web analytics
Connect with us

Opini

Remaja, Pernikahan dan Pendidikan

Published

on

Sumber: Freepik
Waktu dibaca: 3 menit

Oleh Wahyu Tanoto

Ulasan ini ditujukan kepada para remaja yang sedang mempertimbangkan untuk menikah di usia muda. Tulisan ini mencoba menyajikan sebuah narasi tentang pentingnya pendidikan sebelum memutuskan untuk memasuki ikatan pernikahan. Dalam ulasan ini, saya ingin menekankan bahwa pendidikan merupakan bekal mengarungi kehidupan.

Saya memahami bahwa tidak sedikit remaja yang menginginkan pernikahan, dan saya tidak bermaksud menyalahkan keinginan tersebut. Karena, setiap individu memiliki hak untuk memiliki impian dan tujuan hidup. Namun, sebelum memutuskan untuk mengikatkan diri dalam hubungan pernikahan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait pentingnya pendidikan.

Sebagian kecil dari remaja ada yang bertanya, “Saya sudah tidak sabar ingin menikah, mengapa perlu memprioritaskan pendidikan?” Namun, kita semestinya menyadari bahwa pendidikan sebagai salah satu kunci untuk membuka peluang di masa depan. Apa yang akan terjadi jika remaja menikah tanpa memiliki bekal pengetahuan yang cukup?

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 menunjukkan bahwa 33,76% pemuda di Indonesia mencatatkan usia kawin pertamanya di rentang 19-21 tahun pada 2022. Kemudian, sebanyak 27,07% pemuda di dalam negeri memiliki usia menikah pertama pada 22-24 tahun. Adapun 19,24% pemuda yang pertama kali menikah saat berusia 16-18 tahun.

Rinciannya, sebanyak 35,21% pemuda laki-laki memiliki usia menikah pertama saat 22-24 tahun. Sebanyak 30,52% pemuda laki-laki mencatatkan usia menikah pertama saat berusia 25-30 tahun. Sedangkan, 37,27% pemuda perempuan memiliki usia menikah pertamanya pada 19-21 tahun. Lalu, 26,48% pemuda perempuan menikah pertama kali ketika berusia 16-18 tahun.

Menunda pernikahan

Keuntungan dari menunda pernikahan adalah remaja memiliki banyak kesempatan untuk mencapai tujuan (cita-cita). Pendidikan tidak hanya membuat remaja memiliki beragam informasi dan pengetahuan, tetapi juga menyediakan kesempatan untuk bertemu teman baru dan mengembangkan bakat serta minat. Jika remaja menikah pada usia muda, tampaknya akan tidak mudah bagi mereka untuk mendapatkan kesempatan semacam itu.

Tidak hanya itu, pernikahan pada usia muda juga membawa konsekuensi tidak ringan. Tanggung jawab tidak hanya terbatas pada hak-hak pasangan, tetapi juga mengurus rumah tangga, merawat keluarga, dan segala macam hal lainnya. Artinya, tanpa bekal pendidikan yang cukup, sungguh rentan mengalami kekerasan, alih-alih mampu menjaga hubungan tersebut.

Saya ingin menegaskan kepada para pria yang berpikir bahwa menikah muda dapat melindungi iman dan demi terhindar dari “syahwat” seksual. Bahwa alasan tersebut sama sekali tidaklah cukup kuat sebagai dasar untuk menikah di usia muda. Jika remaja tidak mampu menahan godaan tersebut, menikah pada usia muda justru sangat berisiko membuat kehidupan rumah tangga jauh dari harmonis.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) bahkan menyarankan, usia ideal menikah bagi laki-laki adalah minimal 25 tahun. Sementara, usia ideal perempuan untuk menikah adalah minimal 21 tahun. Rekomendasi bukan tanpa alasan. Pasalnya, di Indonesia pada 2018, sebanyak 1 dari 9 anak atau 11,21 % perempuan usia 20-24 tahun berstatus Kawin Sebelum Umur 18 Tahun (BPS). Oleh karena itu tidak mengherankan jika dalam RPJMN 2020 pemerintah menargetkan penurunan angka perkawinan anak dari 11,2 % menjadi 8,74 %.

