web analytics
Connect with us

Berita

Merajut Harmoni: Evaluasi Program Lintas Iman di Baciro Tunjukkan Cerita Perubahan Nyata

Published

on

Yogyakarta – Mitra Wacana mengadakan kegiatan evaluasi akhir program “Merajut Kolaborasi Lintas Iman dalam Pencegahan Intoleransi, Radikalisme, dan Ekstremisme”di Aula Kalurahan Baciro, Selasa (27/5/2025) . Evaluasi ini dihadiri oleh 19 peserta dari berbagai lintas iman dan warga baciro yang sebelumnya telah mengikuti program yang diadakan oleh Mitra Wacana.

Program yang berlangsung selama tiga bulan ini menyasar perempuan, pemuda, serta tokoh masyarakat di Baciro. Dengan pendekatan komunitas dan perspektif gender, peserta diajak mengenali tanda-tanda intoleransi, menyusun langkah pencegahan, hingga memproduksi konten kampanye perdamaian bersama content creator.

Evaluasi ini bukan sekadar menilai pencapaian indikator, tetapi lebih dalam lagi: menggali cerita perubahan dari tiap peserta. Kegiatan dibuka dengan paparan singkat hasil implementasi program, disusul sesi penulisan dan pembacaan kisah dampak yang dirasakan peserta. Masing-masing cerita ditanggapi dengan penuh empati dan skoring partisipatif. Setiap peserta yang hadir menilai cerita perubahan peserta lain sehingga dalam proses skoring ini merupakan penilaian objektif dari peserta.

“Saya sangat mengapresiasi program dari Mitra Wacana ini. Kegiatan lintas iman seperti ini memberi ruang nyata untuk membangun silaturahmi lintas iman. Tidak sekadar teori, tapi benar-benar menghidupkan dialog. Harapannya, kegiatan seperti ini bisa terus dikembangkan, tidak hanya di Baciro, tapi juga di wilayah lain. Ini penting, karena selama ini wacana keberagaman hanya berhenti di ranah elit. Sementara itu, mereka yang paling rentan terdampak justru ada di tingkat akar rumput— RT, RW, ibu rumah tangga, dan warga. Mitra Wacana punya strategi yang tepat dengan menyasar langsung komunitas di tingkat bawah. Ke depan, perlu ada evaluasi menyeluruh untuk memperkuat gerakan ini, agar masyarakat di akar rumput tidak lagi menjadi korban dari isu-isu intoleransi yang dibicarakan hanya di ruang-ruang atas.”.” Ujar Abdul Halim FKUB Kota Yogyakarta

Cerita-cerita semacam ini menjadi bukti bahwa pendekatan dialog dan kolaborasi lintas iman yang dilakukan Mitra Wacana berhasil menyentuh sisi personal peserta. Dengan memberikan ruang dialog dan perjumpaan ini mereka semakin memahami keberagaman dan perbedaan antar kelompok / agama. Menghilangkan prasangka atau stigma yang selama ini mereka rasakan dari kelompok yang berbeda.

Menjelang akhir sesi, para peserta bersama fasilitator merumuskan rekomendasi strategis untuk keberlanjutan program. Seluruh peserta sepakat bahwa pengetahuan dan praktik baik yang dilakukan di baciro ini bisa dilakukan juga di komunitas atau organisasi masing-masing

Dalam pesan penutupnya, Ruliyanto, selaku Koordinator program dari Mitra Wacana, menyampaikan harapannya, “Kami tidak ingin program ini berhenti di sini. Evaluasi hari ini bukan akhir tetapi justru titik awal untuk kolaborasi menciptakan perdamain ke depan. Setiap orang memiliki perannya masing masing. Baciro punya potensi besar sebagai model harmoni sosial. Kami berharap, inisiatif ini bisa direplikasi di wilayah lain, dengan semangat kolaboratif yang sama.”

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Berita

Perempuan Indonesia Merajut Solidaritas: Suara dari Akar Rumput untuk Keadilan dan Kemanusiaan

Published

on

Oleh Nurmalia Ika Widiasari, S.H., MKn (Dewan Pengurus Mitra Wacana)

Jakarta, 24 Mei 2025 — Di tengah tantangan kesetaraan gender dan ketidakadilan sosial yang masih mengemuka di Indonesia, para perempuan dari berbagai penjuru tanah air berkumpul di lantai 4 Grha Pemuda Katedral Jakarta dalam forum diskusi bertajuk “Perempuan Indonesia Merajut Solidaritas Bersama.” Acara ini merupakan serial ketiga dari Bonum Commune Forum (BCF) yang diselenggarakan oleh Keuskupan Agung Jakarta dan 5P Global Movement. Mitra Wacana hadir sebagai tamu istimewa dan duduk di barisan depan forum tersebut.

Mengusung semangat Hari Perempuan Internasional bertema “For All Women and Girls: Rights. Equality. Empowerment,” forum ini menegaskan bahwa perjuangan perempuan bukan sekadar selebrasi simbolik, melainkan panggilan untuk aksi nyata. Acara dibuka dengan sambutan hangat dan selingan humor oleh Inaya Wahid, aktivis dan seniman, yang menghidupkan suasana diskusi sejak menit pertama.

Tiga narasumber utama hadir dengan cerita dan perjuangan yang menyentuh. Sumini, pengelola hutan adat dari Aceh, membagikan kisah perjuangannya menjaga hutan dengan pendekatan damai. “Kami tidak melawan para pembakar hutan dengan kekerasan, kami ajak makan, lalu berdialog,” ungkapnya, sambil menegaskan bahwa keberlanjutan lingkungan bisa dimulai dari tindakan kecil dan konsisten.

Suster Laurentina, yang dikenal sebagai “Suster Cargo,” membagikan realitas pahit para Buruh Migran (BM) asal NTT. Ia menyinggung banyaknya BM yang meninggal di luar negeri tanpa perlindungan hukum yang memadai. “Kadang saya disebut perempuan kurang kerjaan karena urus jenazah. Tapi ini panggilan hati,” tegasnya, yang disambut tawa haru peserta ketika ia menjawab guyonan Inaya dengan spontan dan jenaka.

Sementara itu, Octavia Wuri dari Sekolah Tanpa Batas menuturkan perjuangannya mendirikan sekolah inklusif bagi anak-anak difabel dan marjinal. Ia nyaris menyerah, hingga seorang siswanya mengaku ingin bunuh diri. “Saat itu saya tahu, saya tidak bisa berhenti,” katanya, lirih namun penuh daya.

Diskusi semakin kuat ketika penanggap seperti Karlina Supeli dan Andar Nubowo menekankan pentingnya memperluas solidaritas lintas isu dan gender. Karlina menyoroti bahwa perubahan sosial bisa memakan waktu hingga 2000 tahun jika tidak ada intervensi nyata. Sedangkan Andar menyebut tiga perempuan pembicara sebagai “Power Rangers perubahan.”

Isu-isu penting seperti larangan pendirian rumah ibadah, diskriminasi Ahmadiyah, hingga pembongkaran makam juga mengemuka dalam sesi tanya jawab. Inaya Wahid merespons dengan tegas bahwa perjuangan Gusdurian adalah membela yang minoritas dan terpinggirkan, karena “mereka yang kerap dilupakan negara.”

Forum ditutup dengan pernyataan solidaritas dari peserta lintas iman, termasuk Pak Kusbini yang menyampaikan duka atas wafatnya Paus dan harapan atas pemilihan Paus Leo. “Kita mungkin tidak seiman, tapi kita sejalan dalam perjuangan kemanusiaan,” ujarnya mantap.

Kegiatan ini menjadi bukti bahwa suara perempuan dari akar rumput adalah kunci untuk membangun Indonesia yang inklusif, adil, dan berkelanjutan.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending