Opini
Meningkatnya Keterlibatan Perempuan Dalam Aksi Terorisme
Published
4 years agoon
By
Mitra WacanaFenomena aksi terorisme yang banyak terjadi belakangan ini sangat memprihatinkan. Menurut data dari Mabes Polri, mulai bulan januari – maret 2021 Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror telah menangkap sebanyak 94 orang tersangka teroris yang tersebar di berbagai wilayah diantaranya dari Sumatera Utara, Sumatera Barat, Gorontalo, hingga Jawa Timur. Belum lagi aksi terror bom bunuh diri yang terjadi pada Minggu, 28 Maret 2021 di Gereja Katedral Hati Kudus Yesus Makasar. Aksi bom bunuh diri ini melibatkan sepasang suami istri yang baru menikah 6 bulan. Selain itu kasus terbaru adalah tersangka teroris inisial ZA yang nekat menerobos mabes polri untuk melakukan amaliahnya dengan menyerang polisi menggunakan senjata airgun.
Apa sih sebetulnya terorisme itu ?
Kalau kita mengacu pada definisi terorisme UU No. 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang yaitu Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
Bisa kita lihat bahwa tujuan dari terorisme ini adalah mencipatakan suasana terror dan rasa takut secara luas di masyarakat yang dilatarbelakangi oleh motif idiologi maupun politik serta untuk eksistensi kelompok mereka agar banyak orang yang memperhatikannya. Aksi teroris ini ini merupakan manifestasi dari pandangan mereka melakukan amaliah untuk menuju syurga.
Dari semua pelaku teroris bom bunuh diri, mereka menganggap tindakan amaliyah bom bunuh diri sebagai jalan jihad untuk mendapatkan mati syahid. Pandangan inilah yang keliru mereka pahami. Mereka sudah didoktrin dengan pemahaman yang salah sehingga mereka gampang sekali mengkafirkan dan menganggap orang / kelompok masyarakat yang bersebrangan dengan mereka halal untuk di bunuh. Melihat bebarapa kasus yang terjadi akhir-akhir ini, para teroris ini lebih banyak menyerang polisi.
Hal ini dikarenakan meraka menganggap bahwa polisi yang selama ini menghalang-halangi kelompok mereka melakukan aksi amaliyahnya. Selain itu kelompok mereka juga meyakini bahwa hukum yang dibuat oleh manusia seperti demokrasi, pancasila, UUD 1945 dan lain sebagainya termasuk perangkat negara seperti polisi dan TNI adalah thogut dan harus diganti dengan pemerintahan islami atau khilafah. Biasanya para teroris ini mengatas namakan agama dalam melakukan amaliyahnya dan pembenaran atas apa yang mereka lakukan. Seolah-olah ini merupakan perintah dari tuhan langsung untuk menegakkan negara islam. Pada dasarnya tidak ada satu agama pun yang mengajurkan untuk melakukan kekerasan dan pembunuhan kepada sesama makhluk tuhan.
Dari serentetan kasus terorisme yang terjadi, perlu menjadi perhatian kita bersama adalah adanya peningkatan keterlibatan perempuan dalam aksi-aksi terorisme saat ini. Menurut Milda Istiqomah Peneliti hukum dan HAM LP3ES sekaligus dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang mengatakan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun (2010 – 2020) tahanan perempuan yang terkait kasus terorisme ada 39 orang.
Data ini harus menjadi peringatan bagi kita semua bahwa saat ini perempuan tidak hanya dilibatkan dibelakang layar seperti pengirim pesan, menyimpan bahan peledak, merekrut anggota baru saja. Para perempuan teroris ini dilibatkan langsung dalam aksi-aksi amaliyah sebagai pelaku bom bunuh diri. Dengan perkembangan teknologi saat ini, kini terjadi pergeseran cara mereka dalam menyebarkan paham terorisme ini. mereka menyuarakan dan merekrut calon-calon jihadis menggunakan media social dan menyasar kaum-kaum milenial dan kelompok perempuan sebagai martir. Kaum milenial lebih gampang disusupi oleh paham terorisme karena mereka masih dalam fase pencarian jati diri. Mereka juga merupakan kelompok yang paling banyak menggunakan internet dan media sosial.
Untuk itu perlu kehati-hatian untuk kita semua dalam mengakses informasi yang ada di internet karena tidak semua informasi dari internet benar dan sesuai dengan fakta. Paham terorisme dapat menyerang siapa saja tak terkecuali kaum milenial maupun perempuan. Upaya yang bisa kita lakukan untuk menghadapi dan mengantisipasi penyebaran paham terorisme dengan cara memahami ajaran agama sebagai sumber nilai-nilai kebaikan dan toleransi yang justru bertentangan dengan paham terorisme.
