web analytics
Connect with us

Opini

Ketika Ijazah Hanya Tiket Masuk ke Dunia yang Tak Siap Menerima

Published

on

T.H. Hari Sucahyo,
alumnus Psikologi, peminat sosial humaniora

Laporan Dana Moneter Internasional yang menyebut angka pengangguran Indonesia diperkirakan mencapai 5 persen pada tahun 2025 seolah menjadi gema dari realitas yang sudah lama berdetak di tengah masyarakat: pendidikan tinggi tak lagi menjamin lapangan kerja, dan ijazah tak lebih dari simbol harapan yang kian usang. Peringkat ketiga tertinggi di Asia dalam hal pengangguran, hanya kalah dari Pakistan dan Cina, bukan prestasi, tapi peringatan yang menuntut refleksi mendalam. Lebih menyakitkan lagi, mereka yang menganggur bukan hanya lulusan sekolah dasar atau SMP, tapi juga mereka yang telah menghabiskan waktu dan biaya bertahun-tahun di bangku perguruan tinggi.

Fenomena ini menyingkap lapisan-lapisan masalah yang tak kasatmata namun sangat sistemik. Indonesia telah membanggakan diri dengan bonus demografi, tetapi lupa menyiapkan fondasi kuat agar bonus ini tidak berubah menjadi bumerang. Angkatan kerja yang melimpah bukan berarti produktivitas meningkat. Sebaliknya, tanpa keterampilan yang relevan dan infrastruktur ketenagakerjaan yang inklusif, kita hanya mencetak generasi frustrasi: muda, berpendidikan, namun tak tahu ke mana harus melangkah.

Ironisnya, banyak dari lulusan pendidikan menengah dan tinggi justru terdampar di sektor informal. Mereka menjadi pekerja lepas tanpa jaminan sosial, pedagang daring musiman, pengemudi ojek daring, atau buruh lepas yang hidup dari proyek ke proyek. Bukan karena mereka tak mau bekerja di sektor formal, tapi karena pintu itu seakan ditutup rapat, ter kunci oleh kualifikasi yang tak sesuai, pengalaman yang tak pernah dimiliki, atau sistem rekrutmen yang terlalu eksklusif. Dalam situasi ini, ijazah tak lebih dari selembar kertas yang hanya bisa dibanggakan di ruang tamu, tapi tak berguna saat harus menghadapi kerasnya realitas pasar tenaga kerja.

Pemerintah sering kali mengklaim bahwa pendidikan telah diperluas dan akses makin terbuka. Tapi apakah akses yang luas sebanding dengan kualitas? Apakah kurikulum yang diajarkan benar-benar menjawab tantangan dunia kerja yang berubah cepat? Kualitas keterampilan angkatan kerja kita yang rendah menjadi jawaban yang memilukan. Banyak lulusan tak dibekali dengan kompetensi teknis yang dibutuhkan industri, dan lebih parah lagi, seringkali kehilangan kemampuan berpikir kritis, beradaptasi, dan bekerja sama serta kompetensi yang justru paling dibutuhkan di dunia kerja modern.

Masalah ini bukan semata soal pendidikan, tetapi juga cermin dari sistem ekonomi yang timpang. Dunia usaha sering kali memilih jalan pintas dengan mempekerjakan tenaga kerja murah, tanpa pelatihan, tanpa kepastian masa depan. Ketika produktivitas menjadi satu-satunya tolok ukur, manusia diperlakukan seperti mesin: diganti jika rusak, dibuang jika tak sesuai. Maka wajar jika anak-anak muda yang idealis, penuh harapan, akhirnya menjadi apatis. Mereka tak lagi percaya pada sistem yang tak memberi ruang bagi kemampuan dan kreativitas mereka.

