web analytics
Connect with us

Arsip

PKK Kelurahan Giwangan Adakan Sarasehan Peduli Hak Anak

Published

on

Sarasehan Peduli Hak anak PKK Giwangan ft astri

Mitra Wacana WRC mendapat undangan dari penggurus kelompok kerja 2 Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) kelurahan Giwangan sebagai narasumber pertemuan yang berlangsung Kamis, (7/6) jam 14.00-15.30. Jumlah peserta yang hadir 26 orang, terdiri dari perempuan anggota dan penggurus PKK. Dari Witra Wacana WRC Astriani dan Wahyu Tanoto.

Diskusi dimulai dengan membahas 4 hak dasar anak (hak hidup, hak tumbuh kembang, hak perlindungan dan hak partisipasi). Termasuk didalamnya pendidikan juga merupakan hak anak. Pendidikan untuk anak bukan hanya sebatas pendidikan yang menonjolkan prestasi  akademik anak, tetapi juga bagaimana sebagai orangtua penting untuk menanamkan pendidikan karakter sejak dini pada anak, menanamkan nilai karakter pada anak. Sehingga anak mempunyai pertahanan diri yang tangguh.

Wahyu Tanoto mengungkapkan bahwa anak merupakan modeling dengan orangtua dan juga lingkungannya. Anak yang diasuh dengan cinta, tentunya akan tumbuh dengan cinta. Dan anak yang diasuh dengan kekerasan, tidak dipungkiri nantinya akan menjadi pelaku kekerasan, atau bisa jadi anak yang penakut dan tidak percaya diri. atau bahkan menjadi anak yang depresi dan penuh dendam. Komunikasi yang baik tentunya perlu dijalin antara orangtua dengan anak. Jangan sampai anak merasa selalu digurui oleh orangtuanya. Sebab tidak semua yang menurut orangtua baik untuk anaknya, adalah baik untuk anak. Biarkan anak berkembang dengan potensi yang dimilikinya, tinggal kita sebagai orangtua mendorong, memotivasi dan memfasilitasi anak sehingga anak menjadi lebih percaya diri dan berkembang.

Sedangkan Astri menuturkan bahwa kekerasan pada anak itu bisa juga melanggar hak anak. Kekerasan pada anak bisa berupa kekerasan fisik (mencubit, menjewer, menendang, menampar). Sedangkan kekerasan dalam bentuk psikis misalnya (memarahi, mengancam dengan bahasa non verbal, mengomel). Anak itu jangan hanya dijadikan sebagai obyek dan barang sehingga orangtua merasa berhak atas segala yang ada dalam diri anak. Beri ruang dan kesempatan untuk anak dapat mengekspresikan apa yang menjadi pilihannya, dan biarkan anak bertanggung jawab atas pilihannya tersebut. Pengasuhan anak itu bukan hanya menjadi tanggung jawab ibu saja, tetapi juga menjadi tanggung jawab bapak untuk memberikan pengasuhan. Ibu-ibu lebih berpotensi melakukan kekerasan pada anak, sebab dilihat dari budaya yang ada intensitas waktu pendampingan anak lebih sering dibebankan pada ibu. Idealnya anak diasuh oleh kedua orangtua dengan berbagi peran.

Yanti, peserta yang hadir dalam pertemuan tersebut mengatakan bahwa  anak saya dulu dipaksa oleh ayahnya untuk sekolah di STAN atau dimana, pokoknya ayahnya memaksa anak agar bisa jadi PNS. Tetapi anak saya tidak mau dan bersikukuh untuk menjadi pengusaha. Sekarang anak saya sedang belajar menjadi pengusaha peternak ayam. Saya menyadari yang dilakukan oleh ayahnya terhadap anak saya waktu itu, juga merupakan salah satu bentuk kekerasan pada anak. (as3)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Arsip

Merajut Kolaborasi Lintas Iman: Mencegah Intoleransi, Radikalisme dan Ekstremisme Di Baciro

Published

on

Sebagai upaya melakukan pencegahan terhadap fenomena intoleransi, radikalisme dan ekstremisme (IRE), Mitra Wacana melaksanakan program kolaboratif dengan masyarakat lintas iman sepanjang bulan Maret hingga Mei 2025. Program ini dilaksanakan di Kalurahan Baciro, Kapanewon Gondokusuman Kota Yogyakarta. Dijalankannya program ini tidak terlepas dari eskalasi kasus intoleransi yang sempat terjadi di Yogyakarta dalam beberapa tahun terakhir. Kasus-kasus tersebut menjadi goresan-goresan luka bagi realitas masyarakat Yogyakarta yang kaya akan keberagaman dan menjunjung kehidupan yang toleran.

