web analytics
Connect with us

Arsip

PERBEDAAN PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI DALAM PENYAMAAN VISI DAN MISI BERKELUARGA

Published

on

PERBEDAAN PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI DALAM PENYAMAAN VISI DAN MISI BERKELUARGA
PERBEDAAN PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI DALAM PENYAMAAN VISI DAN MISI  BERKELUARGA

Penulis : Iva MAulida Azmi Mahasiswa UIN Sayid Ali Rahmatullah Tulungagung

Islam memandang pernikahan sebagai sesuatu hal yang sakral dan merupakan cita-cita yang ideal, tidak hanya mempersatukan antara laki-laki dan perempuan tetapi merupakan kontrak sosial dengan seluruh aneka ragam tugas dan tanggung jawab. Pernikahan merupakan satu-satunya bentuk hidup secara berpasangan yang kemudian dikembangkan untuk menjadi kehidupan yang baik dalam keluarga. Ikatan pernikahan merupakan unsur pondasi utama dalam terciptanya tatanan masyarakat yang bahagia. Selaras dengan apa yang tertuang dalam undang-undang No.1 tahun 1974 pada pasal 1 bahwa pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha Esa.

Pada hakikatnya cita-cita berkeluarga dalam Islam adalah kebahagiaan dan puncak tertinggi dalam berkeluarga adalah mencapai ketenangan. Tidak terombang-ambing oleh standar sosial, salah satu kebutuhan penting dalam berkeluarga adalah dengan berkomunikasi secara efektif. Penyamaan Visi dan Misi berkeluarga juga sangat penting untuk ketentraman rumah tangga, memang dalam keluarga memiliki pemikiraan yang berbeda-beda antara suami dan istri, dari perbedaan itulah dibutuhkan komunikasi yang baik untuk menemukan keputusan keputusan yang tepat, bahkan di dalam al-qur’an sudah dijelaskan

وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ ۚ فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّيَجْعَلَ اللّٰهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا

“… Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa’: 19)

Islam memerintahkan kepada pasangan suami-istri untuk bergaul dengan ma’ruf atau patut, saling menghargai yang satu dengan lainnya, berkata-kata baik, bersabar ketika menghadapi sikap pasangan yang kurang disukai, dan benar-benar paham hak dan kewajiban masing-masing. Pada dasarnya laki-laki dan perempuan memiliki karakteristik yang berbeda baik secara biologis maupun psikologis, disamping itu akal dan fikiran mereka pun tidak sama, karena itu sering menjadikan perbedaan pemikiran antara suami dan istri, yang mana perbedaan pemikiran itu bisa menyebabkan ketidak harmonisan dalam keluarga jika tidak bisa diselesaikan dengan fikiran yang tenang. Sebagian masyarakat berpandangan, perbedaan antara perempuan dan laki-laki tidak hanya terbatas pada perbedaan yang bersifat kodrati, perbedaan ini bisa berupa penyifatan. Seperti perempuan dianggap emosional, laki-laki rasional, laki-laki memiliki akal yang sempurna, perempuan akalnya sempit. Laki-laki memimpin dan perempuan di pimpin, dan seterusnya.

Perlu kita ketahui bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak seharusnya dimaknai sebagai bias gender dalam keluarga. Sebaiknya, islam menempatkan perempuan dalam keluarga sebagaimana yang telah di ajarkan dalam islam sendiri, yakni tanpa adanya unsur diskriminasi dalam keluarga. Sejatinya bahwa makhluk yang ada di bumi ini diciptakan berpasang-pasangan, begitupun manusia, dan adapun untuk menyatukan pasangan-pasangan itulah melalui jalur yang telah di ajarkan oleh islam, yaitu melewati sebuah prosesi perkawinan sehingga perempuan pun selayaknya mendapatkan kedudukan yang pantas dalam keluarga.

Dari segi akal, setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan diberi kesempatan yang sama. Akan tetapi, keduanya diciptakan dengan fitrah yang berbeda. Untuk itu antara suami dan istri harus bisa menjadikan perbedaan sebagai jalan untuk menuju kebahagian dan ketentraman dalam berkeluarga, yaitu dengan cara menghargai pendapat masing masing, berkomunikasi dengan baik dan yang lebih penting yaitu bermusyawarah jika suami dan istri mendapati pemikiran yang berbeda dan persoalan-persoalan dalam berkeluarga. Hal ini sebagai tugas utama bagi suami sebagai seorang kepala rumahtangga untuk membimbing keluarga agar menjadi sakinah mawaddah wa rohmah.

 Komunikasi sangat penting dalam hubungan pernikahan karena dalam berkomunikasi pasangan suami istri diberi kesempatan untuk saling bertukar pikiran, saling mengerti perasaan, mendiskusikan berbagai macam permasalahan bersama-sama, dan saling mendengarkan pendapat satu sama lain menurut sudut pandang masing-masing. Komunikasi  yang dilakukan oleh pasangan suami istri di dalam hubungan pernikahan tidak hanya menghasilkan suatu informasi, melainkan juga untuk memenuhi kebutuhan psikis masing-masing pasangan. Ketika berkomunikasi mereka dapat mengungkapkan diri apa adanya, mengekspresikan, mengeluarkan apa yang dirasakan dan dipikirkan, memahami cara pandang pasangan, dapat merasakan kesedihan dan kegembiraan pasangan karena saling bertukar informasi. Dengan itu, komunikasi akan mendorong adanya sikap saling pengertian, menumbuhkan persahabatan, memelihara kasih sayang, dan menyebarkan pengetahuan atau informasi. Sehingga ketika terjadinya konflik maka hal ini dapat diatasi dengan baik oleh pasangan suami istri.

Untuk itu seorang suami harus bisa menjadi pembimbing dan pelindung bagi istrinya, jika istri salah, suami bisa mengingatkanya, jika ada perbedaan pendapat, suami istri bisa memusyawarahkanya, dan sebaliknya seorang istri harus bisa menghargai dan menghormati suaminya, Suami berperan dan berkedudukan sebagai pemimipin bagi istrinya. Kepemimimpinan tersebut adalah kepemimipinan yang mencakup makna pelindung, penanggung jawab, pengatur, pemenuhan kebutuhan, perhatian, pemeliharaan, pembelaan dan pembinaan. Sedangkan peranan istri adalah wajib menjaga amanah yang telah dititipkan suami kepadanya. Allah SWT telah berfirman dalam surah an nisa’ ayat 34.

 ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ  قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّه

            Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka suami. atas sebahagian Relasi Suami dan Istri dalam Keluarga Muslim, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saholihah, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara. Jika kedua belak pihak bisa saling menerima, saling berkomitmen dan berkomunikasi dengan baik, maka akan tumbuh keluarga yang bahagia.

 

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Arsip

Merajut Kolaborasi Lintas Iman: Mencegah Intoleransi, Radikalisme dan Ekstremisme Di Baciro

Published

on

Sebagai upaya melakukan pencegahan terhadap fenomena intoleransi, radikalisme dan ekstremisme (IRE), Mitra Wacana melaksanakan program kolaboratif dengan masyarakat lintas iman sepanjang bulan Maret hingga Mei 2025. Program ini dilaksanakan di Kalurahan Baciro, Kapanewon Gondokusuman Kota Yogyakarta. Dijalankannya program ini tidak terlepas dari eskalasi kasus intoleransi yang sempat terjadi di Yogyakarta dalam beberapa tahun terakhir. Kasus-kasus tersebut menjadi goresan-goresan luka bagi realitas masyarakat Yogyakarta yang kaya akan keberagaman dan menjunjung kehidupan yang toleran.

Kalurahan Baciro dipilih karena beberapa alasan. Pertama, Kalurahan Baciro merepresentasikan kemajemukan masyarakatnya yang meliputi warga urban, mahasiswa dan masyarakat lintas iman. Kedua,  di Baciro pernah terjadi tindakan intoleran berupa penolakan rumah ibadah dan persekusi terhadap kelompok Ahmadiyah. Ketiga, tokoh lokal dan struktur formal di Kalurahan Baciro memberikan dukungan untuk dilaksanakannya program ini. Selain itu, Baciro juga telah ditetapkan sebagai Kalurahan Kerukunan sehingga memiliki potensi besar untuk dijadikan model replikasi upaya pencegahan IRE.

Melalui program ini, Mitra Wacana hadir dengan pendekatan partisipatif, melibatkan perempuan, orang muda, tokoh agama, aparat, kelompok minoritas, organisasi lintas iman dan media sebagai agen yang merawat keberagaman. Pelaksana program menggunakan pendekatan edukasi berbasis komunitas berperspektif gender, menghadirkan ruang aman bagi dialog lintas iman serta melakukan kampanye narasi damai baik secara daring maupun luring.

            Program ini diawali dengan dialog bersama para jurnalis untuk mengkampanyekan narasi damai di media. Selain mengajak jurnalis dan admin media berbagai komunitas dan lembaga, media Mitra Wacana sendiri juga melakukan produksi konten narasi damai dan mempublikasikannya dengan mengajak jejaring sebagai kolaborator postingan media sosial. Di samping itu, Mitra Wacana juga memberikan workshop mengenai kampanye digital kepada admin media sosial komunitas-komunitas yang ada di Yogyakarta.

Implementasi program ini juga meliputi lokalatih tentang pengenalan IRE dan strategi pencegahannya yang dilaksanakan sebanyak dua kali, peluncuran Buku Panduan Praktis Deteksi Dini IRE, talkshow di radio untuk memperluas jangkauan isu, evaluasi partisipatif hingga audiensi ke Walikota Yogyakarta dan Kesbangpol DIY. Namun, pencegahan IRE tidak sepenuhnya berjalan mulus. Beberapa hal masih menjadi tantangan dalam pelaksanaan program misalnya masih adanya stigma terhadap minoritas (Ahmadiyah, penghayat). Kemudian, pencegahan IRE juga tidak dianggap populer di media, tidak semua masyarakat dan organisasi terjangkau langsung serta durasi program yang sangat singkat.

Mitra Wacana perlu menerapkan strategi khusus agar program pencegahan IRE ini berjalan lancar dan menghasilkan output serta outcome yang tepat sasaran. Adapun beberapa strategi yang dilakukan Mitra Wacana antara lain: membangun kepercayaan melalui komunikasi personal dengan kelompok minoritas, melakukan kolaborasi strategis dengan Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta, distribusi buku deteksi dini IRE ke 21 Rukun Warga serta advokasi ke Wali Kota dan Kesbangpol untuk keberlanjutan kebijakan dan replikasi program.

Program yang dijalankan Mitra Wacana ini berhasil menjangkau 53 peserta dari beragam gender, agama dan usia. Kemudian, menghasilkan lebih dari 25 konten digital edukatif dengan lebih dari 82 ribu penonton, menjangkau 41 kolaborator, menghasilkan 10 artikel dan 38 publikasi kegiatan, tersusunnya Buku Panduan Praktis Deteksi Dini IRE serta menjangkau 21 content creator.

Hasil survei terhadap peserta menunjukkan bahwa peserta meningkat dari sisi pengetahuan, sikap dan perilaku. Tools deteksi dini IRE juga dirasakan sangat membantu sebagai alat mengidentifikasi gejala intoleransi, radikalisme dan ekstremisme dalam masyarakat. Nugraha Dhayu Mukti dari Gema Pakti mengaku setelah mengikuti program ini dia merasa lebih paham tentang bentuk dan perilaku IRE. Selain itu dia merasa lebih percaya diri karena penghayat kepercayaan sudah mulai diterima berkegiatan secara umum atau lintas iman karena Mitra Wacana selalu melibatkan kelompok penghayat di setiap kegiatan.

Adapun Abdul Halim dari FKUB Kota Yogyakarta menyampaikan program-program yang dilaksanakan Mitra Wacana menjadi ruang dialog lintas iman yang sesungguhnya. “Kegiatan lintas iman seperti ini memberi ruang untuk membangun silaturahmi lintas iman. Tidak sekadar teori, tapi benar-benar menghidupkan dialog” ungkapnya. Program ini membuktikan bahwa perdamaian bisa dibangun mulai dari ruang-ruang kecil yang partisipatif dan keterlibatan lintas kelompok menjadi kunci keberhasilan. (wiji nur asih)

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending