web analytics
Connect with us

Opini

Notes of a Former Migrant Worker (based on an interview)

Published

on

Mitra Wacana

By: Umiasih (CO Kulon Progo)

This will tell the story of what happened to a person that will be referred to as BN. This event occurred in the 1990’s when BN received an offer to work overseas. At that time, BN had just divorced her husband, and had one child. The person offering the job presented it as a lucrative job offer. At first BN wasn’t sure whether or not to take the job, but she hoped that if she took the job she would be able to guarantee a future for her child, so finally she decided to accept the job offer.

The requirements weren’t complicated, the important thing was that BN had an Identity Card. After her preparations were complete, BN departed by bus to Batam. After arriving at her destination, BN was brought to a shelter in a simple house that was surrounded by a wall, like a prison. After approximately six months in that shelter, BN departed to Malaysia to work as a domestic helper.

While working, BN was forbidden from speaking with her work friends. She also received physical violence, such as being slapped and hit by her boss. BN also never received any payment while working. These conditions made BN increasingly determined to escape from Malaysia and return to Indonesia, even though there were many obstacles and risks. Her first attempt failed, BN was found out by her boss and badly beaten.

BN never gave up. On her second escape attempt, BN met with the Indonesian Navy. She hoped they would help her, but instead they beat her and kicked her with their shoes. BN was captured and returned to her boss.

After this, BN felt resigned to her fate. Then four years later she tried to escape again. Together with a friend, BN tied bed sheets together, and used them to escape through the house window. She successfully arrived in the harbour at 2.am. However, her friend failed because she fell in the persons house. BN met with a fisherman who finally helped her to cross using a barge. BN crossed to the base of Pinang.

Upon arrival in Indonesia, BN decided to help the owner of the store where she took shelter. The owner wa named Sri, she was a person from Bantul in Yogyakarta. While living in Sri’s house, BN helped her sell things in the warung. One time Sri’s son came to visit, sith the help of Sri’s son, BN entrusted him with photos for her family at home, because BN had long been away, BN worried that her family would not recognize her. With Sri’s assistance, BN managed to go home and meet with family.

After 10 years back at home, BN received an invitation from Mitra Wacana WRC to join in a routine meeting at the Women’s Learning Centre (P3A). Because of these regular meetings, BN received information about the prevention of human trafficking. Besides that, the P3A is also a place to learn and share experiences. Before becoming a member of the P3A, BN had never before joined in with an organisation like that. Thanks to the regular meetings, BN realised that she had been a victim of human trafficking. Until now, BN still regularly joins in with P3A meetings. According to BN, if she regularly attends the meetings she believes she will learn many new things eg: about gender equality, reproductive help.

In OPSD, participants receive knowledge about the importance of participating in development. Women are able to participate in development, because women actually know more about their needs. For example, girls know the needs of the child, the things that endanger the child and take care of reproductive health. Unlike men, most of them think about their physical needs without paying attention to the psychic.

While joining in with the OPSD, BN received knowledge about including women in village development. For BN, the OPSD becomes a place for village women to learn about gender, village laws, preventing human trafficking and fulfilling women’s rights.

BN feels that she had many valuable experiences here. She has become more confident when mingling with the community and engaging in community deliberations. As an example, in one instance, BN emphasised the importance of educating people about the prevention of human trafficking. Her hope is so that there are no more victims of human trafficking her village.

During the process of OPSD, BN was not satisfied because not many participants from the village government joined the activity. According to BN, if OPSD are attended by many more “important” people from the village, then it will increase the number of people in society that are vocal about preventing human trafficking.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Nasib Manuskrip Pasca Banjir: Upaya Penyelamatan dan Restorasi Budaya

Published

on

Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas2

Ungkapan “Sakali aia gadang, sakali tapian barubah.” bukan hanya sekedar pepatah Minangkabau, melainkan juga memori ekologis masyarakat terhadap alam. Banjir bukan hanya sekedar peristiwa alam, melainkan bagian dari sejarah yang terus berulang dan meninggalkan bekas pada masyarakat. Namun, perubahan yang ditinggalkannya bukan hanya pada bentang alam dan kehidupan sosial, tetapi juga pada jejak intelektual masa lalu masyarakat, salah satunya terekam dalam manuskrip.

Manuskrip merupakan tulisan yang ditulis menggunakan tangan pada lembaran-lembaran kertas, yang didalamnya berisi pemikiran orang-orang pada masa lampau. Sejalan dengan Baried (1985:54) manuskrip adalah medium teks berbentuk konkret dan nyata. Di dalam Manuskrip ditemukan tulisan-tulisan yang merupakan sebuah simbol bahasa untuk menyampaikan sesuatu hal tertentu. Manuskrip dapat dikatakan sebagai salah satu warisan nenek moyang pada masa lampau, berbentuk tulisan tangan yang mengandung berbagai pemikiran dan perasaan tercatat sebagai perwujudan budaya masa lampau. Sehingga akan sayang sekali jika pemikiran nenek moyang kita hilang akibat penanganan yang kurang tepat.

Manuskrip-manuskrip yang tersimpan di surau, rumah gadang, perpustakaan nagari, maupun kediaman para ninik mamak sering kali menjadi korban dari bencana alam, salah satunya banjir. Karena setelah banjir tersebut mulai surut, nasib manuskrip itu dipertaruhkan. Ketika banjir menyapu perkampungan, kertas-kertas manuskrip itu basah oleh air, menyebabkan tulisan pada teks-nya bisa saja pudar. Pada titik inilah penanganan awal menjadi penentu apakah sebuah naskah masih mungkin diselamatkan atau justru rusak.

Sayangnya, banyak masyarakat yang tidak mengetahui cara penanganan darurat manuskrip basah. Di beberapa tempat, manuskrip yang terendam justru dijemur langsung di bawah terik matahari yang bisa menyebabkan lembarannya menempel. Ada pula yang mengeringkannya di dekat api untuk mempercepat proses pengeringan, padahal suhu panas justru membuat tinta luntur dan kertas mengerut. Bahkan dalam situasi panik, sebagian manuskrip dibersihkan dengan kain kasar atau disikat karena dianggap kotor, yang pada akhirnya merobek halaman-halaman yang sebenarnya masih mungkin diselamatkan. Kecerobohan kecil seperti itu sering kali menjadi perbedaan antara manuskrip yang dapat bertahan dan punah.

Untuk itu, perlunya peran dan dukungan pemerintah dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya penanganan dan perawatan manuskrip yang benar, karena manuskrip seringkali berada di tengah-tengah masyarakat. Sehingga, detik-detik pertama setelah air surut sepenuhnya bergantung pada pengetahuan masyarakat setempat. Pemerintah dapat melibatkan masyarakat baik individu maupun lembaga dalam merawat dan melestarikan manuskrip. 

Sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan edukasi tentang perawatan manuskrip yang baik dan benar sehingga manuskrip yang ada seringkali rusak sebelum sempat di digitalisasi. Padahal langkah-langkah sederhana seperti memisahkan halaman yang menempel, mengeringkan naskah di tempat teduh dan berangin, atau menyerap air dengan tisu tanpa tekanan berlebihan, bisa menjadi penyelamat sebelum tim konservator datang. Edukasi inilah yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah daerah, perpustakaan, dan lembaga kebudayaan.

Bencana banjir sudah berulang kali terjadi, bahkan dari dahulu kala. Hal tersebut seharusnya menjadi pengingat bahwa pengetahuan mengenai perawatan naskah manuskrip sangat penting, tidak hanya bagi satu pihak saja tetapi diperlukan kerjasama dari berbagai pihak. Kerja sama antara pemerintah, akademisi, komunitas budaya, dan masyarakat adalah kunci dalam menjaga keberlangsungan manuskrip. Pemerintah dapat mengambil peran sebagai penyedia edukasi, tentang bagaimana penanganan darurat terhadap manuskrip, serta menyediakan peralatan yang menunjang penyelamatan manuskrip. Sementara masyarakat, sebagai pihak terdekat dengan naskah, menjadi penentu apakah pengetahuan teoretis itu dapat dijalankan dengan benar di lapangan.

Jika manuskrip adalah kunci yang menyimpan ingatan suatu peradaban, maka penyelamatannya adalah urusan berbagai pihak, baik pemerintah, lembaga, masyarakat adat, dll. Banjir boleh mengubah bentuk geografis daerah, tetapi bukan berarti ia bisa menghapus jejak pemikiran para leluhur yang sudah diwariskan begitu lama. Karena pada akhirnya, yang membuat suatu masyarakat bertahan bukan hanya rumah dan infrastruktur yang diperbaiki, ataupun peradaban yang dibangun ulang, tetapi juga tentang cerita, gagasan, ilmu dan identitas yang mereka wariskan melalui lembaran-lembaran kertas tua.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending