Opini
Pengetahuan Perempuan dan Spirit Berpikir Kritis dalam Islam
Published
1 year agoon
By
Mitra Wacana

Satrio Dwi Haryono
Komunitas Dianoia, Sukoharjo
Dalam fakta sejarah, perempuan sering kali dipinggirkan dan dianggap sebagai gender kelas dua. Sehingga akses terhadap berbagai hal perempuan seringkali mengalami keterbatasan. Hal tersebut bekerja secara sistemik melalui berbagai kerja pengetahuan seperti kebudayaan dan pendidikan serta didorong dengan stereotipe dan subordinasi.
Sebut saja fenomena perempuan sebagai properti pada zaman pra-Islam dan aturan di Inggris tahun 1805 yang masih melegalkan penjualan perempuan merupakan segelintir fakta di panggung sejarah bahwa perempuan dipinggirkan (Nur Rofiah, 2020). Hal ini tentunya menyebabkan perempuan termaginalkan dan terbelakang. Ketidakberdayaan perempuan sangat kentara disini. Dimana perempuan mengalami berbagai dampak negatif seperti ketidaksetaraan ekonomi, tingkat kesehatan yang rendah bahkan partisipasi dalam kehidupan sosial dan politik yang (di)minim(kan).
Secara ideal, kemunduran dan kemajuan perempuan tentu akan sangat dipengaruhi dengan pengetahuan perempuan dan cara perempuan mengetahui. Kedua hal ini tidak dapat dipisahkan sehingga dalam konteks ini dianalogikan sebagai sepasang sepatu yang sempurna. Mary Belenky, Blythe, Nancy Goldberger Jill Tarule dari Ferris State University merancang suatu teori unik yakni Women`s Ways of Knowledge yang menyoal tentang lima tingkatan cara perempuan mengetahui .
Pertama, diam, pada tingkatan ini, perempuan tidak menggunakan daya akalnya sama sekali. Perempuan bergantung pada subyek lain yang memberikan pengetahuan kepadanya. Pengetahuan yang diterima tidak hanya bersifat afirmatif namun juga negatif bahkan koersif. Pengetahuan yang diterima perempuan memiliki beragam wujud yang tak hanya verbal namun juga non verbal bahkan dengan bentuk seperti bentakan, tendangan atau kekerasan. Tidak hanya sebagai a silent knower, melainkan perempuan juga sebagai silenced knower, atau orang yang dibungkam.
Kedua, pengetahuan terterima (received knowledge), berbeda dengan tingkatan yang pertama, di tingkatan ini perempuan menyakini bahwa pengetahuan sebagai kebenaran semata. Berbagai upaya dilakukan perempuan walaupun tanpa mencari pembanding dengan sumber pengetahuan lainnya, perempuan secara total memercaya otoritas seperti media sosial, sekolah, kuliah, artikel, podcast, bahkan majelis taklim. Pengetahuan yang diterimanya pun diresapi dan disebarkan dengan cepat. Padahal dalam kandungan pengetahuan memuat unsur politis dan ideologis pemegang otoritas. Dengan itu, maka tak heran jika kini masih berkeliaran informasi palsu dan tak sedikit yang malah mendiskreditkan perempuan yang disebarkan oleh perempuan itu sendiri.
Ketiga, pengetahuan subyektif (subjective knowledge), pada tingkatan yang lebih tinggi ini, perempuan menggunakan subjektivitas dirinya sebagai bahan pertimbangan atas informasi yang ia terima. Bahan pertimbangan tersebut umumnya bersumber dari pengalaman personal dan ’emosi’ perempuan. Sebut saja ketika perempuan mendapatkan informasi mengenai kerja-kerja domestik yang menjadi kewajibannya ia akan menimbang dengan pengetahuan yang ia terima dari pengalamannya bertemu dengan seseorang, melihat atau membaca dalam sosial media tentang kiprah perempuan dalam ranah publik.
Keempat, pengetahuan prosedural (procedural knowledge), perempuan mulai menyadari pengetahuan pada ranah objektif. Ketika ia menerima suatu informasi ia akan menimbang dengan sumber yang berbeda dan akan mengolahnya sehingga memunculkan kesimpulan yang bulat. Sehingga perempuan tidak lagi bersandar pada pengalaman personal namun juga menimbangnya dengan sumber-sumber lain dan merangkainya.
Kelima, pengetahuan kukuh (constructed knowledge), pada tingkatan yang paling tinggi ini perempuan tidak sekadar merangkai berbagai sumber pengetahuan dan merangkainya melainkan bersandar pada kerangka objektif dan melakukan verifikasi mendalam serta meletakkan pengetahuan secara kontekstual. Dimana pengetahuan yang ia terima secara sadar maupun tidak sadar dihubungkan dengan subjektivitas perempuan dan ditimbang secara objektif lalu diletakkan pada ranah kontekstual. Pengetahuan yang ia peroleh pun tidak hanya bersandar pada otoritasnya namun pada kuat tidaknya argumentasi yang berada pada inti pengetahuan tersebut.
Tak dapat dinafikan bahwa ‘tingkatan cara perempuan mengetahui’ ini tidak terjadi pada perempuan secara menyeluruh namun terdapat bagian-bagian atau bidang-bidang tertentu yang dikuasai oleh perempuan itu sendiri. Namun, tak dapat dinafikan pula latar belakang historis perempuan itu sendiri juga memengaruhi ‘ yang turut memengaruhi tingkatan mana yang sedang dilalui perempuan tersebut.
Antara ‘cara perempuan mengetahui’ dan pengetahuan perempuan pun harus berjalan secara bersamaan. Aneh rasanya, jika ‘cara perempuan mengetahui’ pada tahap lima namun pengetahuan perempuan tersebut sangat minim, begitu pula sebaliknya.
Dalam Islam pun pengguanaan akal untuk secara aktif diperintahkan Allah SWT dalam berbagai firmannya. Bahkan kata ‘akal’ dalam al-Qur`an berbentuk kata kerja bukan kata benda. Maka, akal disini seyogyanya digunakan secara maksimal dan juga tidak secara serampangan tanpa melibatkan pengalaman, mengingat pengelaman juga tak lepas dari kerja-kerja akal. Serta prosedur pengetahuan yang objektif dan kontekstualisasi pengetahuan juga mustahil tanpa melibatkan peran akal.
Prinsip berpikir kritis pun diperintahkan Allah SWT dengan tegas pada Surat al-`Alaq (1-5), Allah SWT menekankan kata ‘Iqra’ secara berulang-ulang. Tentunya, kata ‘Iqra’ tidak sesederhana translasi ‘bacalah’, namun mencakup seluruh kemampuan berpikir untuk mengeksplorasi dan memahami suatu hal.
Perintah Iqra pada surat tersebut juga tidak diikuti oleh objek tertentu yang bermakna bahwa apa saja yang ada di dunia ini harus kita pahami dan dieksplorasi secara kritis.
Sehingga dengan ‘cara perempuan mengetahui’, pengetahuan perempuan dan berpikir kritis dapat menciptakan peradaban yang adil dan tidak diskriminatif. Pada akhirnya, dengan bekal tersebut mengembang pada berbagai bidang seperti meningkatnya akses perempuan terhadap pendidikan, kesehatan serta partisipasi sosial dan publik.
You may like


Naila Rahma, mahasiswa jurusan Tadris Bahasa Indonesia di Fakultas Adab dan Bahasa, Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta.
Di era digital saat ini, citra kampus dibangun tidak hanya lewat prestasi akademik atau fasilitas yang megah, tetapi juga melalui unggahan di media sosial terutama Instagram. Setiap kegiatan mahasiswa, lomba, dan juga potret keseharian diabadikan untuk memperkuat “Branding” lembaga atau kampus.
Namun, di balik tampilan yang estetik itu, ada fenomena yang sering luput dari perhatian, yaitu akun resmi kampus seperti Instagram yang cenderung menampilkan wajah-wajah yang dianggap menarik secara visual, yang sering diiming-imingi sebagai “Si cantik dan si ganteng.” Sementara itu, mahasiswa lain yang sama-sama berkontribusi, jarang mendapat ruang.
Sebagai mahasiswa, tentu kita senang melihat kampus sendiri tampil secara rapi dan modern di media sosial. Tetapi, jika setiap unggahan hanya menonjolkan satu tipe wajah dan gaya, secara perlahan akan muncul persepsi yang tidak baik. Kampus akan tampak ekslusif, seolah hanya diisi oleh mereka yang tampilannnya “Instagramable.”
Padahal, kenyataan yang terjadi lebih dari itu. Kampus memiliki berbagai ragam tipe mahasiswa, ada yang berprestasi di bidang akademik dan non akademik, ada yang aktif di organisasi sosial, dan juga ada yang diam-diam menginspirasi lewat karya kecilnya.
Fenomena seperti ini tidak akan bisa terlepas dari budaya visual di era digital. Dijelaskan oleh Rahman (2021) dalam penelitianya, bahwa strategi komunikasi digital kampus sering kali lebih berfokus pada pembentukan citra dibanding pada keberagaman.
Ketika media sosial kampus lebih sering menampilkan wajah-wajah visual tertentu, yang akan terbentuk bukan hanya citra lembaga, tetapi juga standar ideal dari “Mahasiswa kampus tersebut.” Akibatnya, media sosial yang seharusnya menjadi ruang representatif malah berubah menjadi etalase selektif.
Penelitian yang dilakukan oleh Rahman (2021) mengenai representasi perguruan tinggi di media sosial juga menunjukkan bahwa komunikasi digital kampus lebih berfokus pada tampilan visual yang dianggap “Menarik” dan “Mengesankan”. Namun, hal ini akan menimbulkan dampak yang cukup besar. Akan ada mahasiswa yang mulai merasa minder karena dirinya tak sesuai dengan standar visual yang ditampilkan di sosial media. Ada juga yang mengukur nilai dirinya dari seberapa sering dia muncul di feed kampus. Pola pikir yang seperti ini dapat menimbulkan kesan eksklusif terhadap identitas mahasiswa.
Padahal, akun kampus seharusnya bisa menjadi ruang inklusif yang mengakui keberagaman mahasiswanya, bukan malah menutupinya dengan filter dan sudut pengambilan gambar yang seragam. Ketika akun resmi kampus hanya menampilkan “Tipe ideal,” pesan yang tersampaikan ke publik pun tidak sepenuhnya netral dan dipandang kalau citra kampus ditentukan oleh tampilan fisik, bukan isi pikirannya. Hal ini bisa berbahaya dalam waktu jangka panjang karena membentuk persepsi eksklusif yang tidak mencerminkan realitas mahasiswa secara utuh.
Maka, sudah saatnya kampus memikirkan kembali strategi komunikasinya di media sosial. Mendorong akun resmi kampus untuk menampilkan keberagaman mahasiswa bukan berarti mengorbankan estetika, melainkan memperluas narasi. Hal seperti ini disampaikan juga oleh Handayani (2022) dalam Jurnal Komunikasi Indonesia, konten visual yang beragam justru memperkuat keterlibatan penonton karena menghadirkan kedekatan dan representasi yang lebih nyata.
Sesuatu yang di unggah bisa memuat tentang mahasiswa yang menang perlombaan akademik maupun non akademik, kemudian mahasiswa yang aktif di komunitas sosial, ataupun yang berkarya di luar kampus. Dengan begitu, setiap postingan yang diunggah tidak hanya menarik secara visual, tetapi juga bermakna secara sosial.
Admin yang memegang media sosial kampus pun memiliki peran penting. Mereka tidak hanya sekadar pembuat konten, tetapi juga penjaga citra kampus. Dengan menampilkan keberagaman mahasiswa, berarti menunjukkan bahwa kampus menghargai setiap individu, tanpa melihat warna kulit, bentuk tubuh, gaya berpakaian, atau latar sosialnya. Justru dari situlah nilai keindahan yang sebenarnya, yaitu pada keberagaman yang nyata, bukan pada keseragaman yang dibuat-buat.
Di tengah budaya visual yang saat ini semakin mendominasi, kampus perlu untuk kembali pada esensi pendidikan yang mampu membentuk mahasiswa berpikir kritis, empatik, dan terbuka. Keindahan sejati kampus tidak terletak pada seberapa “Estetik” unggahannya, tetapi pada seberapa luas ruang yang diberikan kepada mahasiswanya untuk terlihat dan diakui.
Mungkin bukan masalah besar jika akun kampus menampilkan wajah visual yang menarik. Namun, perlu diingat kembali, bahwa di balik setiap unggahan yang tampak sempurna, selalu ada cerita lain yang layak untuk disorot. Karena, keberagaman bukan hanya sekadar konten, tetapi ia adalah cermin dari siapa kita sebagai komunitas akademik.

Si Cantik, Si Ganteng, dan Kampus Kita

Mitra Wacana Hadiri Rapat Koordinasi Organisasi Kemasyarakatan Kabupaten Bantul







