Opini
Patriarki dan Kekerasan Seksual Terhadap Laki-Laki
Published
3 years agoon
By
Mitra WacanaKasus kekerasan yang menimpa laki-laki akan cenderung menjadi tertawaan, apalagi jika berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga. Padahal sebenarnya tidak juga, korban kekerasan seksual baik di Indonesia maupun seluruh dunia tidak hanya dialami oleh perempuan dan anak-anak saja. Semua bisa menjadi korban kekerasan seksual, termasuk laki-laki. Perbedaannya ialah tidak banyak orang akan mengetahui apabila korban tergolong sebagai seorang laki-laki. Hal ini dikarenakan korban laki-laki lebih memilih menutupi persoalan kekerasan seksual yang dialami dibandingkan korban perempuan.
Beberapa pekan yang lalu masyarakat dihebohkan dengan sebuah kasus perundungan dan pelecehan seksual terhadap seorang karyawan laki-laki di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menerima permohonan perlindungan dari MS, pegawai KPI yang diduga menjadi korban perundungan dan pelecehan seksual dari beberapa orang. Para pelaku dalam kasus tersebut tidak lain adalah rekan kerja sesama pegawai di KPI dan diduga telah dilakukan selama bertahun-tahun lamanya, namun baru saat ini korban memberanikan diri untuk membawa kasus tersebut ke ranah hukum. Apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa baru sekarang korban berupaya menyelesaikan kasus tersebut?
Berbeda dengan kasus kekerasan seksual yang biasanya terjadi pada seorang perempuan, kali ini kasus kekerasan seksual terjadi pada seorang laki-laki. Banyak penelitian menunjukkan bahwa korban kekerasan seksual didominasi oleh perempuan dan mayoritas pelaku adalah laki-laki. Akan tetapi fakta tersebut tidak dapat mengubah kenyataan bahwa kekerasan seksual juga terjadi pada laki-laki, khususnya anak laki-laki. Kekerasan seksual terhadap laki-laki seringkali tidak dianggap sebagai suatu hal yang serius. Berdasarkan Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender yang diluncurkan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan INFID, di tahun 2020 terdapat 33% laki-laki yang mengalami kekerasan seksual khususnya dalam bentuk pelecehan seksual.
Berdasarkan survei dari Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) yang melibatkan 62.224 responden, 1 dari 10 laki-laki pernah mengalami pelecehan di ruang publik. Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memperlihatkan bahwa korban kekerasan seksual di tahun 2018 lebih banyak dialami oleh anak laki-laki, dimana ada 60% anak laki-laki dan 40% anak perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tahun 2017, untuk kelompok umur 13-17 tahun prevalensi kekerasan seksual terlihat lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan, yaitu sebesar 8,3% atau dua kali lipat dari prevalensi kekerasan seksual pada perempuan yang mencapai 4,1%.
Selama ini anggapan di masyarakat mempercayai bahwa laki-laki tidak mungkin atau tidak bisa menjadi korban kekerasan seksual. Korban perempuan pun merasa sulit dalam melaporkan kasus pelecehan seksual yang dialaminya karena stigma masyarakat yang kerap menyalahkan korban. Ternyata laki-laki juga sangat sulit untuk bisa melaporkan dan mendapat validasi atas peristiwa yang dialaminya. Anggapan masyarakat tentang pelecehan seksual yang selalu memposisikan laki-laki sebagai subjek sangat lah bias gender. Narasi kesetaraan seolah-olah hanya berlaku ketika korban pelecehan adalah perempuan. Media pun jarang yang memuat berita terkait kekerasan seksual yang dialami oleh laki-laki. Keadaan seperti itu menyebabkan adanya bias gender dalam pandangan masyarakat terkait fenomena pelecehan seksual. Lantas, mengapa laki-laki selalu dianggap tidak dapat menjadi korban kekerasan seksual? Hal ini tidak terlepas dari budaya patriarki yang sangat kental di Indonesia.
Dalam masyarakat patriarkis, nampaknya tak ada yang bebas dari stigma negatif. Perempuan menjadi korban utama yang selalu berada dalam bayang-bayang laki-laki. Perempuan menjadi subordinasi laki-laki yang dipandang setingkat lebih rendah. Namun, ternyata dampak dari sistem patriarki lebih parah. Laki-laki yang konon jadi sosok yang ditinggikan juga tak bebas dari stigma. Dalam masyarakat patriarkis, lazimnya adalah laki-laki menyukai perempuan, begitupun sebaliknya. Laki-laki harus mengayomi dan melindungi, sedangkan perempuan adalah sosok lemah yang perlu dilindungi. Laki-laki tidak boleh menangis dan perempuan tidak boleh melakukan pekerjaan berat. Dengan adanya stereotip maskulinitas tersebut, laki-laki diharapkan untuk bertingkah semaskulin mungkin dan menjadi figur yang kuat dalam masyarakat, hal inilah yang membuat masyarakat berpandangan bahwa laki-laki tak mungkin menjadi korban kekerasan seksual.
Data yang menunjukkan terjadinya kekerasan seksual pada laki-laki seringkali diacuhkan karena laki-laki yang memiliki pengalaman menjadi korban cenderung untuk tidak melaporkannya. Laki-laki diasosiasikan sebagai sosok kuat sehingga seorang laki-laki dewasa tidak akan dipecaya jika melapor menjadi korban pelecehan seksual. Tentu, hal ini memberatkan posisi laki-laki ketika mereka menjadi korban kekerasan seksual. Laki-laki korban kekerasan seksual seringkali merasa lemah, tidak berharga, dan kehilangan kejantanannya karena tidak mampu melindungi diri maupun komunitasnya. Belum lagi, adanya asumsi masyarakat yang menggeneralisir korban perkosaan sesama jenis sebagai bentuk penyimpangan seksual.
Walaupun laki-laki memiliki peluang yang lebih kecil untuk mengalami kekerasan seksual, banyak sekali kasus yang tak terungkap ke permukaan. Perlu adanya pemahaman yang lebih dalam terkait cara pandang terhadap kasus pelecehan atau bahkan kekerasan seksual. Kita sebagai masyarakat yang cerdas, harus mampu melihat dan menganalisa suatu kasus terkait itu tertentu. Jangan sampai memberikan pandangan, apalagi justifikasi sepihak secara kasat mata, atau bahkan karena stigma mayoritas, sehingga menimbulkan suatu kesimpulan yang bias gender.
Sumber:
1. Kompas.com
2. Suaramahasiswa.com
3. Hukumonline.com
You may like
Opini
Dasar-Dasar Ilmu Hukum (2) : Urgensi, Pengertian dan Kaidah Hukum
Published
1 week agoon
12 September 2024By
Mitra WacanaDewasa ini, diera kompleksitas kehidupan umat manusia, keberadaan hukum ditengah-tengah masyarakat tentu sangat dibutuhkan. Selain sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan, kebahagiaan, dan kepastian hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, hukum juga bisa menjadi instrumen dalam mewujudkan masyarakat yang maju dan sejahtera _(tool of social engineering)_ dalam berbagai aspek, termasuk dalam aspek sosial, ekonomi, dan politik.
Secara filosofis historis, keberadaan hukum ditengah-tengah masyarakat memang tidak dapat berdiri sendiri. Artinya, hukum memiliki relasi yang erat dengan kehidupan masyarakat itu sendiri. Berkaitan dengan ini, kita mengenal adagium yang berbunyi Ubi Societas Ibi Ius (dimana ada masyarakat disitu ada hukum). Dalam kenyataannya, hukum senantiasa mengikuti perkembangan pola perilaku yang ada dalam masyarakat, begitupun sebaliknya. Menurut Drs. Sudarsono, S.H., Keterhubungan antara hukum dan masyarakat bertalian erat dengan adanya beberapa kebutuhan dasar manusia yang harus dilindungi oleh hukum. Diantaranya adalah kebutuhan fisiologis (makan-minum), kebutuhan keamanan, kerja sama, kehormatan diri, dan kebutuhan eksistensial. (Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, 1991 : hal. 46).
Lebih lanjut, Sudikno Mertokusumo dalam bukunya berjudul Mengenal Hukum Suatu Pengantar mengetengahkan bahwa sejatinya manusia adalah makhluk yang sepanjang hidupnya dibarengi oleh berbagai macam kepentingan. Dan konsekuensi logis sebagai penyandang kepentingan, manusia menginginkan agar kepentingan-kepentingannya terlindungi dari bahaya yang mengancamnya. Oleh karena itu dibutuhkan adanya hukum atau pedoman hidup yang bisa mengatur secara proporsional kehidupan masyarakat, hal ini dilakukan untuk menghindari adanya tingkah laku seorang manusia yang secara potensial maupun aktual merugikan manusia lain. (Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, 2010 : 6).
Berdasarkan urgensi yang telah diuraikan diatas, kita bisa menarik suatu konklusi dengan mengartikan hukum sebagai sekumpulan pedoman hidup yang mengatur tata tertib suatu masyarakat secara seimbang dengan tujuan melindungi kepentingan masyarakat yang ada. Berkaitan dengan hal ini, Sudikno menjelaskan bahwa hukum adalah keseluruhan kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dengan suatu sanksi bagi yang melanggarnya. Lebih lanjut, hukum menurut Jeffrey Brand adalah aturan yang disepakati secara bersama untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya. (Jeffrey Brand, Philosphy Of Law, 1976 : hal. 58).
Menurut Drs. C. Utrecht, S.H., Hukum adalah himpunan peraturan yang berisi perintah-perintah dan larangan-larangan yang mengurus tata tertib suatu masyarakat yang harus ditaati oleh masyarakat tersebut. Pengertian ini hampir sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Rosceo Pound yang mengartikan hukum sebagai keseluruhan norma-norma yang mengikat hubungan kepentingan antar manusia dalam masyarakat. Dalam kenyataannya memang, ada banyak sekali definisi hukum dari para ahli yang mewarnai perkembangan ilmu hukum, namun para ahli tersebut juga memberikan definisi yang berbeda-beda. Sehingga tidak ada satu definisi yang bisa diafirmasi secara mutlak sebagai definisi tunggal tentang hukum.
Sebagaimana yang telah di uraikan sebelumnya, bahwa untuk mewujudkan kondisi masyarakat yang tertib dan berkeadilan, dibutuhkan suatu pedoman hidup atau kaidah sosial yang disepakati secara bersama-sama sebagai patokan dalam bertingkah laku. Pada hakikatnya, kaidah sosial merupakan perumusan suatu pandangan mengenai perilaku atau sikap yang seharusnya dilakukan dan sikap yang tidak seharusnya dilakukan dalam masyarakat. (Soedjono Dirjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, 1987 : hal. 9). Dalam kehidupan masyarakat, paling tidak ditemukan empat kaidah sosial, masing-masing adalah kaidah agama, kaidah kesusilaan, kaidah kesopanan, dan kaidah hukum. Bila kaidah agama dan kaidah kesusilaan bersifat otonom (berasal dari dalam diri manusia), maka kaidah kesopanan dan kaidah hukum bersifat heteronom (berasal dari luar diri manusia).
Secara sederhana, ada dua alasan mengapa kaidah hukum masih dibutuhkan padahal sudah ada tiga kaidah sosial sebelumnya. Alasan pertama, sanksi kaidah sosial lainnya (kaidah agama, kaidah kesusilaan, dan kaidah kesopanan) dianggap kurang tegas dan kurang dirasakan secara langsung. Dimana disisi lain sanksi adalah elemen esensial dalam upaya menegakkan hukum. Atas dasar kelemahan ketiga kaidah sosial tersebut, sehingga kaidah hukum diperlukan agar kepatuhan masyarakat terhadap hukum dapat terimplementasi secara optimal. Sebagaimana adagium obedientia est legis essential (kepatuhan merupakan inti dari hukum). Alasan yang kedua adalah kaidah hukum dibutuhkan secara normatif untuk melindungi kepentingan pribadi dan masyarakat secara proporsional. (Dasar-Dasar Ilmu Hukum, 2021 : hal. 12).