web analytics
Connect with us

Opini

Remaja, Pernikahan dan Pendidikan

Published

on

Sumber: Freepik

Oleh Wahyu Tanoto

Ulasan ini ditujukan kepada para remaja yang sedang mempertimbangkan untuk menikah di usia muda. Tulisan ini mencoba menyajikan sebuah narasi tentang pentingnya pendidikan sebelum memutuskan untuk memasuki ikatan pernikahan. Dalam ulasan ini, saya ingin menekankan bahwa pendidikan merupakan bekal mengarungi kehidupan.

Saya memahami bahwa tidak sedikit remaja yang menginginkan pernikahan, dan saya tidak bermaksud menyalahkan keinginan tersebut. Karena, setiap individu memiliki hak untuk memiliki impian dan tujuan hidup. Namun, sebelum memutuskan untuk mengikatkan diri dalam hubungan pernikahan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait pentingnya pendidikan.

Sebagian kecil dari remaja ada yang bertanya, “Saya sudah tidak sabar ingin menikah, mengapa perlu memprioritaskan pendidikan?” Namun, kita semestinya menyadari bahwa pendidikan sebagai salah satu kunci untuk membuka peluang di masa depan. Apa yang akan terjadi jika remaja menikah tanpa memiliki bekal pengetahuan yang cukup?

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 menunjukkan bahwa 33,76% pemuda di Indonesia mencatatkan usia kawin pertamanya di rentang 19-21 tahun pada 2022. Kemudian, sebanyak 27,07% pemuda di dalam negeri memiliki usia menikah pertama pada 22-24 tahun. Adapun 19,24% pemuda yang pertama kali menikah saat berusia 16-18 tahun.

Rinciannya, sebanyak 35,21% pemuda laki-laki memiliki usia menikah pertama saat 22-24 tahun. Sebanyak 30,52% pemuda laki-laki mencatatkan usia menikah pertama saat berusia 25-30 tahun. Sedangkan, 37,27% pemuda perempuan memiliki usia menikah pertamanya pada 19-21 tahun. Lalu, 26,48% pemuda perempuan menikah pertama kali ketika berusia 16-18 tahun.

Menunda pernikahan

Keuntungan dari menunda pernikahan adalah remaja memiliki banyak kesempatan untuk mencapai tujuan (cita-cita). Pendidikan tidak hanya membuat remaja memiliki beragam informasi dan pengetahuan, tetapi juga menyediakan kesempatan untuk bertemu teman baru dan mengembangkan bakat serta minat. Jika remaja menikah pada usia muda, tampaknya akan tidak mudah bagi mereka untuk mendapatkan kesempatan semacam itu.

Tidak hanya itu, pernikahan pada usia muda juga membawa konsekuensi tidak ringan. Tanggung jawab tidak hanya terbatas pada hak-hak pasangan, tetapi juga mengurus rumah tangga, merawat keluarga, dan segala macam hal lainnya. Artinya, tanpa bekal pendidikan yang cukup, sungguh rentan mengalami kekerasan, alih-alih mampu menjaga hubungan tersebut.

Saya ingin menegaskan kepada para pria yang berpikir bahwa menikah muda dapat melindungi iman dan demi terhindar dari “syahwat” seksual. Bahwa alasan tersebut sama sekali tidaklah cukup kuat sebagai dasar untuk menikah di usia muda. Jika remaja tidak mampu menahan godaan tersebut, menikah pada usia muda justru sangat berisiko membuat kehidupan rumah tangga jauh dari harmonis.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) bahkan menyarankan, usia ideal menikah bagi laki-laki adalah minimal 25 tahun. Sementara, usia ideal perempuan untuk menikah adalah minimal 21 tahun. Rekomendasi bukan tanpa alasan. Pasalnya, di Indonesia pada 2018, sebanyak 1 dari 9 anak atau 11,21 % perempuan usia 20-24 tahun berstatus Kawin Sebelum Umur 18 Tahun (BPS). Oleh karena itu tidak mengherankan jika dalam RPJMN 2020 pemerintah menargetkan penurunan angka perkawinan anak dari 11,2 % menjadi 8,74 %.

Risiko menanti di depan mata

Semua memahami bahwa pernikahan mengharuskan mengelola keluarga bersama istri, suami, anak, dan berbagi tanggung jawab, sedangkan remaja sendiri dinilai belum siap secara fisik maupun mental. Hal ini seringkali menyebabkan tekanan, dan mengakibatkan stres. Alih-alih melindungi iman dan nafsu, pernikahan pada usia muda justru membuat remaja lebih rentan terhadap godaan yang tidak diinginkan.

Selain itu, risiko perceraian juga lebih tinggi bagi mereka yang menikah pada usia muda. Karena belum memiliki kematangan secara emosional, terutama ketika mengelola perbedaan pandangan yang berujung pada konflik rumah tangga. Biasanya, jalan pintas yang sering diambil adalah perceraian. Namun, perlu diingat bahwa perceraian juga dapat membuat pasangan sulit untuk pulih-bangkit dengan cepat demi melanjutkan kehidupan.

Sebab, pernikahan pada usia dini memicu sejumlah risiko, termasuk; (1) Usia psikologis yang masih labil akan memengaruhi pola komunikasi-pengasuhan di rumah tangga (anak), (2) Kematangan usia dan mental dapat berdampak pada pemenuhan gizi serta kesehatan anak, (3) Pernikahan dini dapat menempatkan remaja putri dalam risiko kesehatan atas kehamilan dini, (4) Adanya ririko kanker leher rahim pada remaja di bawah 20 tahun yang melakukan hubungan seksual.

Oleh karena itu, saya ingin menekankan kepada semua remaja di luar sana, hendaknya tidak terburu-buru menikah muda, namun mencoba fokus pada pendidikan terlebih dahulu. Jangan sia-siakan kesempatan berharga untuk memperoleh pengetahuan dan menimba pengalaman, karena bisa menjadi bekal bermanfaat di masa mendatang.

Kompetisi di era digital

Selain itu, remaja juga perlu menyadari bahwa dunia saat ini semakin kompetitif. Tidak ada yang ingin tertinggal atau “kalah” dalam persaingan hanya karena kurangnya bekal pengetahuan. Jangan lupa bahwa pendidikan tidak hanya berkaitan dengan akademik semata. Selama berada di lingkungan pendidikan, remaja bisa mempelajari berbagai dinamika kehidupan, seperti kepemimpinan, kerja sama tim, dan kemandirian.

Jangan hanya terpaku pada keinginan untuk menikah muda, karena hal itu akan rentan menjebak remaja dalam lingkaran “konflik” yang tidak diinginkan. Ingatlah bahwa masa depan remaja bergantung pada keputusan yang diambil hari ini. Oleh karena itu, jangan sampai ada penyesalan di masa depan.

Saya tidak menyatakan bahwa menikah muda sebagai perbuatan salah, tetapi sebaiknya terlebih dahulu memaham dengan segala konsekuensi yang akan dihadapi. Jika masih ragu, tidak perlu memaksakan diri untuk melakukan sesuatu yang belum matang. Hemat saya, cobalah untuk memilih fokus pada pendidikan dan pengembangan diri terlebih dahulu. Jika memang jodoh sudah ada di depan mata, pasti ada jalannya.

Sebagai catatan penutup, saya ingin menggaris bawahi bahwa proses dan perjalanan kehidupan penuh dengan pilihan. Namun, penulis juga ingin mengajak remaja untuk mempertimbangkan dengan bijak pilihan tersebut dan tidak terburu-buru untuk segera menikah. Dengan menunda pernikahan dan fokus pada pendidikan, remaja sejatinya telah terlibat untuk mengurangi angka pernikahan dini.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Peran Sastra Populer dalam Meningkatkan Literasi di Kalangan Remaja

Published

on

Penulis : Fatin Fashahah, Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas

Sastra populer sering dipandang rendah, dianggap hanya untuk hiburan, dangkal, atau terlalu komersial. Sikap seperti ini muncul dari pendapat bahwa karya populer tak setara dengan karya-karya yang biasanya dipelajari di bangku perkuliahan. Padahal, bagi banyak remaja, sastra populer justru menjadi pintu pertama untuk mulai suka membaca. Mengabaikan atau mengecilkan peran sastra populer berarti menutup kesempatan bagi generasi muda untuk jatuh cinta pada dunia tulisan.

UNESCO menyebut Indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya diangka 0,001% atau dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo) dalam laman resminya juga pernah merilis hasil Riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Fakta ini menunjukkan bahwa masih rendahnya minat membaca rekreasi di banyak kelompok usia.

Namun, ketika pembaca terutama remaja diberi kebebasan memilih bacaan yang sesuai selera dan pengalaman mereka, minat membaca bisa saja meningkat. Dengan kata lain, relevansi isi buku terhadap kehidupan pembaca muda sangat menentukan apakah mereka akan terus membaca atau tidak. Sastra populer seperti buku young adult, novel roman remaja, dan cerita fantasi ringan sering kali menawarkan tema dan tokoh yang mudah dipahami remaja karena ceritanya seringkali dihubungkan dengan kehidupan remaja, sehingga mereka lebih tertarik untuk membaca.