Pemerintah memang telah meluncurkan berbagai program pelatihan, kartu prakerja, dan inisiatif lainnya. Tapi sayangnya, semua itu kerap terjebak dalam logika proyek: sukses di atas kertas, tapi tak berdampak nyata di lapangan. Pelatihan yang diberikan sering kali generik, tidak spesifik terhadap kebutuhan industri lokal, dan hanya menambah daftar panjang sertifikat, bukan keahlian. Kita butuh lebih dari sekadar pelatihan kilat. Kita membutuhkan perubahan paradigma: dari pendidikan yang menghafal menjadi pendidikan yang mencipta, dari pelatihan yang menyuap menjadi pelatihan yang mengasah.

Jika tak segera ditangani, angka 5 persen pengangguran hanyalah awal dari masalah yang lebih besar. Pengangguran terdidik adalah bom waktu sosial. Mereka yang merasa gagal dalam sistem cenderung kehilangan arah, mudah terjerumus ke dalam tindakan destruktif, baik secara personal maupun sosial. Ketimpangan akan makin dalam, kepercayaan publik pada negara menurun, dan demokrasi kehilangan pijakan stabilnya. Kita tidak sedang menghadapi sekadar soal ekonomi, tetapi soal masa depan bangsa.

Namun, di balik semua ini, ada harapan jika kita mau jujur dan berani berubah. Negara perlu berhenti sekadar membangun gedung-gedung sekolah atau kampus baru, dan mulai berinvestasi pada kualitas pengajar, perbaikan kurikulum, serta menjalin kerja sama erat dengan dunia usaha. Dunia usaha pun harus diberi insentif untuk mau membina, bukan hanya memanfaatkan. Di sisi lain, masyarakat perlu didorong untuk melihat pendidikan bukan hanya sebagai tangga sosial, tetapi sebagai jalan untuk mencipta nilai.

Pendidikan vokasi harus dikuatkan, bukan dipandang sebagai pilihan kedua. Keterampilan digital, pemikiran kreatif, kewirausahaan sosial—semua ini harus menjadi bagian dari DNA pendidikan kita. Anak-anak muda perlu dilatih untuk tidak hanya mencari pekerjaan, tapi juga menciptakan pekerjaan. Pemerintah daerah juga tak bisa lepas tangan. Mereka harus tahu sektor unggulan lokal, menciptakan ekosistem kerja yang kondusif, dan bukan hanya menunggu investor datang.

Kita perlu mengakui bahwa selama ini kita memaksa anak-anak muda untuk berlari di lintasan yang tak jelas ujungnya. Kita mendesak mereka meraih gelar, tapi tidak menyediakan jembatan menuju pekerjaan yang layak. Maka tak heran jika banyak yang tersesat. Jika tak segera dibenahi, Indonesia akan menjadi negeri dengan segudang sarjana, tapi miskin makna.

Bukan sekadar angka pengangguran yang perlu kita takuti, melainkan ketidakmampuan kita membaca arah zaman. Dunia berubah cepat, dan kita tak bisa terus berlari di tempat. Generasi muda Indonesia layak mendapatkan lebih dari sekadar janji. Mereka butuh sistem yang adil, dunia kerja yang inklusif, dan pendidikan yang memberdayakan. Bukan nanti. Tapi sekarang.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Stranger Things – Siap Melihat Kisah Akhir dari Kota Hawkins? Ini 5 Hal yang Bikin Stranger Things Iconic!

Published

on

Sumber foto: Stranger Things

Zaky Nur Maktsuroh

Halo! Kalian ada yang belum nonton serial Stranger Things? Ini adalah saatnya untuk langsung kejar semua season-nya! Serial ini salah satu serial terbaik yang pernah ada di Netflix. Dari season 1 sampai season 4, perjalanan serial ini bikin aku speechless. Dan pada bulan November 2025 ini, Stranger Things akan hadir kembali untuk final season. Sebelum nonton season 5 yuk kita throwback dulu!

Season 1: Kita ingat lagi saat seorang anak hilang di sebuah kota Hawkins. Ternyata ada cerita ke dunia lain yang disebut “Upside Down”! Plot twist yang gila. Season 1 ini misterinya dapat dan pengenalan karakter yang smooth. Winona Ryder sebagai Joyce Byers bawa beban emosional yang berat dengan sempurna, ini buat penonton nangis sih.

Season 2: Alurnya agak melambat di bagian tengah, tapi tetap worth it ditonton. Perkembangan karakternya terlihat, terutama Eleven. Lalu ada pengenalan Maxine yang fresh dan bikin vibes lebih colorful. Banyak orang bilang season ini “underrated“, tapi tetap punya momen emosi pastinya!

Season 3: SEASON 3 PALING KEREN! Dinamika karakter yang udah demasa, akting nya intens, dan yang bikin season ini paling keren adalah nostalgia 80s-nya. Dari setting mall, synth musik, dan pertemanan yang semakin solid bikin season ini banyak disukai orang.

Season 4:  Episode panjang dan munculnya Vecna sebagai penjahat yang legit menakutkan. Season ini ada yang suka dan ada yang kurang suka. Episode 1-7 mungkin agak membosankan, terus episode 8-9 boom! Semuanya seakan terjadi dalam satu waktu. Backstory-nya sangat kompleks. Chemistry Millie Bobby Brown dan Winona Ryder di season ini heartbreaking banget.

 

5 Hal yang Bikin Stranger Things Ikonik?

  1. Nostalgia 80s, dari fashion sampai musik vintage buat aestetik. Bagi yang pernah hidup di era 80-an, serial ini adalah perjalanan nostalgia yang menyenangkan. Sementara bagi generasi muda, Stranger Things menjadi jendela untuk melihat keindahan kesederhanaan masa lalu.
  2. Perkembangan Karakter yang smooth dari season 1 sampai season 4, perkembangan karakternya nya nggak terasa dipaksa. Terutama dari sekelompok anak-anak yang gemar bermain Dungeons & Dragons – Mike, Dustin, Lucas, dan Will – kita melihat mereka tumbuh dan berkembang melalui empat season.
  3. Kombinasi horror, drama, dan komedi yang seimbang. Serial ini tahu kapan harus takut, kapan harus fokus, dan kapan harus lucu. Kemampuan serial ini untuk berpindah antar genre dengan mulus tanpa kehilangan fokus cerita adalah hal yang keren.
  4. Persahabatan dan Kekeluargaannya yang solid, persahabatan Mike, Dustin, Lucas, dan Will adalah fondasi dari seluruh cerita, tidak peduli seberapa menakutkan ancaman yang kita hadapi, bersama teman-teman kita bisa menghadapi apa pun. Mereka menunjukkan loyalitas tanpa batas, saling melindungi, dan tidak pernah menyerah satu sama lain. Bahkan karakter-karakter dewasa seperti Joyce Byers dan Jim Hopper menunjukkan betapa kuatnya cinta dan pengorbanan untuk melindungi orang-orang yang mereka sayangi.
  5. Dunia Upside Down yang Misterius. Dimensi paralel yang gelap dan menakutkan ini menjadi sumber misteri dan ketegangan sepanjang serial. Monster-monster ikonik seperti Demogorgon, Mind Flayer, dan Vecna menjadi antagonis yang menakutkan sekaligus menarik. Setiap season mengungkap lebih banyak rahasia tentang dimensi ini, membuat penonton terus penasaran dan berspekulasi.

 

Nah, season 5 udah di depan mata! Ini final season, jadi harus menutup semua cerita dengan memuaskan. Sekarang tinggal tunggu season 5 dan bersiap-siap untuk petualangan terakhir! Siapa tau ada yang bakal bikin kita terharu. This is the end—jadi pastikan kalian sudah nonton season 1-4 sebelum season 5 tayang!

Highly recommended untuk semua orang! Serius, nggak peduli umur, series ini punya sesuatu untuk semua orang. Ada horror, drama, action, humor, dan nostalgia yang bikin kita penonton betah dan penasaran terus.

Happy watching!

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending