web analytics
Connect with us

Opini

Polemik Larangan Jilbab untuk Paskibraka 2024: Awal dari Perubahan Menuju Negara Sekuler di Indonesia?

Published

on

Sumber foto: Lampos

Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

Kontroversi mengenai pelarangan penggunaan jilbab bagi anggota Paskibraka 2024 di Indonesia telah menjadi pusat perhatian publik dan memicu perdebatan yang luas. Keputusan pemerintah ini, yang bertujuan untuk mencapai keseragaman dalam acara-upacara resmi, menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat, menyoroti ketegangan antara kebutuhan untuk tampil seragam dan penghormatan terhadap hak individu.

Pemerintah mungkin melihat pelarangan jilbab sebagai langkah untuk memastikan penampilan seragam di acara-acara resmi, yang dianggap penting untuk menampilkan citra kesatuan dan profesionalisme. Dengan melibatkan ribuan anggota Paskibraka dalam upacara peringatan kemerdekaan dan acara kenegaraan lainnya, kebijakan ini dimaksudkan untuk menciptakan kesan visual yang konsisten dan koheren. Hal ini bisa dianggap sebagai upaya untuk menegakkan norma-norma tertentu dalam konteks acara publik yang berhubungan dengan identitas nasional.

Namun, kebijakan ini tidak lepas dari kontroversi. Bagi banyak orang, pelarangan jilbab di Paskibraka menimbulkan kekhawatiran akan diskriminasi dan penyingkiran hak individu, khususnya hak kebebasan beragama. Jilbab adalah simbol penting dari identitas religius bagi banyak perempuan Muslim, dan pelarangan ini bisa dilihat sebagai pengabaian terhadap hak mereka untuk mengekspresikan keyakinan agama mereka. Dalam konteks Indonesia yang sangat pluralistik, di mana agama memainkan peran besar dalam kehidupan sehari-hari, keputusan semacam ini bisa dianggap tidak sensitif dan berpotensi merusak rasa kebersamaan dalam keberagaman.

Perdebatan ini juga menggarisbawahi ketegangan yang lebih besar antara prinsip sekularisme dan pluralisme di Indonesia. Sekularisme, yang berfokus pada pemisahan agama dari urusan negara dan ruang publik, mungkin telah diterapkan di beberapa negara seperti Turki, di mana Mustafa Kemal Atatürk memperkenalkan kebijakan serupa untuk memodernisasi negara. Namun, dalam konteks Indonesia, dengan populasi Muslim terbesar di dunia dan keragaman budaya yang melimpah, pendekatan ini bisa terasa kurang sesuai. Indonesia memiliki tradisi panjang dalam menghargai keberagaman budaya dan agama, dan kebijakan semacam ini bisa dianggap sebagai langkah yang tidak selaras dengan nilai-nilai tersebut.

Kontroversi ini juga mencerminkan dilema yang lebih besar mengenai bagaimana menyeimbangkan prinsip-prinsip negara dengan hak individu. Di satu sisi, ada kebutuhan untuk menjaga identitas nasional dan keseragaman dalam acara-acara publik. Di sisi lain, penting untuk menghormati hak individu untuk mengekspresikan identitas mereka sesuai dengan keyakinan agama mereka. Ini adalah perdebatan yang kompleks yang mengajak kita untuk merenungkan bagaimana membangun masyarakat yang adil dan harmonis di tengah keragaman.

Dalam menghadapi dilema ini, penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk terlibat dalam dialog yang inklusif dan sensitif. Pendekatan yang bisa mengakomodasi keberagaman tanpa mengorbankan prinsip-prinsip keseragaman mungkin dapat menjadi solusi yang lebih adil. Misalnya, mungkin ada cara untuk memodifikasi kebijakan agar tetap menghormati hak individu sambil mencapai tujuan keseragaman yang diinginkan. Ini bisa melibatkan peninjauan kembali kebijakan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk kelompok agama dan masyarakat umum, untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik.

