Arsip
Menyingkap Pengalaman Buruh Migran Perempuan Kulon Progo
Published
12 years agoon
By
Mitra Wacana
Senin 14 April pukul 11.00-12.00 WIB telah terselenggara talkshow di radio Eltira oleh Mitra Wacana bertema Menyingkap yang Terbungkam (Pengalaman Buruh Migran Perempuan Kulon Progo) dengan narasumber Ignatius Kerta Mau (Mitra Wacana) dan Sekti Rohani (mantan buruh migran)
Indonesia sebagai negara yang besar memiliki sumber daya manusia yang sangat besar. Dengan jumlah 250 juta jiwa dan kekayaan alam yang melimpah, seharusnya Indonesia menjadi Negara yang kuat. Sayang, minimnya lapangan kerja akibat kebijakan yang kurang memanfaatkan alam memaksa perempuan di Indonesia sebagai penopang terakhir keluarga tidak memiliki pilihan selain berangkat bekerja ke luar negeri.
Namun perjuangan buruh migran perempuan dari awal keberangkatan hingga kepulangan sangat berat. Secara finansial (keuangan), biaya bekerja di luar negeri, jika dihitung dengan teliti, sangat banyak, seperti biaya perjalanan, pembuatan passport dan dokumen-dokumen lainnya. Karena itu banyak calon buruh migran terpaksa utang atau menjual barang berharga yang ada. Sementara Pelayanan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) berkedok menolong dengan membebaskan biaya perjalanan, namun menetapkan potongan gaji jika sudah bekerja selama 7-12 bulan dengan potongan bervariasi tergantung Negara tujuan pekerja.
Perpisahan jarak antara suami dan istri bagi buruh migran berdampak pada keretakan perkawinan. Beberapa hal yang menjadi trigger keretakan perkawinan diantaranya: Tidak terpenuhinya kebutuhan biologis , serta ketidaksiapan baik suami maupun istri menerima kembali pasangan ketika pulang akibat kultur dan kebiasaan yang berbeda selama di perantauan. Sementara itu perpisahan anak dengan ibunya berpengaruh pada psikis anak, Bahkan ada anak menyalahkan ibunya ketika mengalami masalah dengan keluarga.
Sementara itu BNP2TKI selaku wakil pemerintah untuk penanganan buruh migran selama periode 1 Januari sampai 11 Desember 2013 menerima sebanyak 4.180 pengaduan kasus dan permasalahan dari TKI dan keluarga TKI. Dari jumlah tersebut terdapat 43 item kasus atau masalah TKI yang telah dipilah, dan 10 item kasus di antaranya yang jumlahnya terbanyak – seperti TKI ingin dipulangkan, gaji tak dibayar, putus shubungan komunikasi, meninggal dunia di negara tujuan, pekerjaan tidak sesuai perjanjian kerja, sakit atau rawat inap, PHK sepihak, tidak berdokumen, tindak kekerasan dari majikan, dan gagal berangkat. Sedangkan 33 item kasus lainnya, jumlah pengaduannya tertinggi 86 pengadu dan terendah 1 pengadu. Jumlah diatas adalah jumlah yang resmi masuk pengaduan. Fenomena ketidakadilan yang diterima buruh migran adalah fenomena gunung es.
Seperti kasus terakhir yang menyedot perhatian nasional, Satinah perempuan asal Ungaran, Jawa Tengah pergi ke Arab Saudi sebagai TKI pada bulan September 2006 . Kasus Satinah bermula ketika Satinah membunuh Nura Al Garib, majikan perempuannya, pada 2007 lalu. Ia mengatakan terpaksa membunuh lantaran tak terima dituduh mencuri uang sang majikan senilai 38 ribu riyal. Ia juga sering dianiaya dan diperlakukan tak senonoh oleh majikan. Satinah akhirnya terbebas dari hukuman ekskusi mati di Arab Saudi setelah Pemerintah Indonesia setuju membayarkan uang tebusan (diyat) senilai 7 juta riyal atau setara dengan Rp21 miliar. Penggalangan dana publik oleh Migrant Care yang nilai total Rp 3,6 miliar untuk pembayaran diyat Satinah belum digunakan, karena kasus Satinah sudah ditangani oleh pemerintah Indonesia. Masih ada lebih dari 100 TKI Indonesia yang terancam hukuman mati dan mereka sangat membutuhkan bantuan.
Pemerintah wajib melakukan perlindungan terhadap buruh migran yang selam berpuluh tahun memberikan remitens ke dalam negeri. Pemerintah wajib melakukan revisi terhadap Undang-Undang N0. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja di Luar Negeri dengan cara menyelaraskan nya dengan Konvensi Pererikatan Bangsa-bangsa tahun 1990 tentang Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya yang diratifikasi pemerintah Indonesia melalui UU no 6 tahun 2012. Dengan penyelarasan ini, TKI yang mengalamai masalah hukum di luar negeri dapat segera diketahui dan diberikan pertolongan.(imz)
You may like
Arsip
Merajut Kolaborasi Lintas Iman: Mencegah Intoleransi, Radikalisme dan Ekstremisme Di Baciro
Published
2 months agoon
10 September 2025By
Mitra Wacana
Sebagai upaya melakukan pencegahan terhadap fenomena intoleransi, radikalisme dan ekstremisme (IRE), Mitra Wacana melaksanakan program kolaboratif dengan masyarakat lintas iman sepanjang bulan Maret hingga Mei 2025. Program ini dilaksanakan di Kalurahan Baciro, Kapanewon Gondokusuman Kota Yogyakarta. Dijalankannya program ini tidak terlepas dari eskalasi kasus intoleransi yang sempat terjadi di Yogyakarta dalam beberapa tahun terakhir. Kasus-kasus tersebut menjadi goresan-goresan luka bagi realitas masyarakat Yogyakarta yang kaya akan keberagaman dan menjunjung kehidupan yang toleran.
Kalurahan Baciro dipilih karena beberapa alasan. Pertama, Kalurahan Baciro merepresentasikan kemajemukan masyarakatnya yang meliputi warga urban, mahasiswa dan masyarakat lintas iman. Kedua, di Baciro pernah terjadi tindakan intoleran berupa penolakan rumah ibadah dan persekusi terhadap kelompok Ahmadiyah. Ketiga, tokoh lokal dan struktur formal di Kalurahan Baciro memberikan dukungan untuk dilaksanakannya program ini. Selain itu, Baciro juga telah ditetapkan sebagai Kalurahan Kerukunan sehingga memiliki potensi besar untuk dijadikan model replikasi upaya pencegahan IRE.
Melalui program ini, Mitra Wacana hadir dengan pendekatan partisipatif, melibatkan perempuan, orang muda, tokoh agama, aparat, kelompok minoritas, organisasi lintas iman dan media sebagai agen yang merawat keberagaman. Pelaksana program menggunakan pendekatan edukasi berbasis komunitas berperspektif gender, menghadirkan ruang aman bagi dialog lintas iman serta melakukan kampanye narasi damai baik secara daring maupun luring.
Program ini diawali dengan dialog bersama para jurnalis untuk mengkampanyekan narasi damai di media. Selain mengajak jurnalis dan admin media berbagai komunitas dan lembaga, media Mitra Wacana sendiri juga melakukan produksi konten narasi damai dan mempublikasikannya dengan mengajak jejaring sebagai kolaborator postingan media sosial. Di samping itu, Mitra Wacana juga memberikan workshop mengenai kampanye digital kepada admin media sosial komunitas-komunitas yang ada di Yogyakarta.
Implementasi program ini juga meliputi lokalatih tentang pengenalan IRE dan strategi pencegahannya yang dilaksanakan sebanyak dua kali, peluncuran Buku Panduan Praktis Deteksi Dini IRE, talkshow di radio untuk memperluas jangkauan isu, evaluasi partisipatif hingga audiensi ke Walikota Yogyakarta dan Kesbangpol DIY. Namun, pencegahan IRE tidak sepenuhnya berjalan mulus. Beberapa hal masih menjadi tantangan dalam pelaksanaan program misalnya masih adanya stigma terhadap minoritas (Ahmadiyah, penghayat). Kemudian, pencegahan IRE juga tidak dianggap populer di media, tidak semua masyarakat dan organisasi terjangkau langsung serta durasi program yang sangat singkat.
Mitra Wacana perlu menerapkan strategi khusus agar program pencegahan IRE ini berjalan lancar dan menghasilkan output serta outcome yang tepat sasaran. Adapun beberapa strategi yang dilakukan Mitra Wacana antara lain: membangun kepercayaan melalui komunikasi personal dengan kelompok minoritas, melakukan kolaborasi strategis dengan Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta, distribusi buku deteksi dini IRE ke 21 Rukun Warga serta advokasi ke Wali Kota dan Kesbangpol untuk keberlanjutan kebijakan dan replikasi program.
Program yang dijalankan Mitra Wacana ini berhasil menjangkau 53 peserta dari beragam gender, agama dan usia. Kemudian, menghasilkan lebih dari 25 konten digital edukatif dengan lebih dari 82 ribu penonton, menjangkau 41 kolaborator, menghasilkan 10 artikel dan 38 publikasi kegiatan, tersusunnya Buku Panduan Praktis Deteksi Dini IRE serta menjangkau 21 content creator.
Hasil survei terhadap peserta menunjukkan bahwa peserta meningkat dari sisi pengetahuan, sikap dan perilaku. Tools deteksi dini IRE juga dirasakan sangat membantu sebagai alat mengidentifikasi gejala intoleransi, radikalisme dan ekstremisme dalam masyarakat. Nugraha Dhayu Mukti dari Gema Pakti mengaku setelah mengikuti program ini dia merasa lebih paham tentang bentuk dan perilaku IRE. Selain itu dia merasa lebih percaya diri karena penghayat kepercayaan sudah mulai diterima berkegiatan secara umum atau lintas iman karena Mitra Wacana selalu melibatkan kelompok penghayat di setiap kegiatan.
Adapun Abdul Halim dari FKUB Kota Yogyakarta menyampaikan program-program yang dilaksanakan Mitra Wacana menjadi ruang dialog lintas iman yang sesungguhnya. “Kegiatan lintas iman seperti ini memberi ruang untuk membangun silaturahmi lintas iman. Tidak sekadar teori, tapi benar-benar menghidupkan dialog” ungkapnya. Program ini membuktikan bahwa perdamaian bisa dibangun mulai dari ruang-ruang kecil yang partisipatif dan keterlibatan lintas kelompok menjadi kunci keberhasilan. (wiji nur asih)







