatkan dalam soal migrasi, seperti amanat Undang-undang No 39 tahun 2004 tentang Tata Laksana Penempatan TKI. Situasi tersebut menyebabkan perangkat desa harus terlibat secara aktif dalam usaha mengawal migrasi warga untuk bekerja di luar negeri.
Pada pasal 51 UU No. 39 tahun 2004 ini, calon TKI di antaranya diharuskan dapat melampirkan beberapa dokumen yang sebenarnya menjadi wewenang administratif pemerintah desa, yaitu:
- Kartu tanda penduduk, Akta Kelahiran atau surat keterangan kenal lahir
- Keterangan status perkawinan
- Surat keterangan izin suami dan istri, izin orang tua atau wali yang telah diketahui oleh Kepala Desa
Meski selama ini sebenarnya terlibat secara administratif, namun pemerintah desa jarang dibicarakan dalam konteks migrasi aman. Kepala desa kerap hanya didudukkan semata sebagai penanggungjawab administratif, padahal mereka kerap turut harus bertanggungjawab atas pelbagai kasus yang terjadi pada TKI. Pada kasus-kasus yang diketemukan unsur pemalsuan dokumen, kepala desa kerap harus turut bertanggungjawab, terutama jika dokumen tersebut berada dalam wewenang administrasi desa, seperti tanda kenal lahir, dan persetujuan migrasi dari keluarga yang bertanggung jawab atas sepengetahuan perangkat desa.
Seringkali terjadi, calo datang ke desa dengan sudah membawa konsep surat, sehingga kerap menimbulkan masalah. Kepala desa, terkadang juga hanya menandatangani dan memberikan nomor surat untuk surat yang dibuat oleh agen atau calo. Dengan rumitnya data administrasi desa, kepala desa terkadang mengalamai kesulitan untuk memastikan kebenaran data yang diajukan oleh calo.
Administrasi dan pengelolaan database desa, saat ini masih mengedepankan cara manual melalui pencatatan kertas. Kekurangan pengelolaan data dengan model ini adalah kesulitan untuk melakukan akses cepat untuk data-data terperinci tertentu, semisal data pekerjaan pada salah satu warga, catatan riwayat hidup, atau datum lain yang bersifat spesifik perseorangan (Ibad, 2011).
Administrasi pedesaan yang tertata diharapkan turut membantu mengurangi kerawanan calon TKI untuk bermigrasi. Melalui administrasi dan data calon TKI yang tertata sejak dari desa, setidaknya beberapa persoalan seperti pemalsuan identitas dapat dicegah dari level desa. Pemalsuan data oleh calo yang kerap terjadi pada level desa dapat diperkecil angkanya dengan kemudahan pengelolaan database yang memungkinkan pihak desa secara cepat dapat mengklarifikasi dan melakukan validasi data calon TKI.
Setelah memberikan surat keterangan, kepala desa tidak tahu lagi warganya bagaimana dan kemana. Padahal, kalau ada masalah, pemerintah desa turut harus bertanggungjawab kepada warga
Situasi tersebut menggambarkan keterbatasan wewenang desa dalam penanganan migrasi tenaga kerja. Idealnya, Desa justeru dapat menjadi bagian penting dalam pengawasan migrasi. Pemalsuan, perekrutan secara tidak bertanggungjawab oleh calo, pengawasan operasi PPTKIS di desa, hingga pengawasan kualitas pelayanan dapat dilakukan oleh desa. Wewenang lebih luas dibutuhkan desa untuk turut serta dalam pengawasan migrasi ketenagakerjaan. Amanat undang-undang seharusnya juga menyebutkan dan memperinci wewenang desa terkait migrasi tenaga kerja.
Beberapa wewenang yang idealnya diperoleh desa adalah pembatasan dan pencegahan perekrutan tenaga kerja oleh PPTKIS yang dinilai menyalai prosedur; dan wewenang meminta pihak PPTKIS memberikan laporan berjangka kepada pihak desa terkait penempatan warga. Selama wewenang ini tidak diberikan, desa hanya akan menjadi pengelola administrasi migrasi, tanpa kekuatan melindungi warganya. (imz)
You may like
Arsip
Menguatkan Ruang Kerja Bersama untuk Pemerintahan Terbuka, Mitra Wacana Berpartisipasi dalam Forum OGP Lokal DIY
Published
2 weeks agoon
3 December 2025By
Mitra Wacana
Yogyakarta, 3 Desember 2025. Mitra Wacana hadir dalam Forum Open Government Partnership (OGP) Local yang digelar oleh Dinas Komunikasi dan Informatika DIY di Gedhong Pracimasana, Kompleks Kepatihan Danurejan. Pertemuan ini berlangsung sejak pagi dan mempertemukan beragam lembaga yang selama ini terlibat dalam pelayanan publik, kebencanaan, kemanusiaan, pendidikan, serta kerja-kerja pemberdayaan masyarakat.
Lebih dari tiga puluh lembaga hadir, termasuk unsur pemerintah daerah, akademisi, lembaga humaniter, organisasi kebencanaan, filantropi, dan NGO. Bagi Mitra Wacana, kehadiran dalam forum ini menjadi kesempatan untuk menyampaikan pengalaman lapangan terkait kebutuhan warga, khususnya kelompok rentan yang sering kesulitan mengakses informasi dan layanan.

