Opini
Penyimpangan dan Konflik Budaya dalam Naskah Drama ‘Nyonya-Nyonya’ karya Wisran Hadi
Published
5 months agoon
By
Mitra WacanaSastra terdiri dari berbagai jenis genre, salah satu dari genre dalam karya sastra adalah drama. Sebagai sebuah karya sastra, karya drama sama dengan karya sastra pada umumya, drama juga termasuk kedalam jenis tulisan fiksi. Menurut Hasanuddin WS (2009:8) drama adalah merupakan suatu genre sastra yang dituliskan dalam bentuk dialog dengan tujuan untuk dipentasakan sabagai suatu seni pertunjukan. Selanjutnya menurut Semi (1989:145) drama ialah yang hanya menyangkut masalah manusia dan kemanusiaan semata. Hal itu disebabkan karena drama dilakonkan oleh manusia.
Sebagai sebuah karya sastra yang berbeda dengan prosa dan puisi yang capaiannya ialah dibaca, drama memiliki dua capaian yang mengisyaratkan suatu naskah dapat disebut sebagai naskah drama, yakni dibaca dan dipentaskan. Sebuah naskah baru dapat diakui sebagai naskah drama yang baik jika sudah digarap dan dipentaskan dalam sebuah pertunjukan, karena capainnya ialah pembaca dan penonton.
Sama halnya dengan karya sastra prosa, naskah drama juga terdiri dari berbagai macam jenis, realis dan surealisme misalnya. Beberapa naskah drama yang mengadopsi konsep realisme biasanya menyajikan cerita seputar kehidupan sehari-hari dan berusaha menyajikan hal-hal yang dekat dengan aktivitas kehidupan sebagai alat pencermin ralitas sosial, sedangkan naskah surealisme berkebalikan dengan realisme, jika pertunjukan realis berusaha menyajikan pementasan yang mirip ke hal-hal yang hadir di dunia nyata, pertunjukan surealisme menyajikan hal-hal ganjil yang tidak bisa ditangkap oleh akal sehat.
Salah satu contoh naskah drama yang menganut konsep realisme ialah naskah drama fenomenal ‘Nyonya-Nyonya’ karya sastrawan legendaris indonesia, Wisran Hadi. Naskah drama Nyonya- Nyonya karya Wisran Hadi menceritakan sebuah gambaran realitas kehidupan tentang keserakahan dan ketamakan manusia.
Dilihat langsung dari judulnya, yaitu Nyonya-Nyonya yang secara langsung mengisyaratkan bahwa konflik dalam karya drama tersebut tentu melibatkan beberapa perempuan untuk mengeksekusi gagasan-gagasan penting dalam naskah ini. Tokoh utama dalam drama ini adalah Nyonya cantik pemilik rumah mewah yang bersuamikan seorang datuk yang tengah dirawat di rumah sakit.
Konflik dimulai ketika Tuan (seorang pedagang barang antik) mulai merayu nyonya agar diizinkan memasuki rumah nyonya, bukan untuk tujuan berdagang semata, melainkan sang Tuan mengetahui keadaan nyonya dan suaminya yang tengah dirawat di rumah sakit saat itu. Dengan berbagai cara dan upaya Tuan terus merayu Nyonya agar mengizinkannya memasuki rumah. Mulai dari membeli beberapa buah marmer teras nyonya dengan harga mahal agar sang tuan dapat berdiri disana, kemudian beranjak membeli kursi tamu nyonya dengan harga mahal agar dapat leluasa masuk kedalam rumah Nyonya, hingga membeli kasur tempat tidur nyonya yang terletak di dalam kamar tidur Nyonya dengan tujuan yang sama, agar dapat leluasa masuk ke dalam ruang tidur nyonya. Nyonya yang dalam keadaan bimbang saat itu termakan rayuan Tuan, sehingga melupakan esensial dirinya sebagai seorang istri datuk yang semestinya disegani dan dihormati. Namun hanya karena sejumlah uang yang ditawarkan oleh Tuan sang pedagang barang antik, Nyonya seakan lupa posisinya sebagai seorang istri, terlebih lagi istri seorang datuk yang semestinya dipandang dan disegani masyarakat setempat.
Tak sampai disana, dalam pertunjukan naskah Nyonya-nyonya karya Wisran Hadi ini juga terdapat beberapa Nyonya-nyonya lainnya. Ponakan A, Ponakan B, Ponakan C dan istri si penjual barang antik. Para ponakan ialah kemenakan sang datuk yaitu tak lain ialah suami nyonya yang tengah dirawat di rumah sakit. Konflik berkelanjutan dimulai dari sini. Para kemenakan menuntut hak mereka atas tanah pusaka yang diduga dijual oleh datuk mereka, para ponakan menuntut sang Nyonya untuk bertanggung jawab atas perangai buruk suaminya dengan mmemberi sebagian uang pejualan tanah pusaka itu kepada mereka.
Pertunjukan teater selalu menjadi medium yang kuat untuk merayakan warisan budaya dan merangkul identitas daerah. Dalam naskah drama mengambil latar budaya kehidupan masyarakat Minangkabau karya Wisran Hadi ini, tidak hanya disajikan perdebatan Nyonya dan Tuan, tetapi juga kita diundang untuk merenungkan peran Mamak dan pergeseran fungsi kemenakan yang memainkan peran penting dalam dinamika sosial dan emosional.
Sebuah karya sastra tidak pernah berangkat dari kekosongan sosial (Devi, 2019). Maknanya karya sastra selalu ditulis berdasarkan kehidupan sosial masyarakat serta kebudayaan- kebudayaan yang melatarbelakanginya. Grebsten (Damono dalam Devi, 2019) menyatakan karya sastra tidak dapat dipahami secara lengkap apabila terpisah dengan kebudayaan yang melatarbelakanginya. Karya sastra itu sendiri merupakan objek yang selalu berhubungan dengan budaya. Bagaimanapun karya sastra bukanlah suatu karya yang berdiri sendiri. Oleh karena itu, naskah drama ‘Nyonya-Nyonya’ karya Wisran Hadi dapat dianalisis melalui lensa Antropologi sastra
|
.
Nyonya-nyonya merupakan sebuah naskah drama yang menggambarkan dinamika sosial budaya dalam masyarakat Minangkabau dengan sentuhan pada konflik realitas sosial. Dalam naskah ini, Wisran Hadi secara cermat menggambarkan adanya nilai-nilai budaya yang dititikberatkan sebagai masalah esensial dalam realitas kehidupan masyarakat beradat, yang dapat ditinjau dalam dua kacamata :
1. Penyimpangan peran Datuk
Mamak atau Datuk yang diceritakan dalam konteks drama yang mengambil latar budaya Ranah Minang ini, merupakan figur yang seharusnya memiliki peran dominan dalam struktur masyarakat. Tradisionalnya, dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, Mamak atau Datuk adalah kepala kaum yang berwenang mengurusi kaum dan semestinya dihormati, bertanggung jawab atas pengambilan keputusan keluarga dalam menjaga tradisi.
Namun, dalam pertunjukan drama “Nyonya-Nyonya”, banyak ditemukan penyimpangan dari peran tradisional ini. Dalam naskah ini, ditunjukan peranan Mamak atau Datuk yang malah menodai esensial seorang Mamak dalam latar budaya Minangkabau yang semestinya dihormati dan disegani para kemenakannya. Sepatutnya, para kemenakan menaruh rasa hormat yang tinggi juga pada istri Datuk, sebagai seorang yang semestinya juga disegani oleh mereka. Namun, yang
terjadi dalam realitas naskah ialah para kemenakan sama sekali tidak memiliki jiwa hormat dan rasa segan yang seharusnya kepada Nyonya sang istri Datuk.
Bukan tanpa alasan, melainkan banyak penyimpangan peranan yang mestinya dijaga oleh Datuk, seperti penjualan harta pusaka kaum yang hanya digunakan untuk kemewahan semata yang tentu menyimpang dari norma adat dan budaya masyarakat minangkabau yang mengharamkan penjualan tanah pusaka tinggi kecuali dalam beberapa keadaan tertentu. Menurut kebudayaan Minang, warisan dibagi menjadi dua jenis, yaitu pusaka tinggi dan pusaka rendah. Pusaka tinggi adalah warisan yang telah ada secara turun-temurun dan dilanjutkan pada generasi sebelumnya. Pusaka tinggi ini dibagi berdasarkan keputusan datuk tertua di suatu kaum. Sedangkan pusaka rendah dibagi berdasarkan aturan agama yang dianut
Datuk yang diceritakan dalam lakon ini bukanlah Datuk yang menjaga peranan yang seharusnya, juga bukanlah Datuk yang mencerminkan nilai niniak mamak. Dalam bahasa kasarnya, Datuk yang tak beradat. Hal ini dibuktikan pada penggalan naskah :
PONAKAN A
Datuk mengatakan si pembeli tanah pusaka itu belum melunasi pembayarannya. Tapi setelah kutanya langsung pada pembelinya, uang itu telah lunas dibayar pada Datuk. Tanda bukti penerimaan uang itu ada padanya.
PONAKAN A
Datuk berjanji akan membagi-bagikan uang itu pada kami. Setelah setahun di tunggu, berita saja tidak…. Apalagi pembagian uang. Tentu Datukku telah menghabiskannya sendiri.
Dalam penggalan tersebut, diketahui bahwa Datuk sebagai seorang Mamak telah mengotori peranannya. Datuk dalam esensial masyarakat Minangkabau ialah orang yang beradat dan seharusnya dijunjung tinggi keberadaaanya, namun Datuk dalam naskah menghadirkan pertentangan terhadap hal tersebut dengan terbuktinya sang Datuk telah menjual tanah pusaka kaum. Dalam tatanan masyarakat yang beradat, tentu hal ini merupakan sebuah penyimpangan yang menodai fungsi dan peranan Datuk yang sebenarnya.
2. Pergeseran fungsi kemenakan
Secara hukum tradisionalnya, para kemenakan dianggap harus tunduk pada otoritas keluarga besar terlebih lagi pada keputusan Mamak atau Datuk mereka. Bahkan dalam kehidupan terdahulu gadis-gadis di Minangkabau biasanya perjodohan dan calon suami mereka berdasarkan keputusan Mamak. Para kemenakan harus hormat dan patuh pada Datuknya, konon bahkan melebihi ayahnya sendiri. Karena datuk memerankan peranan yang amat penting dalam kehidupan kemenakannya, terutama kemenakan perempuannya.
Tak hanya itu, sebagai kaum yang hidup dengan garis keturunan dan sistem kekerabatan Matrilineal, Masyarakat Minangkabau beranggapan seluruh sanak family laki-laki yang telah bekeluarga masih memiliki hubungan bahkan fungsi dan peranan yang kuat dalam keluarga ibunya. Segala urusan adat dan kaum tetap dikerahkan kepada kaum laki-laki atau Mamak. Karna perannya yang begitu besar, para Mamak di minangkabau mendapat posisi istimewa, terlebih lagi jika bergelar seorang Datuk, seluruh keputusan kaum harus berdasarkan persetujuannya. Oleh karenanya, sudah semestinya para kemenakan tunduk dan patuh pada Datuknya, merawat Datuknya, dan menjaga segala keperluan Datuknya, terlebih lagi jika sang Datuk dalam keadaan sakit.
Dalam naskah Nyonya-nyonya ditemukan beberapa penyimpangan peranan Ponakan sebagai reaksi atas kesewenangan datuknya dalam mengelola harta pusaka dan telah menjualnya. . Seperti yang tergambar dalam penggalan :
NYONYA
Selama empat bulan lebih, Datukmu di rumah sakit, hanya aku yang menjaga dan menanggung biaya obat-obatnnya. Mahal. Kamu tentu tidak akan pernah tahu berapa biaya obat-obatan untuk menyembuhkan penyakit kanker lidah, bukan?
NYONYA
Soal Datukmu dapat bicara atau tidak, itu urusan lain. Tapi, perlu kujelaskan padamu bahwa aku sebagai isrinya elah berbuat lebih dari segalanya. Kalau suamiku itu punya banyak kemenakan, coba mana kemenakannya yang datang atau ikut membantu biaya perawatannya? Tidak seorang pun! Hanya kamu sendirilah yang datang, itu pun untuk urusan tentang uang tanah pusakamu! Tapi benar juga, suamiku menganggap bahwa
kemenakannya yang banyak itu hanya tahu pada hak tapi tidak pada kewajiban. Sudah begitu besarnya pengorbananku, aku malah dicurigai.
Juga pada penggalan :
PONAKAN A
Gejala aneh! Pasti kena kutukan. Itulah akibatnya kalau Datuk tidak jujur dalam pembagian warisan.
NYONYA
Jujur atau tidak, lain persoalan. Walau lidah suamiku akan dipotong sekali pun, aku tetap menjadi istrinya yang setia. Suamiku selama ini merasa terasing dari kemenakannya. Itu sebabnya dia memercayaiku.
PONAKAN A
Hah! Memercayaimu daripada aku? Kemenakannya sendiri!? uh! Apa kamu kira adat kita telah berubah?
NYONYA
Kata suamiku, kemenakan sekarang hanya tahu enaknya saja. tidak ada lagi kemenakan yang mau merawat Datuknya, kalau tidak ada maksud-maksud tertentu. Katanya lagi, kalau tidak ada berada, masakan tempua bersarang rendah!
PONAKAN A
Cukup! Jangan menghina! Bila kamu sudah bosan dengannya, Datukku akan kubawa pulang ke kampung! Katakan sekarang juga kalau kamu sudah bosan. Katakan! Datukku akan kuangkat pulang. Uh! Kamu kira posisi istri lebih menentukan daripada kemenakan.
Pada beberapa penggalan percakapan Nyonya dan Ponakan A tersebut juga ditemui beberapa point penyimpangan peranan kemenakan dalam norma dan adat Minangkabau yang semestinya turut dan patuh pada datuknya, pada garis besar berikut :
- Strata Kemenakan dalam status dan norma sosial di Minangkabau
Hah! Memercayaimu daripada aku? Kemenakannya sendiri!? uh! Apa kamu kira adat kita telah berubah?
Kamu kira posisi istri lebih menentukan daripada kemenakan.
- Penyimpangan fungsi dan peranan Kemenakan dalam Naskah
- Kalau suamiku itu punya banyak kemenakan, coba mana kemenakannya yang datang atau ikut membantu biaya perawatannya? Tidak seorang pun! Hanya kamu sendirilah yang datang, itu pun untuk urusan tentang uang tanah pusakamu! Tapi benar juga, suamiku menganggap bahwa kemenakannya yang banyak itu hanya tahu pada hak tapi tidak pada kewajiban.
- Selama empat bulan lebih, Datukmu di rumah sakit, hanya aku yang menjaga dan menanggung biaya obat-obatnnya.
Nyonya-Nyonya karya Wisran Hadi ini memberikan gambaran yang dalam tentang penyimpangan peran Mamak dan pergeseran fungsi kemenakan dalam konteks kehidupan di masyarakat Minangkabau. Dengan pendekatan antropologi sastra, dapat dilihat bagaimana konflik pergeseran peran kemenakan dan fungsi mamak dapat mempengaruhi dinamika sosial budaya.
Penulis :
Rosidatul Arifah, Mahasiswi aktif Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas. Bergiat di Labor Penulisan Kreatif, beberapa karyanya telah dimuat dalam berbagai media cetak dan platform digital.
Opini
RUU PPRT dan Eksploitasi Pekerja Rumah Tangga (Analisis Feminis)
Published
4 weeks agoon
8 November 2024By
Mitra WacanaDi balik gemerlapnya kehidupan perkotaan dan kemewahan yang dipamerkan oleh sebagian besar keluarga Indonesia, ada satu sektor yang sering terabaikan dan dibiarkan terjerat dalam eksploitasi pekerja rumah tangga (PRT). Bukan hanya pekerjaan yang tidak dihargai, tetapi juga kelompok pekerja ini sering diperlakukan tanpa keadilan.
Mereka adalah perempuan-perempuan yang menjadi korban dari sistem patriarki dan ketidakpedulian negara, berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan kondisi yang lebih mirip perbudakan modern daripada pekerjaan yang dihargai. Bayangkan, selama lebih dari dua dekade, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang seharusnya memberikan perlindungan bagi mereka, masih diperdebatkan dan tertunda pengesahannya.
Mengapa? Apakah kita, sebagai masyarakat, begitu terbuai dengan kenyamanan dan kemewahan yang didapat dari eksploitasi kerja mereka hingga tak mampu melihat kesengsaraan di baliknya?
Saya di sini aakan mencoba membongkar realita pahit di balik pekerjaan rumah tangga berdasarkan data-data yang ada, mengungkap bagaimana ideologi feminis menawarkan jalan keluar, dan mengapa pengesahan RUU PPRT adalah langkah mendesak untuk menciptakan keadilan sosial yang sesungguhnya.
Perspektif feminis sangat relevan dalam memahami isu ini, mengingat mayoritas PRT adalah perempuan. Pekerjaan domestik, yang secara tradisional dianggap sebagai “kerja perempuan,” sering kali tidak dihargai dan dilindungi.
Eksploitasi PRT dan Perspektif Feminisme
Dalam masyarakat patriarkal, pekerjaan rumah tangga sering kali dipandang sebagai tugas alami perempuan. Hal ini menciptakan stigma bahwa pekerjaan domestik, termasuk yang dilakukan oleh PRT, tidak memiliki nilai ekonomi yang signifikan.
Perspektif feminis menekankan bahwa pekerjaan domestik adalah elemen penting dalam mendukung aktivitas ekonomi keluarga, terutama bagi kelas menengah dan atas.
Bell hooks, dalam bukunya Feminism is for Everybody, menekankan bahwa feminisme harus mencakup perjuangan untuk keadilan bagi perempuan pekerja dari kelas bawah. Ia mengkritik bagaimana kapitalisme dan patriarki berkontribusi pada marginalisasi pekerjaan domestik, yang mayoritas dilakukan oleh perempuan dari latar belakang ekonomi yang kurang mampu.
Hooks menegaskan bahwa pekerjaan domestik tidak boleh diremehkan atau dieksploitasi.
Sebagian besar PRT di Indonesia berasal dari pedesaan dan memiliki tingkat pendidikan rendah. Ketimpangan kelas ini memperburuk kerentanan mereka terhadap eksploitasi.
Banyak PRT yang bekerja lebih dari 12 jam sehari tanpa jaminan sosial atau perlindungan hukum. Ketiadaan regulasi memperparah ketimpangan ini, membuat mereka mudah dieksploitasi oleh pemberi kerja yang tidak bertanggung jawab.
Gambaran Eksploitasi PRT
Salah satu kasus paling menonjol yang menggambarkan pentingnya perlindungan hukum bagi PRT adalah kasus Erwiana Sulistyaningsih. Erwiana adalah PRT asal Indonesia yang bekerja di Hong Kong.
Selama bekerja, ia mengalami kekerasan fisik dan mental yang parah dari majikannya. Erwiana dipaksa bekerja tanpa istirahat, menerima upah yang sangat minim, dan tidak diberikan akses layanan kesehatan saat ia sakit.
Kasus Erwiana menarik perhatian internasional dan menjadi simbol perjuangan hak PRT. Meskipun terjadi di luar negeri, kasus ini mencerminkan kondisi yang serupa dialami oleh banyak PRT di Indonesia. Tanpa regulasi seperti RUU PPRT, pelanggaran hak terhadap PRT cenderung terus terjadi tanpa ada sanksi tegas bagi pelaku.
RUU PPRT: Solusi untuk Perlindungan PRT
RUU PPRT muncul sebagai jawaban atas kebutuhan mendesak untuk melindungi pekerja rumah tangga yang selama ini sering kali terabaikan dan dieksploitasi. Rancangan Undang-Undang ini dirancang untuk memberikan perlindungan hukum yang lebih komprehensif, dengan berbagai poin penting yang dapat mengubah nasib para pekerja rumah tangga.
Salah satunya adalah pengaturan mengenai hak atas kontrak kerja formal, yang selama ini menjadi hal yang langka bagi sebagian besar PRT. Tanpa kontrak yang jelas, mereka sering kali dirugikan dalam hal upah, jam kerja, dan hak-hak lainnya.
Selain itu, RUU PPRT juga menetapkan jam kerja yang wajar, sebuah langkah krusial untuk memastikan bahwa PRT tidak dipaksa bekerja tanpa henti, tanpa waktu istirahat yang cukup.
Tidak hanya itu, RUU ini juga menjamin bahwa para pekerja rumah tangga akan mendapatkan upah minimum yang sesuai dengan standar yang berlaku, memberikan mereka hak yang sama untuk mendapatkan penghasilan yang layak.
Pentingnya jaminan sosial dan kesehatan juga diatur dalam RUU ini, memastikan bahwa PRT tidak hanya diakui sebagai pekerja, tetapi juga diberikan perlindungan atas kesehatan mereka yang sering kali terabaikan.
Untuk mendukung hal tersebut, mekanisme pengaduan yang jelas juga disediakan bagi PRT yang menghadapi pelanggaran hak, membuka pintu untuk keadilan yang lebih cepat dan aksesibilitas bagi mereka yang membutuhkan perlindungan.
Namun, lebih dari sekadar perlindungan hukum, RUU PPRT juga bertujuan untuk menghapus stigma terhadap pekerjaan rumah tangga. Pekerjaan ini, yang selama ini dianggap sebagai pekerjaan “tidak penting” dan hanya layak dilakukan oleh perempuan dari lapisan masyarakat bawah, kini akan diakui sebagai sektor formal yang memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian negara.
Dengan demikian, RUU PPRT tidak hanya melindungi hak-hak PRT, tetapi juga mengangkat martabat mereka sebagai pekerja yang berharga dalam struktur sosial dan ekonomi.
Namun, pengesahan RUU PPRT menghadapi berbagai tantangan, mulai dari resistensi politik hingga kurangnya kesadaran publik akan pentingnya regulasi ini. Beberapa pihak berargumen bahwa regulasi ini akan memberatkan pemberi kerja.
Namun, perspektif feminis menekankan bahwa perlindungan hak PRT bukan hanya tentang kepentingan individu, tetapi juga tentang keadilan sosial dan pengakuan atas kontribusi ekonomi mereka.
Mengapa Perspektif Feminisme Penting dalam Perjuangan RUU PPRT?
Feminisme menekankan bahwa pekerjaan domestik harus diakui sebagai pekerjaan formal yang memiliki nilai ekonomi dan sosial. Pengesahan RUU PPRT akan menjadi langkah penting dalam menghapus stigma bahwa pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan “tidak penting.”
Hal tersebut juga akan memberikan pengakuan yang layak bagi perempuan yang selama ini terjebak dalam lingkaran eksploitasi karena pekerjaan mereka tidak dihargai secara formal.
Selain itu, eksploitasi terhadap PRT adalah bagian dari masalah yang lebih besar dalam budaya patriarki yang menganggap pekerjaan perempuan sebagai sesuatu yang dapat dieksploitasi tanpa konsekuensi.
Pengesahan RUU PPRT tidak hanya akan memberikan perlindungan hukum, tetapi juga membantu mengubah cara pandang masyarakat terhadap pekerjaan domestik, sehingga menciptakan lingkungan yang lebih setara dan adil.
Dengan demikian, pekerja rumah tangga adalah kelompok yang sangat rentan terhadap eksploitasi dan pelanggaran hak di Indonesia. Perspektif feminis, seperti yang diusung oleh bell hooks, menyoroti pentingnya melawan ketidakadilan ini dengan mengakui pekerjaan rumah tangga sebagai pekerjaan formal yang layak dihargai dan dilindungi.
Kasus Erwiana Sulistyaningsih menunjukkan bagaimana kekerasan dan eksploitasi dapat terjadi dalam ketiadaan perlindungan hukum.
Pengesahan RUU PPRT adalah langkah penting untuk memastikan keadilan sosial dan kesetaraan gender. RUU ini akan memberikan perlindungan hukum bagi PRT, meningkatkan kondisi kerja mereka, dan menghapus stigma negatif terhadap pekerjaan domestik.
Dengan demikian, perjuangan untuk pengesahan RUU ini harus menjadi prioritas dalam upaya menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara.
Referensi
- hooks, bell. Feminism is for Everybody: Passionate Politics. South End Press, 2000.
- Komnas Perempuan. Satu Suara Wujudkan Cita-Cita untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, 2024. https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-komnas-perempuan-peringatan-26-tahun-komnas-perempuan
JALA PRT. Statistik Pelanggaran Hak PRT di Indonesia, 2023.