Ekspresi
Mahasiswa asal Norway Penelitian Isu Kesetaraan Gender di Mitra Wacana
Published
10 months agoon
By
Mitra Wacana
Yogyakarta — Mitra Wacana, organisasi yang konsen pada isu kesetaraan gender, menerima kunjungan akademis dari Anja Bulic, mahasiswa S1 Global Development asal University of Agder, Norwegia, pada Senin (3/1/2025). Kunjungan pukul 11.00–12.00 WIB ini merupakan bagian dari penelitian Anja tentang ketidakadilan dan kekerasan berbasis gender di Indonesia yang dilakukan dalam rangka kerja sama antara University of Agder Norwegia dengan Universitas Gadjah Mada (UGM). Anja diterima langsung oleh Wahyu Tanoto (Dewan Pengurus) dan Alfi Ramadhani (Koordinator Divisi Pendidikan dan Pengorganisasian Mitra Wacana).
Sebelum kunjungan, Anja telah mengirim surat permohonan penelitian dilengkapi panduan pertanyaan dan kebutuhan data. Penelitian ini tidak hanya menjadi bahan skripsinya, tetapi juga bagian dari program kolaborasi antar universitas yang memfasilitasi mahasiswa Norwegia untuk melakukan studi lapangan di Indonesia. Fokus Anja adalah menganalisis korelasi konstruksi / peran gender dengan kekerasan berbasis gender, serta dampak sosial-budaya terhadap kesetaraan.
Dalam diskusi, Anja menyoroti tiga aspek utama: gambaran peran gender di ranah domestik dan publik, hubungannya dengan kasus kekerasan berbasis gender, serta pengaruh sosial-budaya dan keberagaman masyarakat terhadap kesetaraan gender.
Wahyu Tanoto menjelaskan, ketimpangan gender di Indonesia masih dipengaruhi kuat oleh struktur patriarki. “Di ranah domestik, perempuan sering dianggap sebagai pengurus rumah tangga, sementara laki-laki diharapkan menjadi pencari nafkah. Ini memicu ketimpangan akses pendidikan dan partisipasi politik,” jelasnya. Sementara Alfi Ramadhani menambahkan, mitos-mitos dan stigma yang berkembang di masyarakat yang justru memperparah kerentanan kelompok marginal.
Anja juga menggali program Mitra Wacana dalam mendorong kesetaraan gender, seperti pelatihan kesadaran gender bagi masyarakat, pendampingan korban kekerasan, dan advokasi kebijakan inklusif. “Kami menggunakan pendekatan multisektor, mulai dari edukasi di tingkat akar rumput hingga kolaborasi dengan pemerintah,” papar Alfi.
Kunjungan ini dinilai strategis untuk memperluas perspektif global terkait isu gender. “Kerja sama dengan akademisi internasional seperti Anja membantu kami mendokumentasikan praktik terbaik dan memperkuat jejaring advokasi,” tutup Wahyu.
Penelitian Anja diharapkan tidak hanya menyelesaikan tugas akademik, tetapi juga memberikan rekomendasi berbasis data untuk mengurangi kesenjangan gender di Indonesia. (ruly)
Ekspresi
Narasi Cinta yang Terbelah di Simpang Keyakinan Dalam Lagu “Mangu”
Published
5 months agoon
23 June 2025By
Mitra Wacana

Penulis Yuliani Tiara (Mahasiswi jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas)
Abstrak
Lagu Mangu karya Fourtwnty dan Charita Utami menampilkan dinamika cinta yang tidak sekadar kandas oleh konflik biasa, melainkan oleh perbedaan spiritual yang fundamental. Artikel ini mengeksplorasi makna lirik sebagai bentuk refleksi eksistensial, dan memperluas pemahaman melalui pendekatan musikologis. Musik populer dalam hal ini menjadi medium kontemplatif terhadap isu-isu kepercayaan, identitas, dan spiritualitas.
Pendahuluan
Di tengah arus musik populer yang kerap menyederhanakan tema cinta, Mangu hadir sebagai pengecualian yang memikat. Kata mangu, yang berarti tertegun atau diam dalam kebimbangan, menjadi landasan emosional dari lagu ini. Dirilis dalam album Linimasa (2017) dan kembali viral pada 2025, lagu ini menandai kebangkitan musik reflektif di tengah masyarakat yang semakin haus makna.