Acara dibuka oleh Asisten Sekda Bidang Administrasi Umum Setda DIY yang menggarisbawahi perlunya membangun ruang pertemuan yang memberi tempat bagi warga. Setelah itu, beberapa lembaga berbagi pengalaman. Dalam kesempatan tersebut, Perkumpulan Ide dan Analitika Indonesia (IDEA) memaparkan pendekatan penanggulangan kemiskinan yang mengajak berbagai pihak bergerak bersama.
Sedangkan dari Forum Pengurangan Risiko Bencana DIY membagikan pembelajaran dari pendampingan masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana.
Paparan tersebut memperlihatkan bahwa pendekatan pemerintahan terbuka akan lebih dinamis ketika pengalaman masyarakat menjadi bagian dari prosesnya. Mitra Wacana hadir membawa perspektif dari kerja pendampingan perempuan, anak, penyintas kekerasan, serta warga rentan. Dalam pertemuan tersebut, perwakilan Mitra Wacana menyampaikan beberapa hal yang perlu diperkuat dalam proses OGP DIY.
Pertama, ruang dialog yang memungkinkan warga berbagi pengalaman tanpa merasa dibatasi. Kedua, penyediaan data yang mudah diakses masyarakat. Ketiga, penyusunan kebijakan yang sejak awal mempertimbangkan kebutuhan kelompok yang sering luput dari pembahasan. Keempat, pentingnya menjaga keberlangsungan ruang keterlibatan warga, bukan hanya dalam bentuk pertemuan per tahun, tetapi melalui mekanisme yang jelas.
Masukan tersebut diterima sebagai bagian dari rangkaian ide yang kelak dipertimbangkan dalam penyusunan agenda tindak lanjut OGP Local DIY.
Pertemuan ini diikuti antara lain oleh Bappeda DIY, BPBD DIY, Dinas Sosial DIY, Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY, Forum PRB DIY, IDEA, YEU, SIGAB Indonesia, Human Initiative, Baznas DIY, Lazismu DIY, NU Care Lazisnu, MDMC PWM DIY, Kwarda Pramuka DIY, Konsorsium Pendidikan Bencana DIY, Mitra Wacana, IRE, YASANTI.

Melalui keikutsertaan dalam forum ini, Mitra Wacana memperkuat komitmen untuk terlibat dalam penyusunan agenda pemerintahan terbuka di tingkat daerah. Mitra Wacana akan terus mengembangkan kerja sama lintas lembaga dan memastikan nilai-nilai keadilan, keberpihakan pada kelompok rentan, serta pelibatan warga tetap menjadi dasar dalam proses penyusunan kebijakan publik. (Tnt).

Si Cantik, Si Ganteng, dan Kampus Kita

Mitra Wacana Hadiri Rapat Koordinasi Organisasi Kemasyarakatan Kabupaten Bantul






