
I Wayan Gus Gina Volunteer Mitra Wacana
Kasus kekerasan yang menimpa laki-laki akan cenderung menjadi tertawaan, apalagi jika berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga. Padahal sebenarnya tidak juga, korban kekerasan seksual baik di Indonesia maupun seluruh dunia tidak hanya dialami oleh perempuan dan anak-anak saja. Semua bisa menjadi korban kekerasan seksual, termasuk laki-laki. Perbedaannya ialah tidak banyak orang akan mengetahui apabila korban tergolong sebagai seorang laki-laki. Hal ini dikarenakan korban laki-laki lebih memilih menutupi persoalan kekerasan seksual yang dialami dibandingkan korban perempuan.
Beberapa pekan yang lalu masyarakat dihebohkan dengan sebuah kasus perundungan dan pelecehan seksual terhadap seorang karyawan laki-laki di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menerima permohonan perlindungan dari MS, pegawai KPI yang diduga menjadi korban perundungan dan pelecehan seksual dari beberapa orang. Para pelaku dalam kasus tersebut tidak lain adalah rekan kerja sesama pegawai di KPI dan diduga telah dilakukan selama bertahun-tahun lamanya, namun baru saat ini korban memberanikan diri untuk membawa kasus tersebut ke ranah hukum. Apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa baru sekarang korban berupaya menyelesaikan kasus tersebut?
Berbeda dengan kasus kekerasan seksual yang biasanya terjadi pada seorang perempuan, kali ini kasus kekerasan seksual terjadi pada seorang laki-laki. Banyak penelitian menunjukkan bahwa korban kekerasan seksual didominasi oleh perempuan dan mayoritas pelaku adalah laki-laki. Akan tetapi fakta tersebut tidak dapat mengubah kenyataan bahwa kekerasan seksual juga terjadi pada laki-laki, khususnya anak laki-laki. Kekerasan seksual terhadap laki-laki seringkali tidak dianggap sebagai suatu hal yang serius. Berdasarkan Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender yang diluncurkan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan INFID, di tahun 2020 terdapat 33% laki-laki yang mengalami kekerasan seksual khususnya dalam bentuk pelecehan seksual.
Berdasarkan survei dari Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) yang melibatkan 62.224 responden, 1 dari 10 laki-laki pernah mengalami pelecehan di ruang publik. Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memperlihatkan bahwa korban kekerasan seksual di tahun 2018 lebih banyak dialami oleh anak laki-laki, dimana ada 60% anak laki-laki dan 40% anak perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tahun 2017, untuk kelompok umur 13-17 tahun prevalensi kekerasan seksual terlihat lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan, yaitu sebesar 8,3% atau dua kali lipat dari prevalensi kekerasan seksual pada perempuan yang mencapai 4,1%.
Selama ini anggapan di masyarakat mempercayai bahwa laki-laki tidak mungkin atau tidak bisa menjadi korban kekerasan seksual. Korban perempuan pun merasa sulit dalam melaporkan kasus pelecehan seksual yang dialaminya karena stigma masyarakat yang kerap menyalahkan korban. Ternyata laki-laki juga sangat sulit untuk bisa melaporkan dan mendapat validasi atas peristiwa yang dialaminya. Anggapan masyarakat tentang pelecehan seksual yang selalu memposisikan laki-laki sebagai subjek sangat lah bias gender. Narasi kesetaraan seolah-olah hanya berlaku ketika korban pelecehan adalah perempuan. Media pun jarang yang memuat berita terkait kekerasan seksual yang dialami oleh laki-laki. Keadaan seperti itu menyebabkan adanya bias gender dalam pandangan masyarakat terkait fenomena pelecehan seksual. Lantas, mengapa laki-laki selalu dianggap tidak dapat menjadi korban kekerasan seksual? Hal ini tidak terlepas dari budaya patriarki yang sangat kental di Indonesia.
Dalam masyarakat patriarkis, nampaknya tak ada yang bebas dari stigma negatif. Perempuan menjadi korban utama yang selalu berada dalam bayang-bayang laki-laki. Perempuan menjadi subordinasi laki-laki yang dipandang setingkat lebih rendah. Namun, ternyata dampak dari sistem patriarki lebih parah. Laki-laki yang konon jadi sosok yang ditinggikan juga tak bebas dari stigma. Dalam masyarakat patriarkis, lazimnya adalah laki-laki menyukai perempuan, begitupun sebaliknya. Laki-laki harus mengayomi dan melindungi, sedangkan perempuan adalah sosok lemah yang perlu dilindungi. Laki-laki tidak boleh menangis dan perempuan tidak boleh melakukan pekerjaan berat. Dengan adanya stereotip maskulinitas tersebut, laki-laki diharapkan untuk bertingkah semaskulin mungkin dan menjadi figur yang kuat dalam masyarakat, hal inilah yang membuat masyarakat berpandangan bahwa laki-laki tak mungkin menjadi korban kekerasan seksual.
Data yang menunjukkan terjadinya kekerasan seksual pada laki-laki seringkali diacuhkan karena laki-laki yang memiliki pengalaman menjadi korban cenderung untuk tidak melaporkannya. Laki-laki diasosiasikan sebagai sosok kuat sehingga seorang laki-laki dewasa tidak akan dipecaya jika melapor menjadi korban pelecehan seksual. Tentu, hal ini memberatkan posisi laki-laki ketika mereka menjadi korban kekerasan seksual. Laki-laki korban kekerasan seksual seringkali merasa lemah, tidak berharga, dan kehilangan kejantanannya karena tidak mampu melindungi diri maupun komunitasnya. Belum lagi, adanya asumsi masyarakat yang menggeneralisir korban perkosaan sesama jenis sebagai bentuk penyimpangan seksual.
Walaupun laki-laki memiliki peluang yang lebih kecil untuk mengalami kekerasan seksual, banyak sekali kasus yang tak terungkap ke permukaan. Perlu adanya pemahaman yang lebih dalam terkait cara pandang terhadap kasus pelecehan atau bahkan kekerasan seksual. Kita sebagai masyarakat yang cerdas, harus mampu melihat dan menganalisa suatu kasus terkait itu tertentu. Jangan sampai memberikan pandangan, apalagi justifikasi sepihak secara kasat mata, atau bahkan karena stigma mayoritas, sehingga menimbulkan suatu kesimpulan yang bias gender.
Sumber:
1. Kompas.com
2. Suaramahasiswa.com
3. Hukumonline.com