Risiko menanti di depan mata

Semua memahami bahwa pernikahan mengharuskan mengelola keluarga bersama istri, suami, anak, dan berbagi tanggung jawab, sedangkan remaja sendiri dinilai belum siap secara fisik maupun mental. Hal ini seringkali menyebabkan tekanan, dan mengakibatkan stres. Alih-alih melindungi iman dan nafsu, pernikahan pada usia muda justru membuat remaja lebih rentan terhadap godaan yang tidak diinginkan.

Selain itu, risiko perceraian juga lebih tinggi bagi mereka yang menikah pada usia muda. Karena belum memiliki kematangan secara emosional, terutama ketika mengelola perbedaan pandangan yang berujung pada konflik rumah tangga. Biasanya, jalan pintas yang sering diambil adalah perceraian. Namun, perlu diingat bahwa perceraian juga dapat membuat pasangan sulit untuk pulih-bangkit dengan cepat demi melanjutkan kehidupan.

Sebab, pernikahan pada usia dini memicu sejumlah risiko, termasuk; (1) Usia psikologis yang masih labil akan memengaruhi pola komunikasi-pengasuhan di rumah tangga (anak), (2) Kematangan usia dan mental dapat berdampak pada pemenuhan gizi serta kesehatan anak, (3) Pernikahan dini dapat menempatkan remaja putri dalam risiko kesehatan atas kehamilan dini, (4) Adanya ririko kanker leher rahim pada remaja di bawah 20 tahun yang melakukan hubungan seksual.

Oleh karena itu, saya ingin menekankan kepada semua remaja di luar sana, hendaknya tidak terburu-buru menikah muda, namun mencoba fokus pada pendidikan terlebih dahulu. Jangan sia-siakan kesempatan berharga untuk memperoleh pengetahuan dan menimba pengalaman, karena bisa menjadi bekal bermanfaat di masa mendatang.

Kompetisi di era digital

Selain itu, remaja juga perlu menyadari bahwa dunia saat ini semakin kompetitif. Tidak ada yang ingin tertinggal atau “kalah” dalam persaingan hanya karena kurangnya bekal pengetahuan. Jangan lupa bahwa pendidikan tidak hanya berkaitan dengan akademik semata. Selama berada di lingkungan pendidikan, remaja bisa mempelajari berbagai dinamika kehidupan, seperti kepemimpinan, kerja sama tim, dan kemandirian.

Jangan hanya terpaku pada keinginan untuk menikah muda, karena hal itu akan rentan menjebak remaja dalam lingkaran “konflik” yang tidak diinginkan. Ingatlah bahwa masa depan remaja bergantung pada keputusan yang diambil hari ini. Oleh karena itu, jangan sampai ada penyesalan di masa depan.

Saya tidak menyatakan bahwa menikah muda sebagai perbuatan salah, tetapi sebaiknya terlebih dahulu memaham dengan segala konsekuensi yang akan dihadapi. Jika masih ragu, tidak perlu memaksakan diri untuk melakukan sesuatu yang belum matang. Hemat saya, cobalah untuk memilih fokus pada pendidikan dan pengembangan diri terlebih dahulu. Jika memang jodoh sudah ada di depan mata, pasti ada jalannya.

Sebagai catatan penutup, saya ingin menggaris bawahi bahwa proses dan perjalanan kehidupan penuh dengan pilihan. Namun, penulis juga ingin mengajak remaja untuk mempertimbangkan dengan bijak pilihan tersebut dan tidak terburu-buru untuk segera menikah. Dengan menunda pernikahan dan fokus pada pendidikan, remaja sejatinya telah terlibat untuk mengurangi angka pernikahan dini.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opini

Bentuk-Bentuk Kekerasan di Tempat Kerja

Published

on

Sumber: Freepik
Waktu dibaca: 2 menit

Oleh Wahyu Tanoto

Menurut studi yang dilakukan oleh Equal Employment Opportunity Commission (EEOC) pada 2016 di Amerika Serikat, sekitar 75% orang yang mengalami pelecehan di tempat kerja tidak melaporkan kejadian kepada manajer, supervisor, atau perwakilan serikat pekerja. Salah satu alasan utama adalah karena merasa takut akan keamanan kerja serta takut kehilangan sumber pendapatan mereka. Selain itu ada beberapa faktor lain, seperti:

  1. Faktor relasi kuasa. Salah satu pihak memiliki kekuatan, posisi atau jabatan yang lebih tinggi atau dominan dibandingkan korban. Misalnya, antara bos dengan karyawan.
  2. Kebijakan perlindungan pekerja masih tidak jelas. Absennya perlindungan terhadap korban dapat menyebabkan korban merasa takut untuk melapor karena khawatir pelaku akan balas dendam dan melakukan kekerasan yang lebih parah.
  3. Mekanisme penanganan kasus kekerasan seksual yang tidak tersedia. Misalnya, perusahaan belum memiliki Standard Operating Procedure (SOP) mengenai kekerasan seksual, sehingga tidak ada jalur pelaporan atau sanksi yang jelas.
  4. Budaya yang kerap menyalahkan korban, seperti: “Kamu sih ke kantor pakai baju seperti itu!” “Kamu ngapain memangnya sampai bos marah begitu?”

Namun, kemungkinan lain adalah karena banyak orang belum memahami atau tidak yakin perilaku apa saja yang melanggar batas dan dapat dikategorikan sebagai pelecehan atau kekerasan. Maka dari itu, yuk kita bahas apa saja bentuk-bentuk pelecehan dan kekerasan di tempat kerja!

Kekerasan verbal

Kekerasan verbal termasuk ucapan yang merendahkan, melakukan gerakan yang ofensif, memberikan kritik yang tidak masuk akal, memberikan cercaan atau komentar yang menyakitkan, serta melontarkan lelucon yang tidak sepantasnya. Beberapa contohnya adalah:

  • Mengirim email dengan lelucon atau gambar yang menyinggung identitas seseorang, seperti identitas gender, orientasi seksual, ras, atau agama.
  • Berulang kali meminta kencan atau ajakan seksual, baik secara langsung atau melalui pesan.
  • Membuat komentar yang menghina tentang disabilitas seseorang.
  • Mengolok-olok aksen berbicara (logat) seseorang.

Kekerasan psikologis

Perilaku berulang atau menjengkelkan yang melibatkan kata-kata, perilaku, atau tindakan yang menyakitkan, menjengkelkan, memalukan, atau menghina seseorang. Ini termasuk:

  • Mengambil pengakuan atas pekerjaan orang lain.
  • Menuntut hal-hal yang mustahil.
  • Memaksakan tenggat waktu (deadline) yang tidak masuk akal pada karyawan tertentu.
  • Secara terus-menerus menuntut karyawan untuk melakukan tugas-tugas merendahkan yang berada di luar lingkup pekerjaannya.

Kekerasan fisik

Pelecehan di tempat kerja yang melibatkan ancaman atau serangan fisik, termasuk sentuhan yang tidak diinginkan. Misalnya:

  • Menyentuh pakaian, tubuh, baju, atau rambut orang lain.
  • Melakukan penyerangan fisik. Misalnya: memukul, mencubit, atau menampar.
  • Melakukan ancaman kekerasan.
  • Merusak properti pribadi. Misalnya: mengempeskan ban kendaraan, melempar ponsel orang lain.

Kekerasan berbasis digital

Ini merupakan berbagai bentuk kekerasan atau pelecehan yang dilakukan di ranah daring (online), seperti:

  • Memposting ancaman atau komentar yang merendahkan di media sosial.
  • Membuat akun palsu dengan tujuan merundung seseorang secara online.
  • Membuat tuduhan palsu.
  • Menyebarkan foto atau rekaman orang lain yang bersifat privat atau bernuansa seksual.

Kekerasan seksual

  • Rayuan seksual yang tidak diinginkan.
  • Melakukan sentuhan yang tidak pantas atau tidak diinginkan.
  • Melontarkan lelucon bernuansa seksual.
  • Membagikan media pornografi.
  • Mengirim pesan yang bersifat seksual.
  • Pemerkosaan dan kegiatan seksual lain yang dilakukan dengan paksaan.
  • Meminta hubungan seksual sebagai imbalan atau promosi pekerjaan.

Jika kamu atau teman kerjamu mengalami salah satu atau beberapa bentuk kekerasan seperti yang disebutkan di atas dan membutuhkan bantuan lembaga layanan, kamu bisa cek website https://carilayanan.com/ atau belipotbunga.com ya. Jangan ragu untuk segera mengontak lembaga layanan, karena mereka ada untuk membantu kamu!

Sumber

 https://carilayanan.com/kekerasan-di-tempat-kerja/

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending

EnglishGermanIndonesian