Arsip
Obrolan seru namun masih dianggap tabu: Seks, Gender dan Ketidakadilan Gender

Published
4 years agoon
By
Mitra Wacana
Apa yang pertama kali terbentuk dibenak kita ketika mendengar seks atau gender? Apakah sex dan gender itu sama? Ketika membahas seks apa yang pertama kali terlontar dalam pikiran kita? Tabu, risih atau merasa tidak nyaman? Sama hal nya seperti yang dirasakan penulis, merasa tabu ketika membahas persoalan seks.
Lalu, apakah gender masih bagian dari bahasan seks, atau malah gender dan seks itu sesuatu hal yang berbeda?
Dua kata ini seringkali salah diucapkan dan diartikan. Padahal keduanya mempunyai arti yang berbeda meskipun mengacu pada pembahasa yang sama yaitu menyoal laki laki dan perempuan.
Memahami perbedaan Seks dan Gender
Berbicara mengenai konsep gender, harus dibedakan antara gender dan sex (Jenis Kelamin). Seks atau jenis kelamin adalah kata yang sering digunakan pada status biologis manusia. Penggunaan kata seks ini disertai indikator biologis, seperti alat reproduksi, jenis kelamin dan kromosom. Secara sederhana seks itu hal-hal yang menyangkut biologis seseorang, yang terkait tubuh dan apa yang tampak secara fisik.
Seperti laki-laki memiliki jakun, penis, dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki vagina, buah dada, rahim dan memproduksi sel telur.
Jika seks merujuk pada profil biologis laki laki dan perempuan. Maka gender adalah isitilah yang mengacu pada prilaku, sikal dan perasaan yang diasosiasikan pada jenis kelamin seseorang. Maka bisa dikatakan bahwa Seks adalah pemberian tuhan yang bersifat kodrati sedangkan Gender merupakan konstruksi sosial.
Dalam pembahasan gender, gender dapat menentukan berbagai pengalaman dan sektor kehidupupan, menentukan akses terhadap pendidikan, kerja, alat-alat dan sumber daya yang diperlukan untuk industri dan keterampilan. Gender bisa menentukan kesehatan, harapan hidup, dan kebebasan bergerak. Gender bisa menentukan seksualitas, hubungan dan kemampuan untuk membuat keputusan dan bertindak secara otonom. Gender bisa jadi merupakan satu-satunya faktor terpenting dalam membentuk kita akan menjadi apa nantinya.
Ketidakadilan Gender
Masyarakat secara sadar atau tidak sadar, melekatkan stereotip bahwa laki-laki adalah sosok maskulin dan perempuan merupakan sosok feminim. Jalan ini, merupakan interpretasi biologis dan kultur kita dari kecil. Disinilah gender dikontruksi secara sosial, budaya dan pemikiran manusia.
Perempuan mempunyai label lemah lembut, emosional, halus sikap dan perilakunya. Perempuan berperan di ranah marginal domestik yaitu hanya berperan di sumur kasur dan dapur. Begitupun laki-laki, dilabeli kuat, tangguh, tegar, tidak boleh menangis, rasional, harus berperan di ranah publik, bekerja di luar.
Jika kedua identitas ini tertukar, maka seorang laki laki dan perempuan akan dinilai sebagai anomali dalam masyarakat.
Melihat prolematika diatas, bisa kita pahami bahwa ketidakadilan gender ini tidak hanya menimpa perempuan saja, tetapi bisa dialami oleh laki laki maupun perempuan. Namun, melihat realitas saat ini perempuan lebih rentan mengalami ketidakadilan dibanding laki laki.
Menurut Mansur Fakih, ketidakadilan gender bisa termanifestasi dari berbagai bentuk.
Adapun Manifestasi ketidakadilan gender yang dialami perempuan sebagai kelompok dominan sebagai korban adalah:
- Marginalisasi atau proses pemiskinan perempuan. Sumber dari marginalisasi perempuan adalah seperti kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsir ajaran agama, keyakinan tradisi, kebiasaan, atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan yang digunakan untuk meminggirkan peran perempuan.
- Subordinasi perempuan atau penempatan perempuan pada posisi yang tidak penting atau second class. Perempuan di ranah domestik, sedangkan laki laki di ranah publik.
- Stereotipe berarti pelabelan atau penandaan terhadap perempuan. Seperti, perempuan itu lemah, irrasional, hanya pantas berperan di ranah domestik, tidak bisa memimpin dan stigma negatif lainnya. Stereotype terjadi dimana-mana. Banyak peraturan pemerintah, aturan keagamaan, culture dan kebiasaan masyarakat yang dikembangkan karena stereotype tersebut.
- Kekerasan merupakan serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis maupun ekonomi seseorang. Seperti pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, prostitusi, bahkan kekerasan seksual yang dilakukan secara online.
