Opini
Asa Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Tengah Gempuran Polarisasi
Published
9 months agoon
By
Mitra Wacana
Indonesia, dengan segala keragamannya, terus berupaya menjaga kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB). Meskipun konstitusi telah menjamin hak tersebut, kenyataan di lapangan sering kali menunjukkan sebaliknya. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang dikenal sebagai “Kota Pendidikan”, “Kota Toleransi”, dan “Kota Budaya”, seyogianya menjadi cerminan harmoni. Namun, dengan gelar tersebut, Yogyakarta juga menghadapi tantangan dalam merawat keberagaman. Pertanyaannya adalah, apakah kita benar-benar memelihara kebebasan itu, atau justru membiarkan batas-batas perbedaan makin menggejala?
Laporan dari SETARA Institute mengungkapkan adanya 217 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) sepanjang tahun 2023, yang mencatat total 329 tindakan pelanggaran. Ini menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun 2022, yang tercatat 175 kasus dengan 333 tindakan pelanggaran. Dari total 329 tindakan, sebanyak 114 dilakukan oleh aktor negara, sementara 215 berasal dari aktor non-negara. Pelanggaran yang dilakukan oleh aktor negara paling banyak berasal dari pemerintah daerah (40 tindakan), diikuti oleh kepolisian (24 tindakan), Satpol PP (10 tindakan), TNI (8 tindakan), Forkopimda (6 tindakan), dan institusi pendidikan (4 tindakan).
Di sisi lain, dari aktor non-negara, warga menjadi pelaku dengan 78 tindakan, diikuti oleh individu (19 tindakan), Majelis Ulama Indonesia (17 tindakan), organisasi kemasyarakatan keagamaan (8 tindakan), dan warga negara asing (5 tindakan). Lonjakan ini menunjukkan bahwa tekanan terhadap kebebasan beragama masih merupakan isu penting di Indonesia. Pelanggaran KBB dapat berbentuk penolakan pendirian tempat ibadah, diskriminasi terhadap kelompok keagamaan, hingga persekusi terhadap penganut kepercayaan tertentu.
Meskipun DIY sering dipandang sebagai daerah yang mengedepankan nilai-nilai toleransi, beberapa insiden intoleransi tetap terjadi. Data dari SETARA Institute menunjukkan bahwa DIY termasuk dalam sepuluh provinsi dengan jumlah kasus pelanggaran KBB yang cukup serius. Salah satu contoh yang mencuat adalah kasus pemotongan salib pada nisan Albertus Slamet Sugihardi di Kotagede pada tahun 2023. Salib tersebut dipotong agar menyerupai huruf “T”, dianggap sebagai syarat agar jenazah dapat dimakamkan di kompleks TPU setempat. Di tahun yang sama, Kabupaten Kulon Progo sempat ramai diperbincangkan akibat insiden penutupan patung Bunda Maria di Dusun Degolan, Bumirejo, Lendah, yang ditutupi terpal atas desakan sekelompok orang yang mengatasnamakan organisasi Islam. Meski patung tersebut berada di area rumah doa, penutupan tetap dilakukan.
Contoh lainnya antara lain penolakan terhadap panewu non-muslim oleh sebagian warga di Kapanewon Pajangan, Bantul, pada tahun 2017, dengan alasan mayoritas penduduk wilayah tersebut beragama Islam. Bahkan, pada Mei 2022, sekelompok orang membubarkan sebuah kebaktian yang berlangsung di rumah seorang warga di Sleman, dengan alasan acara tersebut tidak memiliki izin resmi dan berpotensi mengganggu ketertiban.
Sebuah penelitian oleh Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM pada tahun 2022 menunjukkan bahwa sebagian besar pelajar di Yogyakarta memiliki pemahaman agama yang cenderung eksklusif, yang dapat berpotensi meningkatkan intoleransi. Studi lain dari Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) pada 2010/2011 menyebutkan bahwa 48,9% siswa Sekolah Menengah Atas di Indonesia setuju dengan penerapan syariat agama (Islam) dalam hukum negara, yang dapat mengarah pada pengabaian hak-hak kelompok minoritas.
Dinamika Intoleransi dan Polarisasi di Era Digital
Dalam konteks ini, tidaklah berlebihan jika kita menyebutkan bahwa meningkatnya politisasi agama di Indonesia berhubungan erat dengan perilaku intoleransi di kalangan para pemuda. Banyak pelajar dan mahasiswa yang terpapar pengaruh doktrin “eksklusif” yang mendorong sikap tidak toleran terhadap kelompok lain yang memiliki kepercayaan yang berbeda. Dengan kata lain, perilaku ini rentan dalam “menyuburkan” benih intoleransi dan radikalisme. Dalam situasi ini, pendekatan beragama yang moderat dan tidak berlebihan dapat menjadi solusi untuk meredakan ketegangan dengan menekankan pentingnya sikap toleran dan penghargaan terhadap keberagaman.
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri telah melakukan berbagai langkah untuk menjaga harmoni dan kerukunan antarumat beragama. Salah satu peran pemerintah adalah sebagai fasilitator, memberdayakan dan mendukung Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sebagai wadah untuk dialog antara berbagai agama dalam rangka mencegah dan menyelesaikan potensi konflik. Selain itu, pemerintah juga melaksanakan program pemantapan cinta tanah air dan nasionalisme yang melibatkan pelajar, mahasiswa, organisasi masyarakat, serta tokoh agama. Program ini bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai toleransi dan kebersamaan di kalangan generasi muda. Meskipun demikian, penulis mengamati bahwa implementasi regulasi yang terkait dengan toleransi masih belum sepenuhnya menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan yang jujur dan penuh. Oleh karena itu, peran masyarakat sipil dan organisasi keagamaan sangat diperlukan guna memastikan bahwa kebijakan yang ada berfokus pada perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia.
Di tengah meningkatnya polarisasi dan intoleransi, pendidikan tetap menjadi instrumen kunci untuk menjaga kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pendidikan tentang toleransi beragama tidak hanya perlu diterapkan di lingkungan sekolah, tetapi juga dalam konteks sosial yang lebih luas, termasuk keluarga dan komunitas. Penelitian dari SETARA Institute menunjukkan bahwa siswa yang mendapatkan pendidikan tentang keberagaman cenderung lebih toleran terhadap perbedaan agama dan keyakinan.
Selain melalui pendidikan, media sosial juga memiliki peran penting dalam membentuk persepsi masyarakat mengenai isu-isu keberagaman. Kampanye digital yang menekankan toleransi dan keberagaman dapat menjadi strategi efektif untuk melawan narasi intoleran yang berkembang di dunia maya. Penulis menyadari bahwa memelihara kebebasan beragama dan berkeyakinan di tengah tantangan polarisasi bukanlah perkara mudah, tetapi juga bukan hal yang mustahil. Dibutuhkan komitmen dari berbagai elemen, termasuk pemerintah, masyarakat sipil, tokoh agama, dan dunia pendidikan, untuk terus mengedepankan dialog partisipatif, dan penghormatan terhadap perbedaan.
Di akhir tulisan ini, penulis teringat akan kekayaan budaya Jawa yang dapat memperkuat hubungan antar warga negara, terutama antarumat beragama. Konsep “memayu hayuning bawana,” yang berarti memperindah dunia dengan menjaga keseimbangan dan harmoni, layak kita jadikan sebagai acuan dalam merawat kebebasan beragama sebagaimana adanya, bukan sebagaimana semestinya. Selain itu, ada juga konsep “manunggaling kawula Gusti,” yang menekankan pada hubungan personal antara seseorang dan Tuhan tanpa perlu mendiskreditkan kepercayaan orang lain. Prinsip ini mengajarkan bahwa spiritualitas seharusnya bukanlah alat pemecah belah, melainkan sarana untuk saling memahami dan menghormati tanpa syarat. ***
Wahyu Tanoto
You may like
Opini
Nasib Manuskrip Pasca Banjir: Upaya Penyelamatan dan Restorasi Budaya
Published
1 week agoon
8 December 2025By
Mitra Wacana

Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas2
Ungkapan “Sakali aia gadang, sakali tapian barubah.” bukan hanya sekedar pepatah Minangkabau, melainkan juga memori ekologis masyarakat terhadap alam. Banjir bukan hanya sekedar peristiwa alam, melainkan bagian dari sejarah yang terus berulang dan meninggalkan bekas pada masyarakat. Namun, perubahan yang ditinggalkannya bukan hanya pada bentang alam dan kehidupan sosial, tetapi juga pada jejak intelektual masa lalu masyarakat, salah satunya terekam dalam manuskrip.
Manuskrip merupakan tulisan yang ditulis menggunakan tangan pada lembaran-lembaran kertas, yang didalamnya berisi pemikiran orang-orang pada masa lampau. Sejalan dengan Baried (1985:54) manuskrip adalah medium teks berbentuk konkret dan nyata. Di dalam Manuskrip ditemukan tulisan-tulisan yang merupakan sebuah simbol bahasa untuk menyampaikan sesuatu hal tertentu. Manuskrip dapat dikatakan sebagai salah satu warisan nenek moyang pada masa lampau, berbentuk tulisan tangan yang mengandung berbagai pemikiran dan perasaan tercatat sebagai perwujudan budaya masa lampau. Sehingga akan sayang sekali jika pemikiran nenek moyang kita hilang akibat penanganan yang kurang tepat.
Manuskrip-manuskrip yang tersimpan di surau, rumah gadang, perpustakaan nagari, maupun kediaman para ninik mamak sering kali menjadi korban dari bencana alam, salah satunya banjir. Karena setelah banjir tersebut mulai surut, nasib manuskrip itu dipertaruhkan. Ketika banjir menyapu perkampungan, kertas-kertas manuskrip itu basah oleh air, menyebabkan tulisan pada teks-nya bisa saja pudar. Pada titik inilah penanganan awal menjadi penentu apakah sebuah naskah masih mungkin diselamatkan atau justru rusak.
Sayangnya, banyak masyarakat yang tidak mengetahui cara penanganan darurat manuskrip basah. Di beberapa tempat, manuskrip yang terendam justru dijemur langsung di bawah terik matahari yang bisa menyebabkan lembarannya menempel. Ada pula yang mengeringkannya di dekat api untuk mempercepat proses pengeringan, padahal suhu panas justru membuat tinta luntur dan kertas mengerut. Bahkan dalam situasi panik, sebagian manuskrip dibersihkan dengan kain kasar atau disikat karena dianggap kotor, yang pada akhirnya merobek halaman-halaman yang sebenarnya masih mungkin diselamatkan. Kecerobohan kecil seperti itu sering kali menjadi perbedaan antara manuskrip yang dapat bertahan dan punah.
Untuk itu, perlunya peran dan dukungan pemerintah dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya penanganan dan perawatan manuskrip yang benar, karena manuskrip seringkali berada di tengah-tengah masyarakat. Sehingga, detik-detik pertama setelah air surut sepenuhnya bergantung pada pengetahuan masyarakat setempat. Pemerintah dapat melibatkan masyarakat baik individu maupun lembaga dalam merawat dan melestarikan manuskrip.
Sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan edukasi tentang perawatan manuskrip yang baik dan benar sehingga manuskrip yang ada seringkali rusak sebelum sempat di digitalisasi. Padahal langkah-langkah sederhana seperti memisahkan halaman yang menempel, mengeringkan naskah di tempat teduh dan berangin, atau menyerap air dengan tisu tanpa tekanan berlebihan, bisa menjadi penyelamat sebelum tim konservator datang. Edukasi inilah yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah daerah, perpustakaan, dan lembaga kebudayaan.
Bencana banjir sudah berulang kali terjadi, bahkan dari dahulu kala. Hal tersebut seharusnya menjadi pengingat bahwa pengetahuan mengenai perawatan naskah manuskrip sangat penting, tidak hanya bagi satu pihak saja tetapi diperlukan kerjasama dari berbagai pihak. Kerja sama antara pemerintah, akademisi, komunitas budaya, dan masyarakat adalah kunci dalam menjaga keberlangsungan manuskrip. Pemerintah dapat mengambil peran sebagai penyedia edukasi, tentang bagaimana penanganan darurat terhadap manuskrip, serta menyediakan peralatan yang menunjang penyelamatan manuskrip. Sementara masyarakat, sebagai pihak terdekat dengan naskah, menjadi penentu apakah pengetahuan teoretis itu dapat dijalankan dengan benar di lapangan.
Jika manuskrip adalah kunci yang menyimpan ingatan suatu peradaban, maka penyelamatannya adalah urusan berbagai pihak, baik pemerintah, lembaga, masyarakat adat, dll. Banjir boleh mengubah bentuk geografis daerah, tetapi bukan berarti ia bisa menghapus jejak pemikiran para leluhur yang sudah diwariskan begitu lama. Karena pada akhirnya, yang membuat suatu masyarakat bertahan bukan hanya rumah dan infrastruktur yang diperbaiki, ataupun peradaban yang dibangun ulang, tetapi juga tentang cerita, gagasan, ilmu dan identitas yang mereka wariskan melalui lembaran-lembaran kertas tua.

Mitra Wacana Hadiri Rapat Koordinasi Organisasi Kemasyarakatan Kabupaten Bantul

Mitra Wacana Ikuti Orasi Budaya Hari HAM FISB UII