Dengan cara ini, Indonesia tidak hanya dapat menjaga integritas acara resmi tetapi juga memperkuat jalinan sosial yang menghargai identitas dan hak setiap individu. Masyarakat dapat bersatu dalam keragaman dengan menemukan jalan tengah yang memungkinkan setiap individu mengekspresikan diri mereka sambil tetap berkontribusi pada upacara-upacara publik yang mencerminkan kesatuan nasional. Dalam proses ini, penting untuk melibatkan semua pihak dalam diskusi yang konstruktif, agar kebijakan yang diambil benar-benar mencerminkan semangat pluralisme dan keadilan yang menjadi ciri khas Indonesia.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Click with Caution: Keeping Indonesian Kids Safe Online

Published

on

Sumber: Freepik
 

Author: Sarah Crockett (Intern from Australia)

The world has become increasingly interconnected, with the use of smartphones and the internet skyrocketing globally. Children and young adults in particular are heavy users of social media and are at the forefront of digital usage. This rise in digital engagement has brought with it a host of opportunities, but also significant risks for young users. As children navigate the online world, they are increasingly exposed to dangers such as cyberbullying, online sexual exploitation, and harmful content. Addressing online safety is thus an urgent priority for all countries. However, Indonesian children in particular have a high rate of access to the internet and all of the potential accompanying issues. 
 
According to the 2023 report by Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), over 80% of children aged 10-17 in Indonesia have access to the internet, with the majority engaging through mobile devices. Popular platforms include TikTok, YouTube, WhatsApp, and Instagram, often used without adequate supervision. While internet use can support learning and creativity, it also poses challenges when digital literacy and parental guidance are lacking. Many parents are less, or totally unfamiliar with some or all of these platforms, making it difficult to warn against same of the dangers of online engagement.
 
Children in Indonesia face a range of online risks. Cyberbullying has become prevalent on social media and there is also a risk of online grooming and sexual exploitation. These issues are exacerbated by the anonymity and accessibility of online communication, the ability of individuals to hide their identity emboldens them in their actions. ECPAT Indonesia noted a significant rise in online child sexual exploitation cases during the COVID-19 pandemic. Exposure to harmful content, including pornography, hate speech, and graphic violence, is also widespread and frequently insufficiently regulated. Girls in particular are more at risk of facing online harassment and discrimination.
 
Indonesia has enacted several laws to address online risks, including Law No. 11/2008 on Electronic Information and Transactions and Law No. 35/2014 on Child Protection. While these frameworks provide a foundation for action, enforcement remains inconsistent, and child-specific digital protections are still evolving. The Ministry of Communication and Information (Kominfo) has launched digital literacy campaigns, but their reach and impact vary. Regional disparities and limited teacher training further constrain effective implementation.
 
To address this growing concern, the Indonesian government is preparing stronger safeguards for children on digital platforms. Inspired by recent steps taken by countries like Australia, Indonesia is considering a law that would restrict access to social media for users under the age of 16. The move follows increasing reports of online abuse and growing concerns among parents, educators, and child protection advocates. There has been a mixed response to this proposed safeguard, with some feeling it is overly restrictive and authoritarian while others feel it is a necessary measure to protect the mental health and safety of Indonesia’s children.
 
Kominfo is also working on interim child protection guidelines. These guidelines aim to regulate digital content, enforce stricter age verification mechanisms, and compel social media companies to take greater responsibility for harmful content on their platforms. While some critics worry about overregulation and the potential to limit young people’s access to information, many experts argue that the safety of children must come first. “Digital literacy alone is not enough,” says a child rights activist based in Jakarta. “We need infrastructure, policy, and corporate accountability to protect our children in cyberspace.”
 
There are various strategies that can be utilised to improve the safety of children online. In the home parents can be empowered with tools and knowledge about how to protect their children’s safety online through workshops. Schools can implement digital literacy programs into the curriculum to help children to understand the potential risks. Reporting systems for instances of online abuse can be created and made readily accessible and child-protection laws can also be enhance and updated to reflect the current online landscape.
 
Online safety for children in Indonesia is a pressing concern requiring coordinated action across sectors. With its growing digital youth population, Indonesia is well-positioned to lead regional efforts in child online protection. Prioritizing inclusive, culturally sensitive, and rights-based strategies will help ensure that all children can explore the digital world safely and confidently.
 
References
• APJII. (2023). Penetrasi & Perilaku Pengguna Internet Indonesia.
• ECPAT Indonesia. (2020). Online Child Sexual Exploitation in Indonesia.
• Kominfo. (2023). Digital Literacy Campaigns.
• Raharjo, B. (2022). Digital Parenting in Indonesia: Challenges and Cultural Contexts.
• UNICEF Indonesia. (2021). Digital Literacy for Children and Adolescents in Indonesia.
• UNICEF Office of Research – Innocenti. (2020). Growing Up in a Connected World.
• UNESCO Jakarta. (2019). Safe Internet Use for Indonesian Youth.

Continue Reading

Trending