Cinta dalam Simpang Spiritualitas
Lirik Mangu menyampaikan tragedi cinta yang tidak bisa dipertahankan karena benturan spiritual.
“Cerita kita sulit dicerna,
Tak lagi sama,
Cara berdoa”
Bait ini memperlihatkan pergulatan antara perasaan dan keyakinan. Penggunaan diksi seperti “kiblat” dan “berdoa” menunjukkan bahwa relasi ini berhenti bukan karena hilangnya rasa, melainkan karena jalan spiritual yang tidak searah. Lagu ini mengangkat dilema etis yang jarang disentuh oleh musik populer bahwa cinta kadang harus tunduk pada iman.Musikologis: Ketika Aransemen Menjadi Medium Sunyi Secara musikal, Mangu mengusung pendekatan minimalistik dengan warna akustik yang kuat. Lagu ini dibangun di atas progresi akor yang repetitif dan lembut, yang menciptakan ruang emosional yang kontemplatif. Beberapa poin penting dari analisis musikologis:
- Tempo dan Ritme:
Lagu ini berjalan dalam tempo lambat (sekitar 70–75 BPM), mendekati karakter ballad. Ritme yang datar dan tenang mendukung nuansa meditasi dan renungan. Tidak ada ketukan tajam atau dinamika mendadak; semua bergerak dengan lembut, menciptakan suasana mangu itu sendiri—diam, termenung, dan berat.
- Harmoni dan Progresi Akor:
Progresi akor lagu ini tidak kompleks, namun sangat efektif dalam menciptakan resonansi emosional. Akor minor mendominasi, dengan sesekali modulasi ke akor mayor yang memberikan kesan “harapan yang gagal”. Struktur ini mencerminkan situasi emosional lirik: cinta yang pernah hangat, namun perlahan surut tanpa bisa dicegah.
- Vokal dan Ekspresi:
Kekuatan utama Mangu terletak pada teknik vokal yang mengandalkan restrain (penahanan). Vokal Fourtwnty tidak pernah meledak; justru dengan desahan dan nada rendah itulah kesedihan tersampaikan lebih dalam. Kehadiran Charita Utami sebagai kolaborator menambah dimensi naratif: suara laki-laki dan perempuan yang sama-sama lirih, menandakan keterlibatan emosional dua pihak secara setara dalam perpisahan ini.
- Instrumentasi:
Dominasi gitar akustik dan ambience suara latar seperti efek reverb menciptakan ilusi ruang hampa—seolah narasi ini terjadi dalam ruangan kosong yang penuh gema. Unsur musik ambient menjadi semacam pengingat bahwa yang hadir bukan hanya manusia, tapi juga kesadaran spiritual yang tak terlihat.
Simbolisme Arah Kiblat: Antara Religiusitas dan Identitas
Frasa “arah kiblat” menjadi titik kunci dalam lirik. Secara literal, ia merujuk pada arah shalat umat Islam. Namun secara simbolik, kiblat adalah arah hidup: nilai, tujuan, dan orientasi eksistensial. Dua insan yang saling mencintai tetapi kehilangan arahkiblat yang sama adalah dua jiwa yang berpotensi saling mencintai, namun tak bisa berjalan bersama.
Penutup: Musik Populer sebagai Ruang Perenungan
Lagu Mangu bukan hanya karya musik, tetapi juga artefak kultural. Ia berbicara tentang ketegangan antara cinta dan spiritualitas dalam masyarakat plural. Analisis musikologis memperkuat kenyataan bahwa kesedihan dan kontemplasi tidak hanya datang dari lirik, melainkan juga dari bagaimana musik dibangun secara struktural. Dalam dunia yang semakin tergesa, Mangu hadir untuk mengajak kita berhenti sejenak, memikirkan ulang makna cinta, keyakinan, dan diam. Lagu ini tidak memberikan jawaban, melainkan ruang untuk memahami luka yang sunyi namun
dalam.
Referensi
- Kierkegaard, S. (1843). Fear and Trembling.
- Meyer, Leonard B. (1956). Emotion and Meaning in Music. University of Chicago Press.
- Tagg, Philip. (2013). Music’s Meanings: A Modern Musicology for Non-Musos.
- Spotify. (2017). Mangu – Fourtwnty ft. Charita Utami.
- Liputan6. (2025). Di Balik Viralnya Lagu Mangu dari Fourtwnty.
- Detik. (2025). Lirik Lagu Mangu Fourtwnty ft. Charita Utami









