Berita
Konstruksi Perempuan dalam Media Massa
Published
6 years agoon
By
Mitra Wacana
Oleh: Septia Annur Rizkia
Dinamika kehidupan tidak lepas dari campur tangan para pamong kekuasaan, sebagian besar bertangan dua. Pada akhirnya semua kepentingan dikaitkan dengan media yang ujung-ujungnya ada orang dalam yang memegang peran sebagai pengendali. Artinya, hubungan antara kelompok mayoritas yang mengontrol dan menguasai kelompok minoritas, namun bukan dalam konteks media sebagai kontrol sosial. Fakta di media dikonstruksi para media. Apa yang tertulis dan yang diberitakan oleh media bukanlah realitas yang sebenarnya terjadi.
Selain sebagai hiburan, fungsi media adalah sebagai edukasi dan kontrol sosial. Akan tetapi, di dalam media, perempuan sering ditampilkan menjadi kelompok minoritas yang termarjinalkan, sedangkan laki-laki menjadi kelompok yang mendominasi peran. Pertanyaannya, sejauh mana media bisa bertindak adil atas berbagai kepentingan yang dimediasinya? bagaimana media massa menempatkannya secara proporsional?.
Jawabannya terkadang tak begitu jelas. Belum ada Undang-undang yang tertuang untuk itu. Tidak ada aturan yang mengkriteriakan bahwa seseorang harus mendapat sekian kalimat untuk dimuat di media cetak, berapa menit di televisi dan harus mendapat intonasi yang bagaimana dalam wawancara di media. Tidak hanya sekedar itu, masalahnya bukan hanya terletak pada seberapa media bertindak adil, tapi sejauh mana segala aktivitas yang di mediasi bisa selaras dengan empat fungsi media massa. Memberikan informasi, pendidikan, hiburan, dan melakukan kontrol sosial. Karena peran aktif media adalah sebagai penyambung lidah rakyat.
Peran dan posisi perempuan di dalam media menjadi ter-subordinat karena mediasi dari media. Seolah-olah stereotip bahwa perempuan hanya bertugas di wilayah domestik telah terkonstruk dalam benak masyarakat secara umum. Baik dalam media cetak maupun media visual banyak yang telah mencitrakan perempuan adalah kaum lemah yang berada di bawah kendali laki-laki. Perempuan tidak bisa berdiri tegak tanpa peran aktif seorang lelaki yang mendorongnya dari samping maupun dari belakang. Fenomena bias gender yang ada di media telah terbentuk dan terstruktur dimana-mana.
Stereotip bahwa perempuan adalah makhluk kedua setelah laki-laki membuat posisi perempuan menjadi objek sex dan laki-laki yang berperan sebagai subjeknya. Politik pemberitaannya pun kurang adanya keberpihakan pada perempuan. Sedang jurnalis laki-laki lebih dominan dibanding jurnalis perempuan. Sehingga perempuan lebih sulit untuk menyuarakan anspirasinya yang berkaitan dengan maraknya media yang mengeksploitasi tubuh perempuan secara terus-menerus. Sedang karakter media di Indonesia yang masih berkuasa saat ini adalah sistem kapitalis.
Ironi, fungsi media berpindah haluan dan terkontaminasi pada orientasi kepentingan bisnis dan politik kekuasaan pada pemilik modal. Pemberitaan pada kasus-kasus seperti kekerasan sex, kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan sex dan segala yang berbau sex selalu mengarah pada perempuan. Sehingga kejadian yang sering terulang-ulang di pemberitaan media ini menjadi konsumsi masyarakat yang sudah biasa dan menjamur dari dulu sampai sekarang. Perempuan di pihak yang selalu disalahkan akibat label diberikan oleh media.
Jika ada pemberitaan pemerkosaan, wanita sering ditampilkan sebagai sumber peristiwa, salah satunya penggoda, dan lain-lain. Kondisi seperti inilah yang membentuk identitas gender, yang dulunya perempuan maupun laki-laki belum mengetahui identitas mereka. Tapi melaui kekuasaan komunikasi medialah yang membentuk dan memperkenalkan identitas bahwa laki-laki selalu maskulin dan perempuan haruslah feminin. Seolah-olah hukum alam yang sudah tidak bisa di rubah.
Banyak penulis jumpai dari berbagai iklan yang menempatkan perempuan pada perbudakan sex maupun untuk menarik kalangan laki-laki. Media pun memberi gambaran, perempuan belum sempurna jika belum bisa menarik perhatian laki-laki melalui kecantikan fisiknya. Pencitraan perempuan di layar televisi membentuk persepsi masyarakat akan nilai kecantikan seorang perempuan. Perempuan dikatakan cantik jika memiliki kulit yang putih, tubuh langsing, hidung mancung, mempunyai rambut yang lurus dan selalu rapi.
Citra perempuan dalam media yang sedemikian rupa berhasil membius kesadaran masyarakat, sehingga mereka berbondong-bondong untuk mempercantik diri dengan segala macam obat pemutih, obat pelangsing, maupun segala macam bentuk perawatan rambut. Itulah salah satu komunikasi media yang telah membentuk identitas sosial yang menjadikan bias gender. Media telah sukses membentuk opini publik yang telah membeku di otak para penggiat media bahwasanya laki-laki itu selalu berada pada ranah yang rasional sedang perempuan hanya bergumul pada kepuasan emosionalnya saja.
Tak jarang pula penulis temui dalam iklan, perempuan dengan mengenakan pakaian seksi yang menonjolkan bagian-bagian tubuhnya menjadi minat para pemilik industri media untuk menjadi sponsor suatu produk. Bahkan, iklan motor besar seperti GP, yang sifatnya maskulin dan khususnya untuk menarik minat para laki-laki, tapi mengapa yang menjadi objek dari sponsor itu adalah perempaun yang mengenakan rok mini bahkan dengan belahan dada yang terbuka. Secara tidak langsung, media menggambarkan bahwa perempuan hanyalah objek dari pemuas nafsu yang harus di miIiki oleh laki-laki seperti halnya iklan motor yang menganalogikan perempuan itu bersifat matrealistik. Yang bisa di dapatkan dengan nilai harga yang lebih. Identitas atau gender perempuan dan laki-laki adalah bentukan dari adat dan budaya yang telah dimediasi oleh berbagai media, sehingga mengakar dan membentuk suatu realitas sosial yang dipercayai kebenarannya.
Film-film maupun sinetron di layar televisi juga demikian,menempatkan perempuan hanya pada pekerjaan yang bergantung pada laki-laki. Padahal, realitasnya banyak perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga dan terjun langsung ke masyarakat,serta para perempuan yang berkontribusi bagi pembangunan bangsa. Sayangnya fakta itu tidak terlalu menarik untuk menjadi sorotan media. Pekerjaan yang pas dan cocok untuk perempuan juga sudah dikonstruksi oleh media. Misal sebagai sekretaris, asisten, maupun mengurusi tempat-tempat domestik dan menjadi pelayan suatu toko milik swasta.
Secara garis besar penulis menyimpulkan, posisi perempuan dalam media massa belum mendapat hak atas keadilan atau yang kesetaraan gender, baik didalam media televsi, radio, hp, majalah, tabloid maupun internet. Banyak gambar-gambar pornografi seolah-olah menjadi legal di berbagai akses media terutama internet. Kehadiran perempuan, seakan-akan hanya untuk menarik perhatian publik sebagai penglaris suatu pasar produksi. Legitimasi perempuan juga perlu dipublikasikan, baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan lain halnya. Perempuan masih dianggap sebagai warga negara kelas dua, yang terstigma pada masyarakat, bahwa perempuan secara kodratnya itu hanya mengurusi dapur, sumur, dan kasur.
Sejauh ini, penggambaran publik terhadap status perempuan menjadikannya tidak sesuai dengan peran yang semestinya. Media sebagai kontrol sosial harusnya bisa melakukan kontrol terhadap masyarakat luas. Media tidak hanya mempertontonkan tubuh perempuan saja, tapi juga mengarah pada kebutuhan intelektual bagi anak bangsa. Bangsa yang besar ini membutuhkan generasi-generasi yang hebat baik dalam wacana maupun gagasan. Peran perempuan juga tak lekang dari besarnya bangsa ini. Sejauh itu, perlu ditanam kesadaran bagi masyarakat baik laki-laki maupun perempuan atas pentingnya peran dan andil mereka dalam membangun peradaban bangsa ini. Penulis berharap agar masyarakat bisa menyaring tayangan-tanyangan yang dipertontonkan di media massa, terutama saling bekerja sama untuk mengikis labeling yang mendeskriminasi peran sosial perempuan.
You may like
Berita
Mitra Wacana Dorong Pemerintah Perkuat Pelindungan bagi Pekerja Migran Indonesia
Published
1 week agoon
11 November 2025By
Mitra Wacana
Jakarta, 10 November 2025 — Mitra Wacana turut berpartisipasi aktif dalam Konsultasi Nasional tentang Akses terhadap Pelindungan Sosial yang Layak dan Berkelanjutan bagi Pekerja Migran Indonesia yang diselenggarakan di Swiss-Belresidences Kalibata, Jakarta Selatan. Kegiatan ini diinisiasi oleh Migrant Forum in Asia (MFA) bekerja sama dengan Migrant Care, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), dan Solidaritas Perempuan, dengan dukungan dari IOM melalui program Migration, Business and Human Rights in Asia (MBHR Asia) yang didanai oleh Uni Eropa dan Pemerintah Swedia.
Acara yang dihadiri oleh perwakilan pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan serikat buruh ini bertujuan untuk memperkuat advokasi dan sinergi kebijakan dalam menjamin akses perlindungan sosial bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI), baik di tahap pra-penempatan, selama bekerja di luar negeri, maupun setelah kembali ke tanah air.
Dalam sesi diskusi, berbagai isu krusial mencuat, mulai dari minimnya akses pendidikan dan lapangan kerja yang layak di dalam negeri hingga praktik perekrutan yang tidak adil dan jeratan hutang yang menjerat calon pekerja migran. Kondisi ini, menurut para peserta, memperlihatkan bagaimana kemiskinan struktural masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah.
“Ketika pemerintah tidak menyediakan akses pendidikan dan pekerjaan yang layak, masyarakat akhirnya mencari penghidupan di luar negeri. Tapi di sana pun mereka menghadapi eksploitasi dan kekerasan, bahkan ada yang tidak kembali dengan selamat,” ungkap salah satu peserta diskusi yang menyoroti rentannya posisi pekerja migran di berbagai negara penempatan.
Mitra Wacana, melalui perwakilannya Nurmalia, menegaskan pentingnya tanggung jawab negara dalam memastikan perlindungan menyeluruh bagi PMI. Ia menyoroti pentingnya kolaborasi antara pemerintah, perusahaan, dan lembaga internasional agar pekerja migran dan keluarganya memperoleh jaminan sosial yang adil.
“Negara harus hadir secara konkret, tidak hanya menjadikan PMI sebagai pahlawan devisa, tetapi juga memastikan mereka terlindungi dari hulu ke hilir. Kami mendesak pemerintah untuk memperkuat kerja sama antara BPJS Ketenagakerjaan dan perwakilan Indonesia di luar negeri, agar sistem perlindungan berjalan efektif dan tidak ada lagi korban yang dipulangkan tanpa pemulihan yang layak,” tegas Nurmalia, mewakili Mitra Wacana.
Konsultasi nasional ini juga merekomendasikan penguatan kebijakan jaminan sosial lintas negara serta sistem reimbursement yang memungkinkan pekerja mendapatkan layanan kesehatan sebelum dipulangkan. Para peserta berharap hasil diskusi ini menjadi pijakan bagi advokasi regional dalam memperjuangkan kebijakan yang lebih adil, berkelanjutan, dan berpihak pada pekerja migran.
Kegiatan ditutup dengan komitmen bersama untuk memperluas jaringan advokasi dan mendorong pembentukan kebijakan yang tidak hanya melindungi pekerja migran, tetapi juga memberikan jaminan kesejahteraan bagi keluarga mereka di tanah air.








