Berita
Menjadi Wilayah Aerotropolis, Rentan TPPO Kalurahan Temon Terdampak Bandara YIA

Published
4 weeks agoon
By
Mitra Wacana
Mitra Wacana diseminasikan hasil asesmen terkait kerentanan sosial, isu migran dan perdagangan orang di wilayah Temon, Kulon Progo yang terdampak bandara Yogyakarta International Airport (YIA) pada Senin (26/05/2025) di Kopi Luwak Mataram, Yogyakarta. Dalam kegiatan ini, Mitra Wacana mengundang 20 lembaga pemerintah dan nonpemerintah. Diseminasi hasil asesmen ini menjadi bagian dari upaya pencegahan dan penanganan perdagangan orang di Yogyakarta.
Pertemuan ini membahas tentang wilayah Temon yang kini menjadi wilayah aerotropolis sejak beroperasinya bandara Yogyakarta International Airport (YIA). Keberadaan bandara internasional ini menyimpan potensi terjadinya tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Tercatat dari tahun 2023 hingga 2024, tercatat ada 3 kasus TPPO dengan korban sebanyak 31 orang. Hal ini menjadi data awal untuk menggali lebih dalam tentang bagaimana keberadaan bandara ini bisa memicu TPPO baik sebagai asal, transit maupun tujuan TPPO. Mitra Wacana juga memotret, adanya bandara ini juga menjadi faktor besar terjadinya perubahan sosial di wilayah aerotropolis.
Mona Iswandari dari Divisi Penelitian dan Advokasi Mitra Wacana menyampaikan beberapa poin yang menjadi tujuan asesmen ini. Pertama, asesmen bertujuan memotret perubahan sosial-ekonomi masyarakat pasca beroperasinya YIA. Kedua, memotret kerentanan daerah sekitar bandara sebagai tempat transit perdagangan orang. Ketiga, menginventarisir sumber daya dan dukungan pencegahan dan penanganan. Keempat, memotret sosialisasi dan implementasi kebijakan, program pencegahan dan penanganan perdagangan orang. Kelima, memberikan masukan dan rekomendasi inisiasi perubahan kebijakan baik di tingkat Kabupaten Maupun DIY.
Dalam penelitian ini Mitra Wacana melakukan survey terhadap 160 responden dari kelompok masyarakat, pemerintah kelurahan dan pelaku usaha. Dari sisi sosial, pembangunan bandara awalnya memunculkan banyak bisnis baru seperti warung, kos dan transportasi. Namun usaha-usaha ini meredup setelah proyek pembangunan bandara selesai. Dibangunnya YIA juga merubah tata ruang dan ekologis yang mempengaruhi mata pencaharian masyarakat hingga mempersulit masyarakat memperoleh penghidupan yang layak. Terbatasnya akses, modal dan kompetensi menjadikan masyarakat terdampak tidak memperoleh banyak manfaat dari pembangunan ini.
Masyarakat Temon bahkan harus berhadapan dengan kekhawatiran akan meningkatnya kriminalitas, masalah sosial dan perubahan nilai-norma-gaya hidup dengan tumbuhnya penginapan dan karaoke di wilayah aerotropolis. Selain itu, arus migrasi penduduk tidak bisa dikontrol oleh pemerintah kalurahan sehingga menyulitkan dalam pemantauan dan mitigasi masalah sosial tersebut.
Arif dari DP3AP2 DIY mengomentari terkait kerentanan yang dihadapi masyarakat. “Kerentanan yang paling mencolok adalah adanya tempat hiburan yang tidak sesuai dengan perizinan awalnya. (Tempat hiburan ini) menggaet pekerjanya melalui LC (lady companion). Ada data yang masuk di kami, itu menjadi korban KS dan masih di usia anak. Masalahnya mereka juga ada backingan dan ini mempersulit kami, tapi tidak kuat untuk menutupnya. Yang bisa dilakukan adalah sosialisasi dengan kelurahan agar tidak muncul tempat hiburan agar tidak menarik anak-anak perempuan untuk menjadi LC” ungkapnya.
Hasil asesmen juga menunjukan bahwa baik masyarakat, pelaku usaha maupun pemerintah kelurahan telah memiliki pemahaman, kesadaran dan komitmen untuk mendukung pencegahan dan penanganan TPPO. Namun masyarakat belum sepenuhnya mengetahui mekanisme aduan dan layanan pencegahan dan penanganan ini. Padahal kondisi ekonomi masyarakat yang kurang baik meningkatkan kerentanan mereka terjebak dalam penipuan, kriminalitas terutama menjadi korban TPPO. Dalam hal ini, sektor hiburan, transportasi dan penginapan rawan menjadi lokus terjadinya perdagangan orang.
Atas alasan-alasan di atas, responden mengharapkan adanya sosialisasi dan edukasi mengenai pencegahan/penanganan TPPO hingga ke lapisan masyarakat terbawah. Kemudian perlu adanya kolaborasi dan sinergi antara masyarakat, pelaku usaha dan pemerintah dalam merespon ancaman TPPO. Selain itu, pengawasan yang ketat, pendataan arus migrasi penduduk, memperketat perekrutan tenaga kerja dan perlindungan pekerja migran juga harus diupayakan secara serius oleh pemerintah DIY hingga di level kelurahan. Lebih jauh, menciptakan peluang kerja dalam negeri juga krusial dilakukan demi membentengi masyarakat dari TPPO.
Berita
Perempuan Indonesia Merajut Solidaritas: Suara dari Akar Rumput untuk Keadilan dan Kemanusiaan

Published
3 weeks agoon
2 June 2025By
Mitra Wacana
Oleh Nurmalia Ika Widiasari, S.H., MKn (Dewan Pengurus Mitra Wacana)
Jakarta, 24 Mei 2025 — Di tengah tantangan kesetaraan gender dan ketidakadilan sosial yang masih mengemuka di Indonesia, para perempuan dari berbagai penjuru tanah air berkumpul di lantai 4 Grha Pemuda Katedral Jakarta dalam forum diskusi bertajuk “Perempuan Indonesia Merajut Solidaritas Bersama.” Acara ini merupakan serial ketiga dari Bonum Commune Forum (BCF) yang diselenggarakan oleh Keuskupan Agung Jakarta dan 5P Global Movement. Mitra Wacana hadir sebagai tamu istimewa dan duduk di barisan depan forum tersebut.
Mengusung semangat Hari Perempuan Internasional bertema “For All Women and Girls: Rights. Equality. Empowerment,” forum ini menegaskan bahwa perjuangan perempuan bukan sekadar selebrasi simbolik, melainkan panggilan untuk aksi nyata. Acara dibuka dengan sambutan hangat dan selingan humor oleh Inaya Wahid, aktivis dan seniman, yang menghidupkan suasana diskusi sejak menit pertama.
Tiga narasumber utama hadir dengan cerita dan perjuangan yang menyentuh. Sumini, pengelola hutan adat dari Aceh, membagikan kisah perjuangannya menjaga hutan dengan pendekatan damai. “Kami tidak melawan para pembakar hutan dengan kekerasan, kami ajak makan, lalu berdialog,” ungkapnya, sambil menegaskan bahwa keberlanjutan lingkungan bisa dimulai dari tindakan kecil dan konsisten.
Suster Laurentina, yang dikenal sebagai “Suster Cargo,” membagikan realitas pahit para Buruh Migran (BM) asal NTT. Ia menyinggung banyaknya BM yang meninggal di luar negeri tanpa perlindungan hukum yang memadai. “Kadang saya disebut perempuan kurang kerjaan karena urus jenazah. Tapi ini panggilan hati,” tegasnya, yang disambut tawa haru peserta ketika ia menjawab guyonan Inaya dengan spontan dan jenaka.
Sementara itu, Octavia Wuri dari Sekolah Tanpa Batas menuturkan perjuangannya mendirikan sekolah inklusif bagi anak-anak difabel dan marjinal. Ia nyaris menyerah, hingga seorang siswanya mengaku ingin bunuh diri. “Saat itu saya tahu, saya tidak bisa berhenti,” katanya, lirih namun penuh daya.
Diskusi semakin kuat ketika penanggap seperti Karlina Supeli dan Andar Nubowo menekankan pentingnya memperluas solidaritas lintas isu dan gender. Karlina menyoroti bahwa perubahan sosial bisa memakan waktu hingga 2000 tahun jika tidak ada intervensi nyata. Sedangkan Andar menyebut tiga perempuan pembicara sebagai “Power Rangers perubahan.”
Isu-isu penting seperti larangan pendirian rumah ibadah, diskriminasi Ahmadiyah, hingga pembongkaran makam juga mengemuka dalam sesi tanya jawab. Inaya Wahid merespons dengan tegas bahwa perjuangan Gusdurian adalah membela yang minoritas dan terpinggirkan, karena “mereka yang kerap dilupakan negara.”
Forum ditutup dengan pernyataan solidaritas dari peserta lintas iman, termasuk Pak Kusbini yang menyampaikan duka atas wafatnya Paus dan harapan atas pemilihan Paus Leo. “Kita mungkin tidak seiman, tapi kita sejalan dalam perjuangan kemanusiaan,” ujarnya mantap.
Kegiatan ini menjadi bukti bahwa suara perempuan dari akar rumput adalah kunci untuk membangun Indonesia yang inklusif, adil, dan berkelanjutan.

Puisi ‘Dendam’ Karya Chairil Anwar: Estetika dan Semiosis Peirce Cinta Aulia Margaretha Habeahan

Nilai Metafora Pada Puisi “ Hujan Deras di Waktu Senja”