- Beban Kerja. Akibat dari anggapan bahwa semua pekerjaan domestic adalah tanggung jawab perempuan. Sehingga perempuan harus bekerja keras untuk mengurus kerjaan domestik, belum lagi jika perempuan harus bekerja di luar maka ia memikul beban kerja ganda. Bahkan bisa dikatakan ‘Multi Burden’.
Dari semua bentuk ketidakadilan gender ini, didukung dan diamini oleh beberapa tafsir ajaran keagamaan, budaya, media dan kebiasaan yang ada, sehingga konstruksi ini langgeng yang pada akhirnya terciptalah sistem patriarki. Sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial.
Pada hakikatnya, tidak ada pihak manapun yang diuntungkan dari lahirnya sistem patriarki ini, kecuali mereka yang memang memiliki kekuasaan untuk memegang kendali sistem tersebut. Laki-laki maupun perempuan pasti dirugikan dengan sistem ini, laki laki dituntut memenuhi label standar yang melekat pada dirinya, bagitupun perempuan yang tidak beri kesempatan mengambil perannya.
Relasi antar manusia bukan lagi tentang siapa yang paling mendominasi, tetapi tentang bagaimana relasi itu dibangun. Sudah seharusnya diskursus gender tidak menitikberatkan pada kejahatan laki-laki. Melainkan pada keseimbangan dalam lingkup berpikir yang lebih luas dan heterogen.
Disarikan dari diskusi Mitra Wacana bersama volunteer dengan tema kesetaraan gender pada tanggal 4 Oktober 2021 di Kantor Mitra Wacana
You may like
Arsip
Catatan Kilas Balik Perjalanan Perkumpulan Mitra Wacana 2024

Published
1 month agoon
18 March 2025By
Mitra Wacana
Kita memahami bahwa perubahan sosial tidak terjadi dalam semalam. Sejak awal berdiri pada 2 April 1996, Mitra Wacana meyakini bahwa perjuangan untuk keadilan dan kesetaraan gender merupakan perjalanan panjang yang harus dilalui dengan ketekunan dan semangat yang terjaga. Dalam konsep feminis, Bell Hooks menegaskan bahwa perubahan sosial hanya dapat terjadi melalui kesadaran kritis dan keterlibatan aktif komunitas. Sementara itu, Nancy Fraser menekankan bahwa keadilan sosial tidak hanya sebatas redistribusi ekonomi, tetapi juga mencakup pengakuan identitas dan representasi dalam ranah politik.
Merujuk pada kaidah tersebut, Mitra Wacana berupaya mewujudkan perubahan dari tingkat basis dengan melibatkan individu dan komunitas serta mendorong kebijakan yang adil gender dan berpihak pada kelompok rentan. Tahun 2024 menjadi bagian dari perjalanan ini, di mana terdapat tantangan, pencapaian, dan tentunya harapan. Sebagai organisasi yang berkomitmen terhadap perlindungan perempuan dan anak, kami ingin terus bergerak maju untuk mewujudkan ruang aman, membangun kesadaran, serta menghadirkan peluang bagi mereka yang suaranya kerap terabaikan.
Ruang Aman untuk Kelompok Rentan
Seperti tahun-tahun sebelumnya, Mitra Wacana mengawali 2024 dengan berbagai program yang berorientasi pada edukasi di masyarakat. Pencegahan perdagangan orang (TPPO) tetap menjadi prioritas, mengingat tingginya angka migrasi tenaga kerja, terutama perempuan, yang sering kali berujung pada eksploitasi. Untuk itu, kami memperkuat Pusat Pembelajaran Perempuan dan Anak (P3A) dan Kelompok Media Desa sebagai ruang berbagi ilmu dan penguatan kapasitas komunitas. Tak hanya itu, kami juga mendiseminasikan kampanye anti-perdagangan orang, baik melalui media digital maupun kegiatan berbasis komunitas. Kami percaya bahwa perubahan sejati dimulai dari akar rumput—melibatkan sebanyak mungkin pihak agar kesadaran kolektif tumbuh dan berkembang.
Namun, pencegahan TPPO bukan satu-satunya fokus kami. Tahun ini, Mitra Wacana juga semakin aktif dalam menyuarakan isu hak asasi manusia dan demokrasi. Bersama akademisi dan pemerintah, kami mengadakan diskusi tentang isu migrasi dan perdagangan orang. Salah satu pencapaian yang patut diapresiasi adalah penerbitan buku Menyuarakan Kesunyian, yang merangkum kisah-kisah pendampingan bersama komunitas. Buku ini diharapkan dapat membuka mata lebih banyak orang tentang kompleksitas persoalan yang dihadapi para penyintas, sekaligus menghadirkan suara bagi mereka yang selama ini kurang terdengar.
Salah satu aspek yang paling menyita emosi dalam perjalanan kami tahun ini adalah pendampingan psikososial. Mendengar kisah perempuan mantan pekerja migran yang mengalami kekerasan dan eksploitasi mengingatkan kami bahwa perjuangan belum selesai. Banyak dari mereka yang mengalami trauma, kehilangan rasa percaya diri, dan kesulitan menata kembali hidup mereka. Melalui layanan konseling dan penguatan jaringan rujukan di tingkat kalurahan hingga kabupaten, kami ingin memastikan bahwa mereka mendapatkan hak untuk pulih dan bangkit. Selain itu, kami ingin terlibat dalam membangun kembali kepercayaan diri mereka. Tidak sedikit perempuan yang akhirnya berani berbicara, berbagi pengalaman, bahkan turut membantu penyintas lain yang mengalami hal serupa.
Di sisi lain, kami juga semakin gencar melibatkan orang muda yang tersebar di sembilan kalurahan Kabupaten Kulon Progo untuk memahami pentingnya perdamaian dan toleransi. Program Peacebuilding yang kami jalankan di beberapa sekolah menengah atas membahas tema tentang ancaman kekerasan gender berbasis elektronik, yang kian marak di media sosial. Melalui workshop resolusi konflik, kami berharap bisa menanamkan nilai-nilai inklusivitas, penghormatan terhadap SARA, dan menciptakan ruang kebersamaan.
Di ranah advokasi kebijakan, Mitra Wacana terus berupaya mendorong implementasi Peraturan Bupati tentang TPPO. Sepanjang tahun ini, kami melakukan audiensi dengan pemerintah daerah, mendampingi penyintas kekerasan seksual dan eksploitasi ekonomi, serta turut serta dalam penyusunan kebijakan perlindungan perempuan dan anak agar semakin berpihak pada kelompok rentan.
Tentu, perjuangan dalam ranah kebijakan bukan perkara mudah. Tantangan seperti kurangnya komitmen dari beberapa pemangku kebijakan atau perubahan regulasi di tingkat nasional sering kali memengaruhi perjalanan advokasi. Namun, kami percaya bahwa dengan kerja sama lintas sektor dan penguatan jejaring, kebijakan yang lebih adil dan berpihak pada penyintas bisa terwujud.
Sepanjang tahun ini, kami menghadapi berbagai tantangan, mulai dari keterbatasan sumber daya manusia hingga regulasi yang terus berubah. Tidak semua penyintas memiliki akses terhadap layanan hukum dan pemulihan psikososial, sehingga masih banyak pekerjaan yang harus kami lakukan untuk memastikan sistem perlindungan yang lebih inklusif. Meski begitu, semua itu tidak membuat kami loyo apalagi patah semangat. Justru sebaliknya, kami semakin terdorong untuk menjadi lebih kuat dan adaptif terhadap perubahan.
Ke depan, kami berencana memperkuat kapasitas internal, membangun kolaborasi lebih luas dengan pemerintah, lembaga donor, serta mengembangkan kebijakan-kebijakan organisasi melalui kampanye sosial. Kami juga ingin lebih banyak melibatkan orang muda dalam gerakan ini. Karena pada akhirnya, merekalah generasi yang akan membawa perubahan. Dengan energi dan idealisme mereka, kami percaya bahwa perjuangan ini bisa terus berlanjut dan menjangkau lebih banyak orang.
Tahun 2024 mengajarkan kami banyak hal—tentang resiliensi, kerja sama, kepekaan terhadap perubahan, dan pentingnya keberlanjutan. Kami sadar bahwa kami bukan satu-satunya yang berjuang untuk perlindungan perempuan dan anak. Ada banyak individu, komunitas, dan organisasi lain yang bergerak di jalur yang sama. Oleh karena itu, kami percaya bahwa dengan kolaborasi dan semangat kebersamaan, perubahan besar bisa terwujud.
Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah menjadi bagian dari perjalanan organisasi pada periode 2021–2025, termasuk Dewan Pengawas (Siti Rohmani, Imelda Zuhaida, Rindang Farihah) dan Dewan Pengurus (Istiatun, Anastasia Novi Ekanti Hariani, Wahyu Tanoto), anggota perkumpulan, serta seluruh staf: Elva Delvia, Alfi Ramadhani, Mona Iswandari, Yngvie Ahsanu Nadiyya, Yunia Nur Andini, Ruliyanto, Muazim, Robi Setiyawan, dan Mohammad Mansur.
Kami juga berterima kasih kepada para mitra kerja, komunitas, Kelompok P3A, Forum Perempuan, Kelompok Media Desa, rekan-rekan magang, baik dari dalam maupun luar negeri, serta masyarakat luas yang telah mendukung keberlanjutan Perkumpulan Mitra Wacana. Mari terus menatap masa depan dengan merawat dan mengimplementasikan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan gender, menjaga harapan, serta berperan aktif demi terwujudnya ruang aman bagi perempuan dan masyarakat.
Bantul, 16 Februari 2025.
Ketua Dewan Pengurus,
Wahyu Tanoto