Kalurahan Baciro dipilih karena beberapa alasan. Pertama, Kalurahan Baciro merepresentasikan kemajemukan masyarakatnya yang meliputi warga urban, mahasiswa dan masyarakat lintas iman. Kedua,  di Baciro pernah terjadi tindakan intoleran berupa penolakan rumah ibadah dan persekusi terhadap kelompok Ahmadiyah. Ketiga, tokoh lokal dan struktur formal di Kalurahan Baciro memberikan dukungan untuk dilaksanakannya program ini. Selain itu, Baciro juga telah ditetapkan sebagai Kalurahan Kerukunan sehingga memiliki potensi besar untuk dijadikan model replikasi upaya pencegahan IRE.

Melalui program ini, Mitra Wacana hadir dengan pendekatan partisipatif, melibatkan perempuan, orang muda, tokoh agama, aparat, kelompok minoritas, organisasi lintas iman dan media sebagai agen yang merawat keberagaman. Pelaksana program menggunakan pendekatan edukasi berbasis komunitas berperspektif gender, menghadirkan ruang aman bagi dialog lintas iman serta melakukan kampanye narasi damai baik secara daring maupun luring.

            Program ini diawali dengan dialog bersama para jurnalis untuk mengkampanyekan narasi damai di media. Selain mengajak jurnalis dan admin media berbagai komunitas dan lembaga, media Mitra Wacana sendiri juga melakukan produksi konten narasi damai dan mempublikasikannya dengan mengajak jejaring sebagai kolaborator postingan media sosial. Di samping itu, Mitra Wacana juga memberikan workshop mengenai kampanye digital kepada admin media sosial komunitas-komunitas yang ada di Yogyakarta.

Implementasi program ini juga meliputi lokalatih tentang pengenalan IRE dan strategi pencegahannya yang dilaksanakan sebanyak dua kali, peluncuran Buku Panduan Praktis Deteksi Dini IRE, talkshow di radio untuk memperluas jangkauan isu, evaluasi partisipatif hingga audiensi ke Walikota Yogyakarta dan Kesbangpol DIY. Namun, pencegahan IRE tidak sepenuhnya berjalan mulus. Beberapa hal masih menjadi tantangan dalam pelaksanaan program misalnya masih adanya stigma terhadap minoritas (Ahmadiyah, penghayat). Kemudian, pencegahan IRE juga tidak dianggap populer di media, tidak semua masyarakat dan organisasi terjangkau langsung serta durasi program yang sangat singkat.

Mitra Wacana perlu menerapkan strategi khusus agar program pencegahan IRE ini berjalan lancar dan menghasilkan output serta outcome yang tepat sasaran. Adapun beberapa strategi yang dilakukan Mitra Wacana antara lain: membangun kepercayaan melalui komunikasi personal dengan kelompok minoritas, melakukan kolaborasi strategis dengan Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta, distribusi buku deteksi dini IRE ke 21 Rukun Warga serta advokasi ke Wali Kota dan Kesbangpol untuk keberlanjutan kebijakan dan replikasi program.

Program yang dijalankan Mitra Wacana ini berhasil menjangkau 53 peserta dari beragam gender, agama dan usia. Kemudian, menghasilkan lebih dari 25 konten digital edukatif dengan lebih dari 82 ribu penonton, menjangkau 41 kolaborator, menghasilkan 10 artikel dan 38 publikasi kegiatan, tersusunnya Buku Panduan Praktis Deteksi Dini IRE serta menjangkau 21 content creator.

Hasil survei terhadap peserta menunjukkan bahwa peserta meningkat dari sisi pengetahuan, sikap dan perilaku. Tools deteksi dini IRE juga dirasakan sangat membantu sebagai alat mengidentifikasi gejala intoleransi, radikalisme dan ekstremisme dalam masyarakat. Nugraha Dhayu Mukti dari Gema Pakti mengaku setelah mengikuti program ini dia merasa lebih paham tentang bentuk dan perilaku IRE. Selain itu dia merasa lebih percaya diri karena penghayat kepercayaan sudah mulai diterima berkegiatan secara umum atau lintas iman karena Mitra Wacana selalu melibatkan kelompok penghayat di setiap kegiatan.

Adapun Abdul Halim dari FKUB Kota Yogyakarta menyampaikan program-program yang dilaksanakan Mitra Wacana menjadi ruang dialog lintas iman yang sesungguhnya. “Kegiatan lintas iman seperti ini memberi ruang untuk membangun silaturahmi lintas iman. Tidak sekadar teori, tapi benar-benar menghidupkan dialog” ungkapnya. Program ini membuktikan bahwa perdamaian bisa dibangun mulai dari ruang-ruang kecil yang partisipatif dan keterlibatan lintas kelompok menjadi kunci keberhasilan. (wiji nur asih)

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending