web analytics
Connect with us

Opini

Sadarlah, Kita Ini Majemuk

Published

on

Wahyu Tanoto (Dewan Pengurus Mitra Wacana)

Kita semua memahami bahwa bangsa kita memiliki beragam Suku, Agama, Ras, Budaya, dan golongan sejak lama bahkan sebelum muncul Indonesia. Maka sikap toleransi mestinya menjadi nilai-nilai dan praktik kehidupan warganya. Termasuk pada bulan puasa seperti sekarang ini.

Puasa, sebagai kesadaran pribadi dan “ panggilan iman “ seyogianya dapat mengajarkan kepada kita untuk bersikap dewasa dalam beragama. Bagi yang tidak berpuasa hendaknya mampu menghormati dan menghargai yang berpuasa. Sebaliknya, bagi yang menjalankan puasa, juga dapat melihat dengan bijaksana, mampu menerima, melayani atau bahkan mengakomodasi mereka yang tidak puasa.

Meskipun penduduk Indonesia mayoritas beridentitas agama Islam, bukan berarti otomatis sebagai Negara agama. Dalam konteks ini, biarkanlah warung makan, toko-toko, restoran tetap buka dan para penjual makanan tetap dapat berkeliling menawarkan barang dagangannya dengan rasa aman-nyaman tanpa khawatir di “geruduk” oleh kelompok tertentu yang mengatasnamakan agama.

Jika kita sepakat bahwa puasa diniatkan sebagai ibadah yang menuntun terbentuknya perilaku agar lebih memahami dan toleran terhadap sesama, sejatinya pengurangan jam kerja, pembatasan pelayanan publik atau bahkan pemasangan korden/tirai di rumah makan tidaklah diperlukan.

Boleh jadi begini, bagi yang menjalankan puasa, tidak perlu manja dan minta diperlakukan istimewa. Sebaliknya bagi yang tidak puasa juga berlaku hal yang sama. Karena, di dalam puasa, terkandung nilai-nilai penghormatan kepada mereka yang puasa dan tidak berpuasa; baik yang muslim maupun non-muslim. Bahkan ada sebagian golongan yang memang dibolehkan untuk tidak berpuasa; pekerja berat, lansia, orang yang sakit “berat”, perempuan hamil dan para musafir.

Menurut aktivis perempuan Sri Roviana, dalam kajian menjelang buka puasa dengan tema Puasa, Toleransi dan Spirit Menjaga Kemajemukan (27/4/21) di kantor perkumpulan Mitra Wacana menyebutkan bahwa ada keterkaitan puasa, toleransi dan kemajemukan. ” Jadi kita bisa menemukan ajaran dan puasa ada di agama-agama di luar Islam “, ungkapnya. Kemajemukan merupakan keniscayaan yang tidak dapat ditolak oleh manusia karena memang sengaja di desain seperti itu agar manusia saling mengenal dan memahami keberadaan satu sama lain.

Ada beberapa hal yang menjadi akar kemajemukan yang diungkapkan oleh Sri Roviana, diantaranya yaitu: (1). Sebab-sebab alamiah: manusia memiliki sifat-sifat bawaan (fitrah) yang mendorong mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang baik atau tidak baik dan membentuk karakter individual yang unik: berbeda dengan manusia yang lainnya. (2). Sebab-sebab ilmiah: perbedaan yang terjadi karena “nature” teks Agama, proses, dan pendekatan intelektual dalam memahami teks keagamaan. Sebab-sebab ilmiah melahirkan perbedaan ideologi organisasi dan gerakan keagamaan.(3). Sebab-sebab amaliah: perilaku dan kecenderungan manusia dalam melaksanakan pemahaman dan berbagai aspek yang terkait dengan proses dialog dan dialektika sosial-keagamaan.

Saya teringat pernyataan M. Amin Abdullah yang memberikan contoh sederhana untuk tema kemajemukan dalam sebuah wawancara yang pernah saya lakukan beberapa tahun lalu yang menyatakan bahwa, ketika keluar dari pintu rumah kita saja sudah majemuk, lalu untuk apa mempertentangkannya. Bajunya sudah beda, logatnya beda, kebiasaannya juga beda.

Dari sini saya dapat mengambil pelajaran berharga bahwa pada prinsipnya kemajemukan itu nyata, tidak mengada – ada. Boleh jadi yang dibutuhkan oleh saya adalah memiliki kesadaran penuh untuk menerima kemajemukan tersebut agar sisi kemanusiaan yang melekat pada saya semakin bertumbuh dewasa dan tidak merasa paling benar. Semoga. Wallahu a’lam.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Slang Pada Kacamata Sosiolinguistik

Published

on

Sumber foto: Freepik

Annisa Aulia Amanda
Mahasiswi Sastra Indonesia di Universitas Andalas

Bahasa gaul telah menjadi bagian tak terpisahkan dari komunikasi daring, membentuk cara individu berinteraksi dan mengekspresikan diri di ruang digital. Di platform media digital seperti Facebook, Instagram, Twitter terjadi komunikasi bahasa gaul dalam kelompok. Walaupun tidak memiliki batasan kelompok, namun tetap terjadi pengelompokan akibat ketertarikan akan satu hal yang sama.

Bahasa menurut Sasole dan Hadiwijaya (2024) adalah suatu sistem lambang bunyi yang digunakan oleh manusia untuk berinteraksi, sebagaimana dilihat dari fungsinya bahwa fungsi bahasa itu untuk berkomunikasi dan interaksi. Bahasa memiliki berbagai variasi berdasarkan hal-hal tertentu, seperti situasi. Variasi bahasa atau ragam bahasa berdasarkan situasi dibagi menjadi dua, yaitu ragam bahasa santai atau akrab (non formal) dan ragam bahasa formal (Farhan, 2023).

Ragam bahasa formal adalah ragam bahasa yang digunakan dalam situasi formal. Menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan konvensi bahasa. Berbeda dengan bahasa santai atau akrab, adalah ragam bahasa yang biasa digunakan dalam masyarakat. Ragam bahasa ini lebih mudah dimengerti ketika digunakan dalam berkomunikasi dengan masyarakat sekitar karena tidak terlalu kaku. Salah satu yang termasuk dalam ragam bahasa santai atau akrab adalah bahasa gaul.

Bahasa gaul atau slang adalah bahasa yang sifatnya nonformal dan diciptakan oleh komunitas tertentu yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Istilah yang digunakan tidak terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, atau padanan kata yang sesuai dengan konvensi bahasa. Tentu dalam berkomunikasi di komunitas, penggunaan slang tidak akan terhindarkan. Komunitas tentunya menciptakan istilah-istilah tertentu yang hanya diketahui oleh anggota komunitas tersebut.

Slang dapat dianggap sebagai kode-kode khusus yang hanya dipahami oleh beberapa komunitas. Slang adalah bentuk modifikasi bahasa yang menciptakan makna baru untuk komunikasi dalam komunitas yang bersifat musiman. Chaer dan Agustina mengemukakan bahwa slang adalah variasi sosial yang bersifat khusus dan rahasia sehingga hanya sedikit orang yang memahaminya (Sasole & Hadiwijaya, 2024). Menurut Nabila, bahasa slang juga dapat dibentuk melalui pembentukan kata baru yang berasal dari bahasa asing dan pelesetan sehingga memiliki makna baru namun memiliki makna yang berkaitan (Fadli, Kasmawati, & Mastur, 2024). Menurut Fabelia, ciri-ciri slang adalah; 1) kata-kata tidak formal, 2) bahasa slang umumnya digunakan hanya untuk berbicara dibanding tulisan, dan 3) dipakai dalam konteks dan kelompok orang tertentu.

Penelitian mengenai slang menggunakan pendekatan sosiolinguistik, yang menurut Wardhaugh, Holmes, dan Hudson dalam Farhan (2023), merupakan disiplin ilmu yang mempelajari hubungan antara bahasa dan masyarakat. Sosiolinguistik menghubungkan dua bidang yang biasanya dikaji secara terpisah yaitu struktur formal bahasa yang dianalisis oleh linguistik dan struktur masyarakat yang dianalisis oleh sosiologi. Dalam konteks ini, kajian sosiolinguistik berfokus pada interaksi antara bahasa dan masyarakat pengguna bahasa tersebut. Oleh karena itu, slang, sebagai bentuk bahasa yang digunakan dalam komunitas tertentu, termasuk dalam kajian sosiolinguistik.

Contoh analisis data didapatkan dari unggahan Instagram pada akun webtoon.id. Webtoon.id merupakan komunitas penggemar platform komik digital tersebut. Berikut data yang ditemukan;

 

  1. Aku tiap melihat ayang gepengku

Istilah “gepeng” merupakan sinonim dari “pipih”. Istilah ini ditautkan untuk tokoh-tokoh komik, karena komik adalah karya seni 2 dimensi. Umumnya istilah ini ditujukan sebagai ejekan agar penggemar ingat karakter yang mereka sukai adalah tokoh komik semata.

  1. Menyala, Kapalku!

Istilah “kapal” merupakan kata yang berasal dari Bahasa Inggris yaitu “ship”. “Ship” sendiri merupakan slang dari Bahasa Inggris yang merupakan penggalan dari kata “relationship” yang berarti “hubungan”. Istilah ini merujuk pada keinginan penggemar untuk satu tokoh memiliki hubungan dengan tokoh lainnya.

  1. Thor! Lu yang bener saja, thor!

Istilah “thor” merupakan penggalan dari kata Bahasa Inggris yaitu “author”. “Author” dalam Bahasa Indonesia adalah “pengarang”. Istilah ini merujuk pada pencipta karya.

  1. Si paling slow burn

Istilah “slow burn” berasal dari bahasa Inggris yang berarti “pembakaran lambat”. Merujuk pada cerita yang amat lama untuk kedua tokoh saling mengungkap rasa dan memiliki hubungan. Terkadang satu pasangan itu membutuhkan seluruh series buku yang ada hanya untuk saling mengutarakan perasaan.

 

Kesimpulannya, keberadaan slang sangat dipengaruhi oleh masa dan komunitas yang menggunakannya sehingga maknanya sering kali hanya diketahui oleh anggota komunitas atau individu dengan kesamaan minat. Dalam konteks komunitas penggemar Webtoon di Instagram Webtoon.id, slang yang digunakan hanya dapat dipahami oleh mereka yang akrab dengan komik atau karya terkait lainnya. Bagi khalayak umum, memahami makna slang ini bisa menjadi tantangan. Hal ini menunjukkan bagaimana bahasa dapat berfungsi sebagai alat identitas dan eksklusif sosial, menciptakan batasan-batasan linguistik yang membedakan anggota komunitas dari masyarakat umum.

Continue Reading

Trending