(ruly)
Referensi :
- https://www.kompas.com/tren/read/2021/04/03/203100165/menilik-keterlibatan-perempuan-dalam-pusaran-terorisme?page=all
- Talkshow Mitra Wacana dengan tema “ Peran Perempuan di Pusaran Terorisme” di Radio Smart 102.1 FM Tanggal 12 April 2021 Pukul 10.00 – 11.00 WIB Narasumber H.M. Anis Mashduqi, Lc., MSI. Ketua Bidang Agama, Sosial, Budaya Forum Kordinasi Penanggulangan Teroris (FKPT) DIY
Opini
RUU PPRT dan Eksploitasi Pekerja Rumah Tangga (Analisis Feminis)
Published
4 weeks agoon
8 November 2024By
Mitra WacanaDi balik gemerlapnya kehidupan perkotaan dan kemewahan yang dipamerkan oleh sebagian besar keluarga Indonesia, ada satu sektor yang sering terabaikan dan dibiarkan terjerat dalam eksploitasi pekerja rumah tangga (PRT). Bukan hanya pekerjaan yang tidak dihargai, tetapi juga kelompok pekerja ini sering diperlakukan tanpa keadilan.
Mereka adalah perempuan-perempuan yang menjadi korban dari sistem patriarki dan ketidakpedulian negara, berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan kondisi yang lebih mirip perbudakan modern daripada pekerjaan yang dihargai. Bayangkan, selama lebih dari dua dekade, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang seharusnya memberikan perlindungan bagi mereka, masih diperdebatkan dan tertunda pengesahannya.
Mengapa? Apakah kita, sebagai masyarakat, begitu terbuai dengan kenyamanan dan kemewahan yang didapat dari eksploitasi kerja mereka hingga tak mampu melihat kesengsaraan di baliknya?
Saya di sini aakan mencoba membongkar realita pahit di balik pekerjaan rumah tangga berdasarkan data-data yang ada, mengungkap bagaimana ideologi feminis menawarkan jalan keluar, dan mengapa pengesahan RUU PPRT adalah langkah mendesak untuk menciptakan keadilan sosial yang sesungguhnya.
Perspektif feminis sangat relevan dalam memahami isu ini, mengingat mayoritas PRT adalah perempuan. Pekerjaan domestik, yang secara tradisional dianggap sebagai “kerja perempuan,” sering kali tidak dihargai dan dilindungi.
Eksploitasi PRT dan Perspektif Feminisme
Dalam masyarakat patriarkal, pekerjaan rumah tangga sering kali dipandang sebagai tugas alami perempuan. Hal ini menciptakan stigma bahwa pekerjaan domestik, termasuk yang dilakukan oleh PRT, tidak memiliki nilai ekonomi yang signifikan.
Perspektif feminis menekankan bahwa pekerjaan domestik adalah elemen penting dalam mendukung aktivitas ekonomi keluarga, terutama bagi kelas menengah dan atas.
Bell hooks, dalam bukunya Feminism is for Everybody, menekankan bahwa feminisme harus mencakup perjuangan untuk keadilan bagi perempuan pekerja dari kelas bawah. Ia mengkritik bagaimana kapitalisme dan patriarki berkontribusi pada marginalisasi pekerjaan domestik, yang mayoritas dilakukan oleh perempuan dari latar belakang ekonomi yang kurang mampu.
Hooks menegaskan bahwa pekerjaan domestik tidak boleh diremehkan atau dieksploitasi.
Sebagian besar PRT di Indonesia berasal dari pedesaan dan memiliki tingkat pendidikan rendah. Ketimpangan kelas ini memperburuk kerentanan mereka terhadap eksploitasi.
Banyak PRT yang bekerja lebih dari 12 jam sehari tanpa jaminan sosial atau perlindungan hukum. Ketiadaan regulasi memperparah ketimpangan ini, membuat mereka mudah dieksploitasi oleh pemberi kerja yang tidak bertanggung jawab.
Gambaran Eksploitasi PRT
Salah satu kasus paling menonjol yang menggambarkan pentingnya perlindungan hukum bagi PRT adalah kasus Erwiana Sulistyaningsih. Erwiana adalah PRT asal Indonesia yang bekerja di Hong Kong.
Selama bekerja, ia mengalami kekerasan fisik dan mental yang parah dari majikannya. Erwiana dipaksa bekerja tanpa istirahat, menerima upah yang sangat minim, dan tidak diberikan akses layanan kesehatan saat ia sakit.
Kasus Erwiana menarik perhatian internasional dan menjadi simbol perjuangan hak PRT. Meskipun terjadi di luar negeri, kasus ini mencerminkan kondisi yang serupa dialami oleh banyak PRT di Indonesia. Tanpa regulasi seperti RUU PPRT, pelanggaran hak terhadap PRT cenderung terus terjadi tanpa ada sanksi tegas bagi pelaku.
RUU PPRT: Solusi untuk Perlindungan PRT
RUU PPRT muncul sebagai jawaban atas kebutuhan mendesak untuk melindungi pekerja rumah tangga yang selama ini sering kali terabaikan dan dieksploitasi. Rancangan Undang-Undang ini dirancang untuk memberikan perlindungan hukum yang lebih komprehensif, dengan berbagai poin penting yang dapat mengubah nasib para pekerja rumah tangga.
Salah satunya adalah pengaturan mengenai hak atas kontrak kerja formal, yang selama ini menjadi hal yang langka bagi sebagian besar PRT. Tanpa kontrak yang jelas, mereka sering kali dirugikan dalam hal upah, jam kerja, dan hak-hak lainnya.
Selain itu, RUU PPRT juga menetapkan jam kerja yang wajar, sebuah langkah krusial untuk memastikan bahwa PRT tidak dipaksa bekerja tanpa henti, tanpa waktu istirahat yang cukup.
Tidak hanya itu, RUU ini juga menjamin bahwa para pekerja rumah tangga akan mendapatkan upah minimum yang sesuai dengan standar yang berlaku, memberikan mereka hak yang sama untuk mendapatkan penghasilan yang layak.
Pentingnya jaminan sosial dan kesehatan juga diatur dalam RUU ini, memastikan bahwa PRT tidak hanya diakui sebagai pekerja, tetapi juga diberikan perlindungan atas kesehatan mereka yang sering kali terabaikan.
Untuk mendukung hal tersebut, mekanisme pengaduan yang jelas juga disediakan bagi PRT yang menghadapi pelanggaran hak, membuka pintu untuk keadilan yang lebih cepat dan aksesibilitas bagi mereka yang membutuhkan perlindungan.
Namun, lebih dari sekadar perlindungan hukum, RUU PPRT juga bertujuan untuk menghapus stigma terhadap pekerjaan rumah tangga. Pekerjaan ini, yang selama ini dianggap sebagai pekerjaan “tidak penting” dan hanya layak dilakukan oleh perempuan dari lapisan masyarakat bawah, kini akan diakui sebagai sektor formal yang memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian negara.
Dengan demikian, RUU PPRT tidak hanya melindungi hak-hak PRT, tetapi juga mengangkat martabat mereka sebagai pekerja yang berharga dalam struktur sosial dan ekonomi.
Namun, pengesahan RUU PPRT menghadapi berbagai tantangan, mulai dari resistensi politik hingga kurangnya kesadaran publik akan pentingnya regulasi ini. Beberapa pihak berargumen bahwa regulasi ini akan memberatkan pemberi kerja.
Namun, perspektif feminis menekankan bahwa perlindungan hak PRT bukan hanya tentang kepentingan individu, tetapi juga tentang keadilan sosial dan pengakuan atas kontribusi ekonomi mereka.
Mengapa Perspektif Feminisme Penting dalam Perjuangan RUU PPRT?
Feminisme menekankan bahwa pekerjaan domestik harus diakui sebagai pekerjaan formal yang memiliki nilai ekonomi dan sosial. Pengesahan RUU PPRT akan menjadi langkah penting dalam menghapus stigma bahwa pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan “tidak penting.”
Hal tersebut juga akan memberikan pengakuan yang layak bagi perempuan yang selama ini terjebak dalam lingkaran eksploitasi karena pekerjaan mereka tidak dihargai secara formal.
Selain itu, eksploitasi terhadap PRT adalah bagian dari masalah yang lebih besar dalam budaya patriarki yang menganggap pekerjaan perempuan sebagai sesuatu yang dapat dieksploitasi tanpa konsekuensi.
Pengesahan RUU PPRT tidak hanya akan memberikan perlindungan hukum, tetapi juga membantu mengubah cara pandang masyarakat terhadap pekerjaan domestik, sehingga menciptakan lingkungan yang lebih setara dan adil.
Dengan demikian, pekerja rumah tangga adalah kelompok yang sangat rentan terhadap eksploitasi dan pelanggaran hak di Indonesia. Perspektif feminis, seperti yang diusung oleh bell hooks, menyoroti pentingnya melawan ketidakadilan ini dengan mengakui pekerjaan rumah tangga sebagai pekerjaan formal yang layak dihargai dan dilindungi.
Kasus Erwiana Sulistyaningsih menunjukkan bagaimana kekerasan dan eksploitasi dapat terjadi dalam ketiadaan perlindungan hukum.
Pengesahan RUU PPRT adalah langkah penting untuk memastikan keadilan sosial dan kesetaraan gender. RUU ini akan memberikan perlindungan hukum bagi PRT, meningkatkan kondisi kerja mereka, dan menghapus stigma negatif terhadap pekerjaan domestik.
Dengan demikian, perjuangan untuk pengesahan RUU ini harus menjadi prioritas dalam upaya menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara.
Referensi
- hooks, bell. Feminism is for Everybody: Passionate Politics. South End Press, 2000.
- Komnas Perempuan. Satu Suara Wujudkan Cita-Cita untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, 2024. https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-komnas-perempuan-peringatan-26-tahun-komnas-perempuan
JALA PRT. Statistik Pelanggaran Hak PRT di Indonesia, 2023.