Selain itu, sastra populer lebih mudah diakses lewat platform digital, cerita-cerita di aplikasi dan situs bacaan daring seperti Ipusnas, google play book, wattpad, karyakarsa dll. membuat remaja menemukan teks yang mereka suka kapan saja dengan mudah. Bentuk online juga mendorong interaksi pembaca bisa memberi komentar, berdiskusi, atau bahkan menulis kembali cerita mereka sendiri. Pengalaman berinteraksi seperti ini memberi dorongan kuat untuk terus membaca dan menulis. Beberapa karya yang awalnya populer di dunia maya kemudian diterbitkan secara cetak atau diadaptasi menjadi film dan serial menunjukkan bahwa bacaan populer punya peran penting dalam membangun ekosistem budaya yang lebih luas.

Penolakan terhadap sastra populer sering kali datang dari dua alasan utama. Pertama, alasan estetika, anggapan bahwa karya populer kurang bermutu secara sastra. Kedua, alasan moral atau konten bahwa beberapa cerita mengandung nilai yang dipertanyakan. Kritik seperti ini tidak salah jika tujuannya untuk memperbaiki kualitas karya. Namun, cara menanggapinya yang kurang tepat bisa membuat minat membaca remaja menjadi surut, seharusnya kita bukan melarang atau merendahkan bacaan tersebut. Akan lebih baik jika pembaca pemula diajarkan bagaimana cara membaca yang kritis. Dengan membimbing remaja membaca secara kritis, kita membantu mereka mengenali kekuatan dan kelemahan sebuah teks, sehingga pengalaman membaca menjadi lebih bermakna.

Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan minat membaca remaja diantaranya. Pertama, perpustakaan sekolah dan umum perlu menata koleksi yang seimbang baik karya klasik dan akademik berdampingan dengan bacaan populer. Pendekatan ini mengakui bahwa pembaca punya selera berbeda, dan memberi ruang bagi remaja yang sedang mencari gaya baca dan minat mereka. Kedua, guru dan pustakawan harus dilatih untuk memfasilitasi diskusi yang mengaitkan tema populer dengan konsep sastra dasar. Misalnya, dari sebuah novel populer, kita bisa mengajak pembaca membahas tokoh, alur, sudut pandang, atau pesan yang tersirat yanga terdapat di dalam novel tersebut. Langkah sederhana ini bisa mengubah bacaan ringan menjadi bahan belajar yang efektif.

Ketiga, adanya kegiatan klub baca dan lomba menulis berbasis minat yang bisa menghubungkan pembaca muda dengan mentor dan teman sebaya. Suasana komunitas yang saling mendukung membuat kegiatan membaca terasa lebih menyenangkan. Selain itu, adanya lomba menulis membuat remaja merasa diberi ruang kreatif untuk mengekspresikan dirinya. Keempat, harus ada kerja sama antara sekolah dengan platform digital. Hal ini penting untuk menyediakan akses yang aman dan terkurasi. Akses digital tanpa bimbingan bisa berisiko negatif dengan memperkenalkan konten yang kurang sesuai untuk pembaca dibawah umur. Oleh karena itu, peran pendidik dan orang tua tetap penting dalam menumbuhkan minat membaca terutama pembaca anak-anak dan remaja.

Secara budaya, sikap berhati-hati atau keraguan terhadap sastra populer sering kali membuat masyarakat melewatkan cerita-cerita yang sebenarnya dekat dengan kehidupan banyak orang, khususnya para remaja dari berbagai latar belakang. Karya populer dapat menjadi ruang untuk bereksperimen dengan bahasa, identitas, dan pengalaman sehari-hari. Ketika karya semacam ini dibahas di sekolah atau komunitas, karya tersebut berpotensi memperkaya imajinasi serta cara pandang masyarakat, terutama di kalangan generasi muda. Dengan demikian, sastra populer tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga menjadi bagian dari wacana budaya yang turut membentuk cara berpikir dan berinteraksi dalam kehidupan sosial.

Kesimpulannya, alih-alih memandang sastra populer secara sebelah mata, akan lebih bermanfaat jika masyarakat mencoba melihat potensinya dalam meningkatkan minat baca dan memperkuat budaya literasi. Pendekatan yang inklusif dapat dimanfaatkan untuk menjadikan daya tarik sastra populer sebagai pintu masuk bagi pembaca pemula. Tentu saja, hal ini tetap perlu disertai dengan bimbingan dan adanya pengenalan terhadap keterampilan membaca kritis serta jenis bacaan yang lebih beragam. Dengan begitu, kebiasaan membaca tidak hanya meningkat, tetapi juga dapat mendorong perkembangan kemampuan berpikir dan berbahasa generasi muda.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending